Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Nicholas berjalan masuk ke kamar mandi, mencari ketenangan dari keramaian di luar. Suasana terasa sepi di sana. Dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Sungguh mengesalkan, mengapa dia bisa merasakan cemburu seperti ini, yang hampir membakar emosinya? Hanya karena seorang wanita bernama Serena.
Apakah karena wanita itu adalah kekasih Gabriel, hingga hasrat dalam dirinya begitu kuat menginginkan wanita itu?
Ini memang gila! Seharusnya dia tidak bersikap seperti ini. Benar kata wanita itu, dia sudah mempunyai istri, meskipun hubungan mereka hanya sebatas formalitas semata karena sebuah paksaan.
Apakah Julian akan marah padanya? Dan akan membuangnya? Saat tahu dia mencintai wanita lain? Jika memang seperti itu, tidak mengapa.
Karena memang sejak awal dia tidak pernah mengincar harta dari Julian, apalagi menginginkan dirinya sebagai pewaris salah satu dari pria yang sudah mengadopsi dirinya sebagai anak.
Nicholas tersenyum tipis. Dia tidak peduli jika memang Julian pada akhirnya membuangnya. Dia hanya ingin wanita itu.
Nicholas pun hendak keluar dari sana, tetapi ternyata Antonio masuk. Sepertinya pria itu sedang terburu-buru masuk ke dalam bilik, hingga tidak menyadari keberadaan Nicholas.
Nicholas tidak peduli, dia kembali melangkah. Tetapi Antonio kekurangan tisu, hingga pria itu berkata, "Maaf, apakah ada seseorang di luar? Saya membutuhkan tisu."
Nicholas langsung kembali mundur, mengambilkan tisu, dan mengopernya dari atas bilik. Pria itu mengucapkan terima kasih saat melihat jam tangan yang dipakai Nicholas.
Tidak ada jawaban. Nicholas langsung keluar, dan Antonio pun langsung melihat ke arah sekelilingnya. Sudah ada beberapa laki-laki di sana, tetapi jam tangan mereka berbeda. Antonio pun keluar dari kamar mandi.
Kembali ke tempat berkumpulnya Julian dan Wilton. Julian menarik tangan Nicholas untuk diperkenalkan ketika melihat Antonio sudah datang kembali.
"Antonio, kenalkan, ini putraku, Nicholas," ujar Julian dengan bangga.
Antonio menjabat tangan Nicholas. Hal itu membuat Wilton hanya tersenyum tipis setiap kali ayahnya menganggap Nicholas benar-benar putranya.
"Tuan Nicholas, senang bertemu dengan Anda."
"Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Antonio," balas Nicholas dengan senyum tipan formal.
Julian kemudian menoleh ke arah Serena dan Melvia. "Serena, Melvia, ini Nicholas dan istrinya, Isabella. Nicholas, kenalkan ini putri Antonio, Serena, dan istrinya Melvia."
Melvia langsung tersenyum hangat kepada Isabella. "Ya Tuhan, Isabella, kamu cantik sekali malam ini! Gaunmu sangat elegan."
Isabella tersenyum ramah membalas pujian Melvia. Setelah perkenalan dengan Isabella, tangan Serena pun digenggam kencang oleh Nicholas. Telapak tangan Serena merasakan kejahilan dari jari telunjuk Nicholas yang menggodanya.
"Senang bisa berkenalan dengan Nona Serena," ucap Nicholas berbasa-basi, tetapi Serena hanya memasang wajah masamnya, sedangkan Gabriel menahan api cemburu saat pamannya kembali menyentuh kekasihnya.
Antonio tersenyum ramah dan melihat jam tangan Nicholas, yang sama persis dengan orang yang membantunya di kamar mandi tadi.
"Oh, Tuan Nicholas ternyata yang sudah membantu saya, ya?" tanya Antonio sambil tertawa, dan Nicholas hanya tersenyum dan mengangguk.
"Kalian bertemu?" tanya Julian, dan Antonio menjelaskan kejadian di kamar mandi, membuat Julian paham dan berkata, "Kalau begitu, mari kita duduk, acara akan dimulai."
