Masa putih abu-abu mereka bukan tetang pelajaran, tapi tentang luka yang tak pernah sembuh.
Syla tidak pernah meminta untuk menjadi pusat perhatian apa lagi perhatian yang menyakitkan. Di sekolah, ia adalah bayangan. Namun, di mata Anhar, ketua geng yang ditakuti di luar sekolah dan ditakdirkan untuk memimpin, Syla bukan bayangan. Ia adalah pelampiasan, sasaran mainan.
Setiap hari adalah penderitaan. Setiap tatapan Anhar, setiap tawa sahabat-sahabatnya adalah duri yang tertanam dalam. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika Anhar mulai merasa gelisah saat Syla tak ada. Ada ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Dan kebencian itu perlahan berubah bentuk.
Syla ingin bebas. Anhar tak ingin melepaskan.
Ini tentang kisah cinta yang rumit, ini kisah tentang batas antara rasa dan luka, tentang pengakuan yang datang terlambat, tentang persahabatan yang diuji salah satu dari mereka adalah pengkhianat, dan tentang bagaimana gelap bisa tumbuh bahkan dari tempat terang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAAT DADA TAK LAGI MAMPU MENAHAN
HAPPY READING
Jangan lupa follow akun instagram author
@rossssss_011
Deru motor tua itu merayap pelan sebelum akhirnya berhenti di depan gerbang sekolah. Suara mesinnya bergetar tidak beraturan, seolah memohon untuk segera diistirahatkan. Beberapa siswa menoleh, ada yang berbisik, ada yang tertawa kecil melihat motor tua yang catnya sudah kusam itu.
Raka melepaskan helmnya, menghela napas panjang, lalu menoleh ke belakang. “Sudah, sampai. Hati-hati, ya.” Suaranya tenang, meski sorot matanya menyimpan lelah yang tidak ia tunjukkan.
Syla merapikan seragamnya setelah turun dari motor ayahnya. Ia tidak peduli dengan sekitarnya, hari ini ia bertekad akan melawan siapa pun yang menindasnya lagi.
“Terima kasih, Ayah,” ucapnya tulus, memberikan helm ke pada Raka.
Raka mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Syla yang sedikit berantakan. Perlakuan sederhana itu membuat beberapa siswa yang lalu lalang sedikit merasa iri, tapi lebih banyak mencibir.
“Ingat kata adik kamu tadi, kalau ada yang macam-macam sama kamu, jambak aja rambutnya.”
Senyum Syla mengembang mendengar itu, ia menatap ke gerbang sekolah. “Ayah, aku masuk dulu. Ayah hati-hati, ya.”
Raka mengangguk, senyumnya juga tidak pernah luntur. “Iya, semangat putri ayah.”
“Semangat juga, Yah.”
Ayah dan anak itu tidak menyadari jika inti Reapers yang sedang nangkring di seberang jalan sedari tadi menjadi penonton. Keenam pemuda itu tidak bergerak sama sekali, seolah tersihir untuk menjadi penonton ayah dan anak itu.
Jaguar yang duduk di jok motornya merasakan gemuruh hebat di dadanya saat melihat pria paru baya yang sangat ia kenal. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengannya. Ia bahkan sengaja untuk menghindar karena takut orang tua itu akan kembali mengingat masa lalu bagaimana putranya pergi meninggalkan luka mendalam.
“I-tu bokapnya, Syla?” tanya Yoyo menunjuk ke depan gerbang sekolah.
Motor hitam RX King berjejer di pinggir jalan. Para tuannya memakai jaket kulit kebanggaan Reapers, duduk di masing-masing jok motor mereka.
Jaguar turun dari jok motornya. Tatapannya tidak melepas objek di depannya, ia ingin mendekati pria paru baya di sana. Ingin kembali meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu, langkahnya kian mendekat seiring teriakan sahabat-sahabatnya di belakang.
Sepatu hitam milik Jaguar berhenti dekat motor tua milik Raka. Sedangkan Raka masih menatap punggung Syla yang perlahan menghilang di balik gerbang sekolah.
“Om Raka,” lirih Jaguar.
Raka yang mendengar namanya di panggil menoleh. Matanya langsung menangkap pemuda dengan seragam sekolah yang sama dengan anaknya, tapi di depannya seragam itu dibalut jaket kulit hitam.
“Kamu…”
Mata Jaguar merah. Menahan gelombang air yang siap meluncur detik itu juga, sebisa mungkin tetap menatap wajah orang tua di depannya.
Jaguar segera meraih tangan kanan Raka, menunduk seolah mencium punggung tangan itu. “Om Raka.”
Anhar, Yoyo, Vino, Haikal, dan Keylo, melihat bagaimana Jaguar menatap ayah Syla di sana. Mereka tidak tahu sejauh apa hubungan Jaguar dengan masa lalunya, Jaguar juga tidak pernah bercerita banyak tentang temannya itu.
“Jaguar kenapa nangis?” tanya Haikal saat berusaha melihat wajah Jaguar.
