Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugatan Warisan
Hanya seminggu setelah konferensi pers Xandrian yang menggegerkan publik, sebuah surat resmi tiba di kediaman keluarga Elvaro. Bukan dari media, bukan dari penggemar atau haters di media sosial, tapi dari institusi yang lebih dingin dan lebih mengikat Pengadilan Negeri.
Amplop berlogo institusi hukum itu diserahkan langsung oleh petugas berseragam. Isinya panggilan resmi sidang perdata. Nama penggugat tertera dengan jelas Mirana Elvaro, adik perempuan mendiang ayah Xandrian, dan dua kerabat jauh dari garis keluarga ayah yang selama ini nyaris tak pernah muncul dalam kehidupan mereka.
Mereka menggugat hak waris Xandrian.
Alasannya? “Pernikahan kontroversial yang mencoreng martabat keluarga besar Elvaro, serta ketidakmampuan moral dalam memimpin grup perusahaan yang menjunjung nilai luhur dan tata krama masyarakat timur.”
“Ini lebih buruk dari yang kubayangkan” desis Xandrian. Ia melemparkan dokumen itu ke meja kaca ruang kerjanya napasnya memburu.
Nadiara, yang duduk di sofa tak jauh darinya, langsung menghampiri. Ia mengambil lembaran itu perlahan, membaca kalimat-kalimat tajam yang menyiratkan lebih dari sekadar gugatan hukum ini serangan personal.
“Jadi mereka benar-benar ingin menghancurkanmu,” bisik Nadiara dengan suaranya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca, tidak hanya karena takut tapi juga karena marah.
Xandrian menggeleng. Matanya menatap kosong ke arah jendela. “Tidak. Mereka ingin menghancurkan kita.”
Tak butuh waktu lama, pengacara mereka, Hermawan, memanggil mereka untuk pertemuan darurat di kantornya. Ruang rapat berpanel kayu gelap itu kini dipenuhi dokumen hukum, tangkapan layar berita viral, dan foto-foto keluarga Elvaro dari masa lalu yang digunakan sebagai ‘bukti konteks’.
“Kasus ini akan jadi sorotan nasional,” ujar Pak Hermawan, serius. “Mereka tidak hanya ingin menggugat harta warisan. Mereka ingin memalukan kalian secara hukum dan sosial. Kalau gugatan ini menang, semua aset Elvaro Group bisa dibekukan sementara. Operasional kalian akan lumpuh. Investor akan mundur. Ini bukan cuma soal warisan. Ini soal pembunuhan karakter.”
Nadiara menunduk. Matanya tak sanggup memandang siapa pun. Ia berdiri perlahan, tubuhnya bergetar. “Aku pergi. Kalau aku yang jadi penyebab semua ini… lebih baik aku ”
“Berhenti.”
Suara Xandrian menghentikannya seperti cambuk. Ia berdiri, matanya tajam, rahangnya mengeras. “Jangan pernah berpikir kamu masalahnya. Ini bukan tentang salah siapa. Ini tentang ketakutan mereka.”
“Takut pada apa?” tanya Nadiara pelan.
“Takut pada kita. Takut melihat kita saling mencintai. Takut karena cinta kita tidak bisa mereka kendalikan.”
Suasana hening sesaat. Hermawan menarik napas panjang.
“Kita punya dua puluh satu hari sebelum sidang pertama. Aku sarankan kalian memperkuat posisi publik kalian. Jangan diam. Tapi juga jangan sembarangan bicara. Kita akan mainkan ini dengan tenang.”
Namun kenyataannya, dunia luar tidak memberi mereka waktu untuk bernapas.
Tagar baru mulai membanjiri media sosial
#PecatXandrian, #BoikotElvaro, #SaudaraTiriMenikah, #MaluJadiKaryawanElvaro.
Bahkan beberapa selebriti dan influencer ikut berkomentar, menambah bensin ke dalam api.
Namun di balik semua kekacauan itu, mulai muncul celah harapan. Beberapa jurnalis independen dan aktivis HAM mulai menulis opini yang membela Nadiara dan Xandrian. Mereka menyelidiki latar belakang keluarga besar Elvaro dan menemukan jejak manipulasi, penggelapan dana, hingga intimidasi warisan sejak puluhan tahun lalu. Fakta-fakta ini mulai menyebar meski perlahan, tapi cukup untuk memecah opini publik.
Nadiara duduk di balkon rumah pada malam hari mengenakan jaket tipis dan memandangi langit yang penuh bintang. Pikirannya kacau. Ia teringat masa kecilnya saat ia hanya ingin merasa aman, merasa dicintai. Ia tak pernah menginginkan semua ini.
Xandrian datang dan duduk di sampingnya. “Kamu masih ingin pergi?” tanya Xandrian lembut.
Nadiara menggeleng. “Aku hanya ingin ini berhenti.”
Xandrian menggenggam tangannya. “Aku juga. Tapi kalau kita lari sekarang, semua pengorbanan akan sia-sia.”
Nadiara mengangguk perlahan. Ia tahu, ini bukan hanya tentang mereka berdua lagi. Ini tentang semua orang yang diam-diam mempercayai mereka, tentang kebenaran yang telah disangkal terlalu lama.
Sementara itu di sudut lain kota, Leo menyaksikan semuanya dari ruang kerjanya. Tangannya memainkan cangkir kopi yang sudah dingin sementara layar komputernya menampilkan berbagai berita dan tanggapan netizen. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan api.
“Biarkan mereka saling menghancurkan,” gumam Leo.
“Aku hanya perlu satu pukulan terakhir.”
Ia membuka sebuah file di laptopnya. Di dalamnya, tersimpan rekaman suara rahasia percakapan pribadi dari masa lalu antara mendiang ayah Xandrian dan seseorang yang namanya tidak disebut dalam dokumen warisan. Suara-suara itu bisa menjadi senjata terakhir, atau kehancuran permanen.
Leo tersenyum. “Dan waktu terbaik untuk menyerang adalah saat mereka mulai percaya bahwa mereka sedang menang.”
Malam itu, saat kota mulai tidur, suara pertempuran diam-diam menggema di hati mereka masing-masing.
Dan pertarungan warisan ini ternyata bukan hanya soal uang.
Tapi tentang siapa yang akan tetap berdiri saat semuanya hancur.