Ternyata mereka semua duduk di meja bundar yang besar yang sama, keluarga Antonio, Julian bersama Nicholas dan sang istri, juga Wilton bersama istri, dan Gabriel.
*
*
Acara dimulai dengan gemerlap yang seketika berubah menjadi hening sempurna. Musik perlahan mereda, meninggalkan denting lembut dari alat musik gesek yang menggema di ruang besar itu. Lampu ruangan padam seluruhnya, hanya menyisakan satu cahaya sorot yang menyorot ke arah panggung utama. Semua mata kini tertuju ke sana, ke arah sang pembawa acara yang berdiri tegak dengan senyum profesional dan suara yang bergema menembus keheningan.
“Selamat malam, hadirin yang terhormat. Terima kasih atas kehadiran Anda semua dalam acara peresmian besar malam ini. Suatu kehormatan besar bagi kami bisa menyambut tokoh-tokoh penting, keluarga besar, serta para donatur yang telah berkontribusi untuk keberlangsungan proyek ini,” ucap sang pembawa acara dengan nada anggun dan penuh penghormatan.
Riuh tepuk tangan pelan terdengar, menandai rasa hormat dari para tamu undangan. Sang pembawa acara kemudian melanjutkan, “Dan kini, izinkan saya menyampaikan apresiasi tertinggi kepada sosok yang telah menjadi donatur terbesar dan pendukung utama proyek kami—Tuan Nicholas Navarro.”
Sorot lampu beralih, menyapu ruangan yang penuh tamu hingga berhenti di satu titik—meja mewah di bagian depan sisi kanan aula. Di sana duduk seorang pria dengan setelan jas hitam pekat, wajahnya tampan namun dingin, seperti batu yang dipahat dengan kesempurnaan tanpa emosi. Nicholas perlahan mengangkat gelas kristalnya, memberi anggukan kecil tanpa senyum. Gerakannya sederhana, tetapi cukup untuk membuat semua mata tertuju padanya.
Di sampingnya, duduk seorang wanita dengan keanggunan yang tak bisa diabaikan—Isabella Navarro. Gaun putih lembut yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya lampu, memperlihatkan sosok bak dewi yang turun dari langit. Wajahnya memancarkan kehangatan yang kontras dengan ketenangan dingin Nicholas. Isabella tersenyum lembut, membalas pandangan banyak orang yang mengaguminya.
Beberapa tamu berbisik lirih, mengagumi ketampanan Nicholas dan kelembutan Isabella. “Pasangan yang sempurna,” ucap salah seorang tamu dengan nada takjub.
Di tengah kekaguman itu, Nicholas tiba-tiba menoleh pada istrinya. Tatapan tajamnya melunak seketika ketika bertemu dengan sorot mata Isabella. Dengan gerakan yang tenang namun penuh makna, Nicholas mencondongkan tubuhnya sedikit dan mengecup bibir sang istri di hadapan semua orang.
Kejadian itu disambut tepuk tangan dan seruan kekaguman dari para tamu. Beberapa wanita menutup mulut sambil tersenyum iri, sementara sebagian pria menggeleng pelan dengan senyum kagum. Adegan yang tampak sederhana itu berubah menjadi simbol kemesraan dan kekuasaan, memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh Nicholas dan betapa beruntungnya dia memiliki sosok seperti Isabella.
Namun, di antara banyaknya tatapan kagum itu, ada satu pasang mata yang justru membeku. Serena Salvatierra duduk di antara kerumunan tamu dengan tubuh yang tampak tegang. Pandangannya terpaku pada pemandangan di depan mata, tetapi pikirannya berkelana jauh entah ke mana.
Hatinya berdetak cepat. Ada sesuatu yang aneh merambat di dadanya. Bukan karena ciuman itu, tetapi karena bayangan aneh yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Dalam benaknya, sosok Isabella menghilang—dan dirinya yang berada di tempat itu, di samping Nicholas, menerima kecupan lembut di hadapan semua orang.
