NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:571
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyambut Suami Pulang

Cahaya jingga dari matahari senja menembus tirai apartemen, memantul di meja makan yang mengkilap. Aluna duduk di sana dengan rambut digerai seadanya. Masih memakai sweater tipis dan hot pants longgar. Di depannya ada semangkuk bubur yang tinggal separuh dan segelas air putih.

Smartphone menempel di telinga. Layar menampilkan nama: Kenzie, disertai foto pria berjas hitam dengan senyum sok gaya.

“Gimana? Udah baikan?” tanya Kenzie dengan suara tenang dan dewasa.

Aluna tersenyum kecil sambil menyendok sisa buburnya. “Udah mendingan. Tapi tadi siang sempat pusing banget. Dokternya sampai datang ke rumah.”

“Dan lo tetap keras kepala, ya. Harusnya langsung istirahat, bukan nanya-nanya tugas.”

Aluna mendesah. “Iya... tapi kuliah tetap jalan, Bang. Gue cuti setahun, nggak mau ketinggalan lebih banyak. Materi tadi susah banget, lo dapet dari siapa?”

“Teman seangkatan gue. Dia duduk paling depan dan rajin. Cocok buat lo kejar-kejarin kalau gue nggak ada,” canda Kenzie.

Aluna tertawa pelan, suaranya sedikit serak. “Nggak perlu. Gue punya Bang Kenzie, Surya, dan... drama rumah tangga yang nyedot energi.”

Kenzie ikut tertawa. “Kalau lo tetap seperti ini, pintar dan keras kepala, agensi lo bisa ngalahin punya gue nanti.”

“Hmm... Agensi lo sekarang aja udah top. Banyak artis naik daun. Hebat. Dulu lo diremehin, ingat nggak, Bang?”

“Ingat. Tapi gue juga ingat siapa yang tetap percaya sama gue. Lo dan Surya.”

Mereka diam sebentar. Nyaman.

Lalu Kenzie menambahkan, “kalau lo butuh bantuan lain, bilang aja. Materi, skripsi, dosen nyebelin, semua bisa gue urus.”

Aluna tersenyum tulus. “Thanks, Bang. Dunia hiburan boleh drama, tapi Abang satu-satunya yang selalu satu server sama gue.”

Terdengar suara pintu apartemen terbuka. Langkah kaki Alaric mulai terdengar mendekat ke ruang tengah.

Aluna melihat ke arah datangnya suara dan buru-buru menurunkan nada bicara.

“Gue tutup dulu ya, kayaknya dramanya mau lanjut.”

“Good luck, Al,” ujar Kenzie lembut sebelum telepon ditutup.

Aluna meletakkan smartphonenya perlahan. Tangannya masih memegang sendok, tapi perutnya seperti kehilangan selera saat mendengar suara langkah Alaric mendekat.

Alaric melangkah masuk, bahunya sedikit jatuh ke bawah—bukan karena membawa beban berat, tapi karena lelah dan kekhawatiran yang tak sempat ia akui. Matanya langsung menyapu ruangan.

Di ruang makan.

Aluna duduk sendiri. Sisa bubur di mangkuk, gelas air tak tersentuh. Wajahnya masih menyisakan senyum dari percakapan telepon tadi. Tapi senyum itu hilang saat ia melirik ke arah pintu.

Mereka saling menatap. Hening. Hanya suara pendingin ruangan yang menggantung di udara.

“Wah, pulang cepat. Tumben,” kata Aluna ringan, namun dengan nada menggores.

Alaric melepas sepatu dengan kasar, jasnya ia lempar ke sofa. “Aku pikir kamu mati.”

Kalimatnya datar. Dingin. Tapi sorot matanya tidak.

Aluna tertegun, ekspresinya berubah. “Apa?!”

Alaric berjalan mendekat, menahan napas agar tidak mengatakan lebih dari seharusnya. Tapi mulutnya mendahului pikirannya.

“Aku pulang cepat karena takut kamu udah nggak bernyawa, Aluna. Tapi ternyata kamu malah asik ketawa di telepon.”

Aluna berdiri, kursinya bergeser keras. “Maaf ya kalau aku nggak jadi mayat seperti yang kamu harapkan!”

Alaric mendengus, tertawa kecil. Bukan karena lucu. Tapi karena frustrasi.

Aluna semakin emosi. “Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan dengan ketawa kayak gitu? Dasar nggak punya hati!”

Langkah Aluna hendak menjauh, tapi Alaric menarik pergelangan tangannya. 

Perlahan. Tidak kasar.

Tangan besar Alaric berpindah ke dahi Aluna. Mengecek suhu tubuhnya. Lama. Mata mereka terkunci.

