Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Aku Baik-Baik Saja!
"Sihirku memang tidak bisa menyentuh mereka secara langsung," lanjut Riven, suaranya yang dalam dan tenang terdengar jelas di dalam air. "Namun, mereka berada di dalam wilayahku."
Ia berhenti sejenak, menatap lekat mata Luna yang terbelalak dari jarak yang sangat dekat. "Di dalam air, bahkan dewa sekalipun bisa terbunuh olehku. Jadi... jangan mengkhawatirkanku."
Jantung Luna berdebar begitu kencang hingga ia takut Riven bisa merasakannya. Pria yang selama ini ia anggap sebagai antagonis tragis yang perlu dilindungi, nyatanya adalah monster terkuat yang mampu menghadapi Iselyn dan delapan pedangnya sendirian. Perasaan ingin melindungi itu membuatnya lupa, Riven adalah final boss terkuat di game ini.
Riven sendiri merasakan tubuh Luna yang masih bersandar kaku padanya. "Afeksinya masih sama, 1000%," batinnya. Beberapa saat yang lalu, saat gadis itu berbalik untuk mengorbankan dirinya, warna hatinya yang emas murni pemujaan tiba-tiba berubah menjadi putih pengorbanan yang menyala-nyala. Murni, tanpa keraguan.
"Dia... berniat mati untukku. Tapi... kenapa?" Pertanyaan itu berdengung di kepalanya. "Dan sekarang warnanya berubah lagi. Emas Murni, abu-abu kekaguman, biru rasa lega, dan... merah terang gairah. Jika sistem ini tidak salah... apa itu artinya dia benar-benar...?" Ia tidak berani menyelesaikan pemikiran itu. Cengkeramannya di pinggang Luna sedikit melonggar.
Merasakan cengkeraman itu melonggar, Luna tersadar dari lamunannya. Wajahnya memanas saat menyadari posisi intim mereka. Dengan gerakan cepat, ia mendorong diri menjauh dari zona nyaman Riven dan berenang ke arah Haris.
"Aku baik-baik saja!" serunya melalui gelembung udara yang tak bersuara, sebelum teringat dan menunjuk ke sekeliling. "Apa itu Lele terakhir?" tanyanya melalui isyarat.
"Hampir, Putri! Tinggal satu!" jawab Haris. Saat ia hendak menyerang, sebuah panah cahaya melesat dari belakang, menghantam kristal di kepala Lele Truno terakhir. +10 Poin!
Theo terengah-engah, tongkatnya masih terangkat. "Aku... Aku juga kuat... kalian tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku," katanya pada diri sendiri, suaranya pelan dan penuh tekad.
Tepat saat itu, getaran aneh terasa di seluruh penjuru ruangan.
[Lantai 1 Menara Alat Tersihir Selesai!]
Sebuah layar biru transparan yang familier bagi Luna muncul di hadapan mereka. Air keruh di sekitar mereka mulai surut dengan cepat, seolah ditarik oleh lubang tak terlihat, hingga lantai pertama menjadi kering dan becek, menampakkan tumpukan Tulang Truno yang berserakan dan sebuah gerbang batu besar di ujung ruangan.
[Lantai 2 Menara Alat Tersihir Terbuka!]
Luna melihat ke arah yang lain. Mereka semua melihat layar itu, tapi ekspresi mereka tampak biasa saja. "Kalian... melihat layar biru itu juga?" tanyanya, kali ini suaranya sudah bisa terdengar normal.
"Tentu saja, Putri," jawab Haris. "Layar notifikasi seperti ini memang selalu muncul saat menaklukkan menara atau dungeon. Saya dan Theo sudah beberapa kali melihatnya saat ekspedisi di Brunegard." Ia tersenyum. "Apa ini pertama kalinya bagi Anda, Putri?"
"I-iya, ini pertama kalinya," jawab Luna, mencoba terdengar senormal mungkin.
"Ya, pertama kali," sahut Riven tiba-tiba, matanya menatap tajam ke arah tulisan di layar biru itu. Ia tertarik. Teks dan antarmuka itu sama persis dengan apa yang selama ini ia lihat saat memeriksa level afeksi seseorang.
Sementara Riven tenggelam dalam pikirannya, Haris dan Theo mulai memunguti Tulang Truno dengan semangat membara. Mereka memasukkannya ke dalam fitur penyimpanan dimensi di gelang skor mereka dengan tangan gemetar dan senyum sinting di wajah mereka.
