Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Di luar gerbang London Business School (LBS), sebuah Mercedes hitam mewah terparkir.
Di dalamnya, duduklah Aiden Aliston dan Noa Ryder.
Noa, dengan senyum santai, menatap gerbang kampus.
"Kau yakin hanya akan menunggu di mobil, Aliston? Xavier Eoscar mungkin akan mengantar tunanganmu dengan payungnya."
"Tujuan kita adalah menegaskan aliansi, Ryder. Bukan membuat drama di depan umum," jawab Aiden, suaranya dingin dan datar.
Namun, tangannya mencengkeram ponselnya erat, satu-satunya tanda bahwa perintahnya kepada Helena 'Tinggalkan tempat itu sekarang' telah menguras emosinya.
Tak lama kemudian, Helena muncul. Dia berjalan dengan cepat, membawa tas laptop dan mantel musim dinginnya.
Dia melihat Aiden dan Noa di dalam mobil, dan ekspresinya segera berubah menjadi bersemangat.
Helena membuka pintu belakang mobil dan duduk.
"Selamat datang di London, Kak," sapanya, mengarahkan sapaan yang singkat itu pada Aiden.
"Tuan Ryder, apa kabar."
"Helena," balas Noa, menyeringai.
"Aku baik baik saja, tapi mungkin seseorang tidak terlalu baik" ucapnya menyindir yang membuat Helena sedikit bingung.
"Aku harus akui, London Business School menjagamu dengan baik. Kau terlihat semakin menarik." Tambah Noa
Aiden hanya melirik spion, tidak membalas sapaan Helena. Sikap dinginnya terasa lebih tajam daripada biasanya.
Helena merasakan perubahan suasana itu. Aiden tidak marah, tetapi dia jauh lebih beku.
Helena mencoba mencairkan suasana.
"Bagaimana kabar Boston kak? Dan kerjasama Eropa yang kau bicarakan, apakah berjalan lancar?"
"Bagus," jawab Aiden singkat, matanya tetap terpaku lurus ke depan.
"Kita akan membicarakannya saat kita tiba di hotel. Jangan buang waktu untuk basa-basi yang tidak perlu."
Noa tidak tahan untuk terkekeh pelan, membuatnya mendapatkan tatapan tajam dari Aiden dan tatapan bertanya dari Helena atas sikap aneh Aiden.
Mereka tiba di The Savoy, sebuah hotel bersejarah di jantung London. Aiden membawa Helena langsung ke suite pribadinya.
Suite itu didominasi oleh panel kayu gelap, menampilkan perpaduan sempurna antara kemewahan Inggris klasik dan teknologi canggih.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah lemari bar minimalis yang dihiasi oleh sebotol The Macallan 72 Years Old, sebuah single malt whiskey langka yang harganya setara dengan biaya kuliah satu semester di LBS, dijaga oleh dua gelas kristal yang sudah disiapkan.
Setelah pintu tertutup dan Noa pergi, Aiden langsung melepaskan jasnya dan melonggarkan dasinya, menunjukkan bahwa dia beralih ke mode bisnis yang serius.
Helena menatap Aiden, bingung.
"Kak, ada apa? Apakah Alaric menyerang lagi?"
"Tidak," jawab Aiden, kini menghadap Helena, tatapannya kosong.
"Semua stabil."
Helena semakin tidak mengerti. Aiden yang marah dengan alasan jelas lebih mudah dihadapi daripada Aiden yang dingin tanpa alasan.
"Lalu kenapa... kenapa kau terlihat seperti sedang merencanakan pemakaman seseorang?" tanya Helena, mencoba menggodanya agar berbicara.
Aiden tidak merespons godaan itu. Dia berjalan mendekati Helena, memegang dagunya dengan sentuhan dingin.
"Aku membutuhkanmu di sini, Helena," bisiknya, suaranya rendah dan penuh wibawa.
"Aku membutuhkan semua yang kau miliki, kecerdasanmu, kontakmu dengan Edward Finch, dan statusmu sebagai tunanganku. Jangan biarkan variabel yang tidak perlu mengganggu rencana kita."
Aiden tidak menyebut Xavier, tetapi pesannya sangat jelas 'Xavier Eoscar adalah variabel yang tidak perlu.'
Helena mengangguk, melepaskan tangan Aiden dari dagunya.
"Tentu, Kak," balas Helena, senyumnya kini menjadi senjata yang dingin dan tajam.
"Aku mengerti aturannya. Sekarang, mari kita bicara bisnis. Nelson memiliki beberapa analisis tentang risiko pasar Eropa yang mungkin menarik perhatianmu."
Helena secara cerdik mengalihkan fokus dari ketegangan pribadi ke strategi bisnis, menegaskan bahwa dia adalah sekutu yang berharga, bukan aset yang rapuh.
Di suite mewah Aiden, Helena dengan cepat beralih ke mode bisnis. Mereka menyebar laporan di atas meja kopi marmer, dengan cepat menganalisis risiko pasar Eropa.