Aluna mematung. Gemetar kecil terasa menjalar dari kulit dahi ke seluruh tubuhnya.

“Masih hangat,” gumam Alaric pelan. Suaranya tidak lagi tajam. Bahkan nyaris berbisik.

Aluna menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Barusan mereka bertengkar. Tapi tangan itu tangan yang membuat jantungnya berdetak di luar ritme.

Alaric perlahan menarik tangannya, namun tidak segera melepas pandangan.

“Jangan bikin aku panik kayak tadi pagi,” ujarnya lirih.

Aluna tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, masih merasakan jejak telapak tangan di dahinya dan satu detak asing yang tumbuh tanpa diundang.

“Mulai sekarang, setiap kali aku pulang, kamu sambut aku. Jangan duduk santai kayak nggak punya suami.”

Aluna menyipitkan mata. “Kenapa? Kamu pikir aku pelayan?”

Nada suaranya menantang. Tapi langkahnya maju. Lalu berdiri tepat di hadapan Alaric yang kini bersandar pada meja bar dapur.

Tatapan Aluna naik ke mata Alaric. Diam. Tapi pandangannya berbicara banyak.

“Oke,” gumamnya. “Aku sambut dengan cara yang kamu nggak bakal lupa.”

Tangannya bergerak. Perlahan tapi mantap. Jemari Aluna meraih dasi Alaric, masih rapi di kerah kemeja putih. Ia menarik simpulnya pelan, melepaskannya satu kali tarik.

Dasi jatuh ke lantai.

Alaric duduk di kursi bar, tangan bersandar ke meja. Matanya menatap Aluna tanpa berkedip. Sorotnya bukan amarah, tapi tajam mengintai.

Aluna tak berhenti. Tangannya kini bergerak ke sabuk Alaric. Membuka kunci logamnya tanpa suara. Tarikan lembut, lalu terdengar suara klik kecil saat sabuk lepas dari pengait.

Alaric masih belum bereaksi. Tapi rahangnya mengeras. Matanya sedikit menyipit. Ia tahu Aluna sedang bermain dengan api dan ia tak berniat memadamkannya.

Kancing kemeja bagian atas disentuh Aluna. Satu dibuka. Lalu dua. Jemarinya bergerak perlahan, seperti menghitung setiap detik yang mereka habiskan dalam ketegangan ini.

“Begini cukup menyambut?” bisik Aluna, suaranya nyaris tak terdengar.

Alaric menghela napas pelan. Ia belum menjawab. Tapi tubuhnya sedikit condong ke depan. Napas mereka mulai saling menyentuh.

Kemeja Alaric kini terbuka setengah. Aluna menatap bagian dada yang mulai terlihat, lalu mendongak. Tatapan mereka terkunci lagi.

“Kalau aku terusin, kamu nggak akan bisa tidur sama aku malam ini,” bisik Aluna, suaranya seperti tantangan.

Alaric tersenyum miring. “Siapa bilang aku mau tidur sama kamu?”

Kemeja Alaric akhirnya lepas dari tubuhnya.

Aluna menariknya dari pundak, perlahan menurunkan hingga lengan Alaric terlepas dari kain putih itu. Tubuh pria itu kini hanya terbungkus celana formal, membuat atmosfer di antara mereka mendadak hening dan berat.

Aluna menelan ludah. Ia berdiri di hadapan suaminya, menatap tubuh itu sesaat seolah bingung harus lanjut ke mana. Tangannya sempat menyentuh gesper celana, tapi langsung berhenti.

“Sudah cukup,” gumamnya, memalingkan wajah.

Aluna menunduk. Ia memungut dasi dan sabuk yang terjatuh ke lantai. Lalu dengan langkah ringan, ia pergi ke lemari dekat ruang makan dan menyelipkan sabuk ke tempat gantungannya. Pakaian kotor ke keranjang cucian. 

Langkah kakinya kembali ke Alaric. Tangannya menyentuh pergelangan tangan kiri Alaric. Satu per satu tombol jam tangan mewah itu ia lepas. Jam tangan berlian. Mengkilap.

“Ini bisa buat bayar semester sampai lulus,” celetuk Aluna setengah mencibir sambil mengangkat jam itu.

Alaric tertawa pendek. “Kamu artis papan atas. Gajinya besar. Masa buat bayar kuliah aja nggak punya?”

Aluna mengangkat alis. “Gaji artis? Emang besar.”

Alaric menyipitkan mata. “Mentang-mentang artis jadi nggak sempat buka aplikasi M-banking?”

Aluna melotot. “Emang kamu pernah transfer?”

Alaric mengangkat bahu. “Coba cek! Jangan asal nuduh!”