"Memangnya tulang ikan lele itu berharga?" gumam Luna heran.
Riven, yang mendengarnya, menoleh. "Lele Truno adalah monster langka. Tulang mereka adalah material utama untuk membuat artefak anti-sihir tingkat tinggi." Ia berhenti sejenak, memperkirakan tumpukan tulang di hadapan mereka. "Satu kilogram tulangnya dihargai sekitar satu koin emas."
Luna mencoba menghitung. Tumpukan itu... sangat besar.
"Setidaknya ada lima ton di sini," lanjut Riven dengan nada datar.
"Li... lima ribu koin emas!?" pekik Luna, matanya terbelalak. Bahkan total uang saku tahunannya sebagai Putri Velmiran hanya 2400 emas. Pantas saja duo Brunegard itu tersenyum seperti orang gila.
Riven lalu menunjuk ke empat Lele Truno utuh yang ia bekukan di dalam balok-balok es besar. "Itu harga untuk tulang kiloan. Spesimen utuh seperti ini biasanya dilelang untuk pajangan para bangsawan yang ingin pamer kekayaan. Harga penawaran awalnya biasanya mulai dari 500 emas untuk satu ekornya."
Mata Luna berubah menjadi simbol koin emas. Tanpa pikir panjang, ia langsung ikut berjongkok dan memunguti tulang-tulang itu dengan semangat yang sama gilanya. "Sial! Di dalam game, tidak ada adegan mereka mengambil jarahan ini! Entah Garam yang serakah itu mengambilnya diam-diam, atau mereka semua sebodoh itu hingga tidak tahu nilainya! Ini harta karun!"
Riven hanya duduk di atas salah satu balok esnya, mengamati ketiga orang itu dengan geli. Hati Haris dan Theo bersinar dengan warna hijau keserakahan yang cerah, sementara hati Luna... adalah perpaduan aneh antara emas pemujaan yang ditujukan padanya, dan hijau keserakahan yang sama pekatnya. Pemandangan yang sangat menarik.
Setelah selesai memasukkan semua Tulang Lele Truno ke dalam penyimpanan dimensi mereka dan beristirahat sejenak, mereka kini berdiri dengan semangat baru di depan gerbang menuju lantai dua.
Haris dan Theo, yang sekarang tahu bahwa mereka sedang duduk di atas tambang emas, tampak sangat termotivasi.
Dengan dorongan kuat dari Haris, gerbang batu itu terbuka. Cahaya yang terang kembali menyelimuti mereka.
Sesaat kemudian, mereka tiba di tempat yang sama sekali berbeda. Air. Tapi kali ini, airnya tidak keruh. Justru sangat jernih, sejernih kristal, dan berkilauan dengan cahaya keemasan yang hangat.
Mereka seolah sedang melayang di dalam lautan madu cair. Pilar-pilar batu giok raksasa menjulang dari dasar hingga langit-langit, menciptakan pemandangan yang megah.
"Indah sekali..." batin Luna, terpesona.
Namun, keindahan itu membawa tekanan yang aneh. Sebuah aura keagungan menekan mental mereka, membuat mereka sulit untuk fokus.
Dari balik salah satu pilar, sesosok makhluk raksasa muncul. Ukurannya sekitar lima meter, sisiknya berkilauan seperti koin emas murni, dan siripnya menjuntai seperti jubah sutra. Setiap gerakannya terasa agung dan menawan, begitu indah hingga membuat orang lupa bahwa itu adalah monster. Seekor Ikan Mas Raksasa.
Mata Riven dan Haris, yang bisa berbicara di dalam air, bertemu. "Aura emas ini... sihirnya diperkuat," kata Haris, suaranya teredam namun tegang. "Tekanan mentalnya juga kuat."
Riven hanya mengangguk singkat. Matanya yang tajam memindai monster itu.
Luna mengenali makhluk ini dengan baik. Ikan Mas Raksasa, Lord level monster, seekor ikan biasa yang menganggap dirinya sebagai Naga. Ia ingat dengan jelas kelemahannya. Tapi masalahnya... bagaimana cara menyampaikannya pada yang lain? "Ugh... padahal Iselyn bisa tiga mantra sekaligus ke empat orang lagi. Apa jarak tokoh utama dengan tokoh sampingan begitu jauhnya?"