NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 1 — Hari Pertama di Neraka Kantor

Jam 7:43 pagi.

Dan Emma Carter sedang menatap jam dinding dengan tatapan ngeri seperti baru sadar bahwa hidupnya sebentar lagi tamat.

“Aku harusnya berangkat jam tujuh tiga puluh,” gumamnya, dengan handuk melilit di kepala dan eyeliner di satu mata — hanya satu. “Oke, Emma, tenang. Kamu cuma... terlambat tiga belas menit dari rencana. Itu bukan akhir dunia.”

Ia menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi sempit apartemennya di Brooklyn. Rambut pirangnya masih berantakan, daster motif kucingnya kebasahan karena kopi yang ia tumpahkan lima menit lalu.

Kopi yang sama, yang seharusnya menjadi penyelamat paginya.

“Bagus. Hari pertama kerja, dan kamu sudah kayak korban bencana dapur,” katanya pada dirinya sendiri sambil menarik napas panjang. Ia mengganti baju secepat kilat, menata rambut seadanya, dan menatap tumpukan dokumen lamaran kerja yang belum sempat ia buang. Di salah satu lembaran itu, nama besar terpampang jelas:

Vibe Media Group — New York.

Tempat kerja impiannya.

Dan entah kenapa, sekarang terasa seperti gerbang neraka yang siap menelannya hidup-hidup.

---

Kereta bawah tanah penuh sesak seperti sarden berdesakan di kaleng. Emma berdiri dengan satu tangan menggenggam tiang, tangan satunya menahan tas kerja baru — yang ia beli semalam secara impulsif karena “harus terlihat profesional.”

“Profesional dari mana kalau aku bahkan belum sempat gosok gigi kedua kalinya,” gerutunya.

Seorang pria tua di sebelahnya menatap, lalu tersenyum. “Hari pertama kerja, ya?”

Emma menatapnya dengan ekspresi kaget. “Bagaimana Bapak tahu?”

“Wajah panikmu itu tanda universal, Nak,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Kereta berhenti mendadak. Emma kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke pangkuan seorang pria muda di depannya. Ia buru-buru tegak, wajahnya memerah.

“Maaf! Aku—uh, ini... bukan bagian dari networking-ku.”

Pria itu terkekeh. “Santai saja. Tapi kalau kamu butuh referensi HRD, aku bisa pura-pura jadi kolega lama.”

Emma memutar bola mata dan menahan tawa. “Lucu sekali, Mr...?”

“Ryan,” katanya ringan. “Ryan Miller.”

Nama itu belum berarti apa-apa untuknya.

Belum.

---

Gedung Vibe Media Group berdiri megah di tengah Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan langit cerah New York.

Emma berdiri di trotoar, menatapnya seperti seorang peziarah yang akhirnya tiba di tanah suci.

“Oke. Sekarang... senyum profesional, postur tegak, dan—”

Ia tersandung trotoar.

“—dan jatuh elegan,” desisnya lirih sambil menepuk-nepuk rok kerjanya.

Resepsionis di lobi menyambutnya dengan senyum standar perusahaan. “Selamat pagi. Nama?”

“Emma Carter. Staf editorial baru,” jawabnya terburu-buru.

Resepsionis menatap layar, lalu berkata datar, “Kamu terlambat tujuh belas menit.”

Emma memaksakan tawa kaku. “Itu... angka keberuntungan, kan?”

“Tidak di sini,” balas si resepsionis tanpa ekspresi.

---

Sampai di lantai 19, Emma melangkah cepat di koridor modern berkarpet abu-abu. Setiap ruangan punya dinding kaca transparan dan aroma kopi mahal. Ia akhirnya menemukan ruang kerja tim editorial — tempat beberapa orang sibuk mengetik, dan salah satunya...

“Hey!” sapa suara ceria yang familiar.

Ryan Miller.

Pria dari kereta tadi.

Sekarang duduk di meja paling ujung dengan kartu nama kecil bertuliskan Intern – Ryan Miller.

“Oh tidak…” gumam Emma pelan.

Ryan bangkit sambil tersenyum lebar. “Jadi kamu staf baru yang katanya bakal jadi mentorku? Wah, dunia kecil banget ya!”

Emma menatap langit-langit, seolah mencari tombol “exit” untuk hidupnya. “Tolong bilang kamu bercanda.”

“Sayangnya enggak,” Ryan menjawab santai. “Tapi jangan khawatir, aku cepat belajar. Aku juga bisa bikin kopi.”

Emma menatapnya lama, lalu menghela napas. “Ya Tuhan, aku resmi punya murid yang aku temui di kereta.”

Ryan menyengir. “Hei, setidaknya aku bukan orang asing yang kamu jatuhin barusan.”

Emma tak bisa menahan tawa kecil. “Belum tentu.”

---

Sekitar satu jam kemudian, notifikasi rapat muncul di layar komputernya:

“MEETING: Division Briefing with CEO – 10:00 AM.”

“CEO?” tanya Emma pada rekan di sebelahnya.

“Yep. Orang paling penting di kantor ini,” jawabnya dengan nada takut. “Jangan sampai salah ngomong.”

Emma merapikan blazernya dan menatap pantulan dirinya di kaca. Ia berbisik, “Kamu bisa. Profesional. Dewasa. Elegan. Tidak akan ada drama.”

Ia masuk ke ruang rapat besar dengan meja kayu panjang, dinding kaca, dan aroma parfum mahal. Semua orang sudah duduk. Sunyi. Lalu pintu terbuka.

Langkah sepatu terdengar berat dan teratur.

Emma menoleh...

Dan dunia berhenti.

Pria itu melangkah masuk dengan jas hitam, rambut cokelat gelap yang rapi, dan tatapan tajam yang dulu pernah membuat jantungnya berpacu tanpa kendali.

Liam Dawson.

Mantan gebetannya.

Pria yang tiga tahun lalu menolak cintanya dengan alasan klasik: “Aku tidak butuh hubungan. Aku butuh fokus pada karier.”

Sekarang, pria itu adalah bosnya.

Liam berhenti di depan meja, menatap semua orang — lalu tatapannya jatuh pada Emma.

Hening. Hanya lima detik, tapi rasanya seperti lima tahun.

“Selamat datang di tim editorial,” katanya datar.

Namun ujung bibirnya menahan sesuatu — entah senyum, atau kenangan.

Emma menelan ludah, berusaha tersenyum. “Terima kasih, Pak Dawson. Senang akhirnya bisa bekerja di bawah Anda.”

Ryan — yang duduk di ujung meja — menahan tawa, berbisik pelan,

“Kalimat itu terdengar agak ganda, tahu nggak?”

Emma menendang kakinya di bawah meja.

Dan di dalam kepalanya, satu kalimat bergema:

> “Tentu saja. Dari semua kantor di dunia… kenapa harus di sini aku bertemu dia lagi?”

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!