Dengan curiga, Aluna meraih smartphone. Ia membuka aplikasi M-banking. Mengusap layar. Masukkan password. Tak sampai satu menit, matanya melebar.

“Astaga…” Napasnya tercekat.

Alaric menyilangkan tangan di dada. Masih dengan celana kerja, tubuh atasnya kini telanjang dan santai bersandar di meja dapur bar.

“Dari awal nikah, tiap bulan aku transfer. Lumayan, ‘kan? 200 juta per bulan. Total udah berapa tuh?”

Aluna masih terpaku menatap layar.

“Kamu gila.” Suara itu keluar dengan pelan.

“Kamu pikir aku pelit?” Alaric menyeringai. “Aku kasih kamu hidup enak, rumah mewah, dan uang belanja lebih dari cukup. Kalau kamu miskin, itu karena kamu nggak pernah cek rekening.”

Aluna menatapnya tajam. “Kenapa nggak bilang dari awal?”

Alaric mendekat. Tangan kirinya menyentuh dagu Aluna, mengangkatnya perlahan. “Aku nikahin kamu cuma demi warisan. Uangnya, aku kasih balik. Tapi kamu nggak pernah sadar.”

Napas mereka nyaris bertemu lagi.

Aluna terpaku.

Matanya bertemu dengan milik Alaric, ada luka samar, dingin yang dibalut kegetiran.

Aluna memeluk Alaric dengan tiba-tiba, lengannya melingkar kuat di pinggang pria itu. Tubuhnya yang hangat karena sisa demam terasa menggigil sedikit, tapi pelukannya justru erat—seolah ingin mengalirkan semua perasaan yang sempat terkubur.

"Aku cuma pengin bahagiain keluargaku..." bisik Aluna lirih di dada Alaric, suaranya bergetar. "Tapi sekarang semuanya udah nggak ada. Tapi aku tetap hidup. Sendiri."

Alaric diam. Tangannya terangkat, awalnya ragu, tapi lalu menepuk punggung Aluna dengan lembut. Pelan-pelan, pelukannya dibalas, lebih dalam. Aroma lembut parfumnya menyatu dengan wangi rambut Aluna yang basah oleh keringat dingin.

"Setidaknya, sekarang kamu nggak sendirian," ujar Alaric dengan nada pelan, lebih jujur dari biasanya.

Aluna mendongak. Senyuman tipis muncul di wajahnya, dan matanya yang berkaca-kaca tampak lebih hidup. "Kamu tuh, ya, kalau nggak nyebelin, bisa bikin aku deg-degan juga."

Alaric mengangkat alis. “Deg-degan? Karena saldo rekening?”

Aluna tertawa kecil, tapi suaranya mengandung luka dan syukur. Ia mengangguk pelan. "Dan karena kamu meski nyebelin banget, ternyata diam-diam baik."

Alaric mengelus pelipisnya, lalu menatap Aluna tajam. “Jangan terlalu berharap. Aku bisa berubah kapan saja.”

Aluna tersenyum dan menempelkan pipinya di dadanya. “Aku tahu. Tapi malam ini boleh nggak aku istirahat di sini? Kayaknya demamku lebih reda kalau deket kamu.”

Alaric tidak menjawab. Ia hanya memeluk lebih erat.

Saat Aluna masih bersandar di dada Alaric, ia mendongak sedikit, matanya bertemu dengan mata Alaric. Hening. Tidak ada suara selain detak jam dan napas mereka yang pelan tapi berat. Lalu, tanpa peringatan, bibir Alaric menempel di bibir Aluna.

Ciuman itu lembut. Pelan. Tapi dalam beberapa detik, berubah menjadi lebih berani, lebih menuntut. Tangan Alaric naik ke tengkuk Aluna, sementara gadis itu mengerjap pelan, tubuhnya menegang lalu melemas.

Namun sebelum ciuman itu berkembang lebih jauh—

‘Drrt. Drrt’

Nada dering smartphone di saku celana Alaric memecah suasana.

Alaric membuka mata. Perlahan, ia menarik diri. Napasnya memburu saat ia menjauh satu langkah dari Aluna yang masih mematung di tempat, pipinya memerah dan bibirnya sedikit terbuka.

Nama yang muncul di layar: Renzo.

Aluna menoleh. Tatapannya langsung berubah dingin, tapi ia tak berkata apa-apa.

Alaric mengangkat telepon dan menjawab singkat, langkahnya menjauh ke sisi ruangan. 

“Kenapa lama angkat teleponnya?!”

Sementara itu, Aluna hanya bisa menghela napas. Ia duduk kembali di ranjang. Momen tadi seakan tak berarti apa-apa. Renzo lagi Renzo lagi.

1
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!