Mereka larut dalam diskusi, dua pikiran jenius yang saling melengkapi. Aiden fokus pada penghancuran risiko, Helena fokus pada pertahanan etis.
Tiba-tiba, jendela suite yang besar itu bergemuruh. Lampu ruangan berkedip.
Di luar, cuaca London yang dingin telah berubah menjadi badai salju yang brutal.
Salju tebal turun dengan cepat, membuat jarak pandang nol.
Telepon suite berdering. Itu adalah resepsionis, mengumumkan bahwa layanan taksi dan transportasi umum telah dihentikan total.
Aiden mengangkat bahu, seolah badai salju hanyalah variabel lain yang harus dia hitung.
"Kurasa kau tidak bisa kembali ke asramamu," kata Aiden, suaranya datar dan tenang.
"London telah memberimu keputusan yang tidak dapat dinegosiasikan."
Helena melihat keluar jendela, menyadari situasi itu. Menginap adalah satu-satunya pilihan.
"Maafkan aku, Kak," ucapnya.
"Jangan minta maaf. Aku tidak melihat ini sebagai kerugian, tapi sebagai efisiensi," balas Aiden.
Aiden segera mengambil telepon suite, bermaksud memesan kamar lain di lantai yang sama untuk Helena.
Namun, resepsionis dengan nada menyesal mengumumkan bahwa hotel sudah penuh total karena pembatalan penerbangan dan badai salju.
Semua suite dan kamar standar telah terisi.
Aiden mendengus, badai telah memberinya variabel yang tidak terduga.
Satu-satunya kamar yang tersedia adalah yang bersebelahan, yaitu Suite Ryder.
Aiden lalu menghubungi Noa Ryder.
"Ryder," perintah Aiden melalui telepon.
"Badai. Aku tidur bersamamu malam ini. Helena membutuhkan ruang privat."
Aiden menutup telepon, berbalik ke Helena.
"Kau bisa tinggal di sini," kata Aiden, menunjuk ke kamar tidur utama yang mewah.
"Aku akan tidur dengan Noa di kamar sebelah."
Aiden bersiap meninggalkan suite mewah itu untuk tidur di kamar sebelah.
Saat Aiden berbalik, Helena sudah berdiri di ambang pintu kamar tidur, menghalangi jalannya.
Helena meraih lengan Aiden, sentuhannya lembut namun tegas.
"Tunggu sebentar, Kak," bisiknya.
"Ada apa, Helena?" tanya Aiden, suaranya kembali dingin, tetapi dia tidak menarik lengannya.
"Setelah dua tahun, kau terlalu dingin," ucap Helena, matanya menatap tajam ke mata Aiden.
"Seperti salju di luar sana."
Aiden merasakan kehangatan jemari Helena di lengannya. Otaknya memerintahkan dia untuk pergi, tetapi fisiknya membeku di tempat.
"Aku tidak berubah," jawab Aiden, rahangnya mengeras.
"Aku fokus pada rencana."
Helena tersenyum tipis, sebuah senyum kemenangan karena dia telah berhasil menghentikannya.
"Kalau begitu, mari kita rayakan fokusmu ini," goda Helena.
Dia berjalan ke minibar dan mengeluarkan sebotol The Macallan 72 Years Old yang sangat langka.
"Sebelum kau tidur, mari kita minum bersama. Aku ingin membicarakan strategi tanpa grafik." Helena menuangkan dua whiskey ke dalam dua gelas kristal.
"Aku sudah legal, Kak," tambahnya, senyumnya semakin lebar, menegaskan bahwa kini dia adalah wanita yang setara dan berhak menantangnya.
Aiden menatap dua gelas whiskey itu. Dia tahu, minum dengan Helena sekarang adalah risiko yang tak terhitung, di tengah badai dan keheningan pribadi.
"Aku menghargai tantanganmu, Helena," ujar Aiden, suaranya rendah.
Dia tidak menolak karena moral, tetapi karena kontrol dirinya.
Aiden mengambil salah satu gelas itu, tetapi tidak meminumnya, dia hanya merasakan aroma malt yang kaya bercampur wangi lily of the valley dari parfum Helena.
Selama sepersekian detik, perhitungan di otaknya berbenturan dengan dorongan yang dia abaikan selama dua tahun.
Dia kemudian meletakkan gelas itu kembali di meja.
"Tidurlah, Helena," kata Aiden.
Dia dengan lembut melepaskan lengan Helena dan melangkah menuju pintu.
"Selamat malam."
Helena tersenyum, menyadari bahwa dia telah mendorong Aiden ke batasnya. Aiden tidak menyerah, tetapi dia telah mengakui risiko emosional yang dia rasakan.
Helena mengambil gelas yang ditinggalkan Aiden dan menyesapnya perlahan.
"Tentu, Kak," bisik Helena.
"Semoga kau tidur dengan nyenyak di atas kalkulasimu."