Serena menelan napasnya perlahan, mencoba menepis bayangan itu. Namun semakin dia mencoba melupakan, semakin kuat gambaran itu menempel di pikirannya. Ada perasaan tak nyaman yang tidak bisa dia pahami, perasaan yang bahkan membuatnya merinding.
Nicholas yang duduk di kejauhan memperhatikan dengan pandangan tajam. Sorot matanya menelusuri wajah Serena tanpa seorang pun menyadari. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, terlukis di bibirnya. Senyum yang penuh dengan kesadaran dan sindiran.
Dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam benak wanita itu. Dia tahu bahwa pikiran Serena mulai terusik. Dan kesadaran itu membuat Nicholas merasa menang.
Dalam diamnya, Nicholas mengangkat gelasnya sedikit ke arah Serena—gerakan kecil yang hanya bisa ditafsirkan oleh keduanya. Tatapan mereka bertemu sejenak, seperti dua garis api yang saling menyambar.
“Ini gila!” gumam Serena dalam hati.
Serena cepat-cepat memalingkan wajah, pura-pura menatap panggung. Namun napasnya mulai terasa berat. Ada sesuatu dalam tatapan Nicholas yang membuatnya merasa seperti tengah diseret perlahan ke dalam permainan yang belum dia pahami.
Nicholas bersandar tenang di kursinya, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja.
Dalam hatinya, dia berbisik dingin, “Kau boleh bersembunyi di balik senyum manismu, Serena. Tapi aku tahu, hanya aku yang bisa membuat matamu bergetar seperti itu.”
Dan malam itu pun berlanjut, namun udara di ruangan terasa berubah—lebih tegang, lebih berat, seolah setiap detik adalah awal dari badai yang perlahan sedang terbentuk.
*
*
Sesi makan malam dimulai. Suasana di meja bundar yang besar itu terasa berat, meski hidangan lezat tersaji. Wilton memulai perbincangan, menoleh ke arah Antonio.
"Antonio," ujar Wilton. "Gabriel sudah banyak bercerita tentang Serena. Kami tahu mereka sudah menjalin hubungan."
Antonio hanya tertawa kecil dan mengangguk, seraya menikmati hidangan di hadapannya.
Melvia menanggapi dengan ramah. "Serena juga menceritakan banyak hal tentang Gabriel."
Ibunda Gabriel, yang bernama Maria, menimpali dengan nada ketus. "Oh, benarkah? Apakah anakmu mengatakan jika anakku adalah pewaris tunggal Navarro? Tidak banyak wanita yang dilirik oleh anakku. Anak gadismu cukup beruntung. Tapi aku rasa mereka masih muda, masih suka bersenang-senang, bukan?"
Deg!
Ucapan Maria membuat Melvia terdiam. Dia terkejut dan tidak menyangka jika wanita itu bisa berkata seperti itu, seolah Serena, yang merupakan anak adopsinya, hanyalah sebuah keberuntungan sesaat bersama Gabriel. Wilton menanggapi ucapan istrinya hanya dengan senyuman sinis, sedangkan Serena mencengkeram dress-nya kuat-kuat di bawah meja, menahan amarah yang bergejolak.
Semua orang di meja itu menjadi canggung. Julian berdeham dan ingin angkat bicara, tetapi Gabriel langsung mengambil alih pembicaraan.
"Ha-ha-ha, memang benar sekali, Serena beruntung sekali, karena aku jatuh cinta padanya dan hanya padanya. Benar, kan, Sayang?" tanya Gabriel pada Serena yang duduk agak jauh darinya. Serena tidak menjawab apapun.
Antonio langsung menyahut, "Ya, benar apa yang dikatakan Anda, Nyonya. Anak-anak masih mencoba menjelajah. Saya rasa anak saya tidak seberuntung harapan Anda, karena sepertinya Gabriel lebih cocok bersanding dengan anak yang berlatar belakang setara dengan Anda. Sedangkan anak saya, Serena. Dia hanya anak yang saya adopsi dari kakak saya yang sudah lama meninggal."
Suasana di meja itu semakin canggung mendengar balasan Antonio yang merendah diri, meski niatnya adalah untuk menanggapi sindiran Maria.
To be continued