“Kayaknya, Jaguar benar-benar terjebak masa lalunya, gue bahkan bisa ngerasain sakit yang Jaguar rasa saat cerita ke kita tentang temannya itu.”
Raka memberikan senyum hangat pada pemuda di depannya. Ia tidak lupa dengan wajah itu, ia hanya kaget dengan tubuh pemuda yang seperti seorang atlet bela diri berbakat.
“Jadi kamu kakak kelas Syla di sini?” tanya Raka setelah menunggu Jaguar menenangkan diri karena menangis.
Jaguar mengangguk samar. “Iya om, Saya juga baru tahu kalau Syla ternyata adiknya Haidar.”
Raka menepuk kedua lengan Jaguar, serta senyum hangat di wajah tuanya yang mulai menua. “Om juga masih belajar untuk berdamai dengan masa lalu.”
“Kamu juga harus bisa berdamai. Kejadian itu bukan sepenuhnya salah kamu, jangan terus-terusan terjebak. Om yakin, Haidar tidak menyalahkan kamu.”
Jaguar hanya bisa menunduk dalam. Goresan masa lalu itu kian terbuka lebar, pahatan wajah di depannya begitu tegar di balik keriput kulitnya yang semakin hari semakin dimakan waktu. Dia kembali merasa bersalah, hanya kata ‘andai saja’ yang selalu datang terlambat memenuhi pikirannya.
“Nak, boleh om minta satu hal?” tanya Raka, ini tentang Syla.
Jaguar mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk cepat. “Boleh om.”
“Boleh kamu awasi Syla? Om tahu Syla selalu mendapat perundungan di sekolah ini, jadi om ingin kamu membantu Syla. Awasi saja dari jauh, takutnya Syla…”
Jaguar menunggu kalimat selanjutnya dari bibir itu. Andai saja Raka tahu, jika salah satu yang membully Syla di sekolah ini adalah sahabatnya, mungkin saja Raka sudah enggan melihatnya lagi.
“Saya akan melindungi Syla, sama seperti saya melindungi Haidar,” ucapnya mantap. “Kesalahan masa lalu tidak akan terulang pada Syla, Om. Saya bisa jamin itu.”
&&&
Syla bersenandung kecil melewati koridor kelas yang sepi karena saat ini proses belajar sedang berlangsung. Ia baru kembali dari perpustakaan untuk mengembalikan buku paket yang ia pinjam beberapa hari lalu, gadis itu tersenyum tipis dengan wajah cerah, walau bagian pelipisnya terdapat luka goresan.
Di lapangan basket, ada satu kelas yang sedang melakukan praktek bermain bola. Syla sempat berhenti untuk melihat mereka, bukan melihat para perempuan yang bermain bola. Tapi melihat para laki-laki bermain basket di lapangan sebelah.
Di lain sisi. Vina dkk melihat mangsanya ada di depan mata, senyum licik tiba-tiba saja muncul di wajah mereka. Mereka saling bertatap, seolah tahu isi pikiran masing-masing.
“Sini bolanya, Luna,” kata Vyna merebut bola dari tangan Luna.
“Vyna, jangan aneh-aneh deh. Di sini ada pak Rahman,” cegah Nessa melihat guru mereka sedang mengawasi murid laki-laki.
“Ngapain takut? Kita cuma bercanda Nessa sayang,” balas Mila menggandeng lengan Nessa.
“Tunggu apa lagi?” tanya Mila melihat bola di tangan Vyna. Ia tidak sabar melihat pertunjukan yang akan membuatnya senang.
Vyne mulai mengambil ancang-acang, lalu Vyna menendang bola mengarah ke Syla yang masih tidak menyadari ia dalam bahaya. Tidak ada yang melihatnya, bola itu melayang cepat ke arahnya.
Buk!
“Aawwsss,” rintihnya sambil mengusap lengan kirinya yang sedikit sakit karena bola itu cukup kencang mengenainya.
“UPSSS! SORRY YA, GUE SENGAJA SOALNYA.” Teriak Vyna di lapangan.
“BAWAH DONG BOLANYA KE SINI,” lanjut Mila.
Syla melihat bola di lantai, menatapnya cukup lama. Tapi kemudian ia mengambilnya dan berjalan ke lapangan di mana Vyna dkk menunggunya dengan sejuta rencana licik di otak cantik mereka.
Vyna melipat kedua lengannya di dada. Tatapannya memandang rendah ke Syla, senyum tipis terberit, merampas bola itu dari tangan Syla.
“Lo ternyata semiskin itu, ya? Berangkat sekolah kok naik motor butut,” hina Vyna, memandang rendah pada Syla.
Syla terdiam. Menatap Vyna yang tertawa bersama teman-temannya, mereka menertawakan motor tua ayahnya. Syla tidak menunduk, tatapannya lurus menatap Vyna dkk.
“Apa yang lucu?” tanyanya, mengangkat kedua alisnya.
“Lo tanya apa yang lucu? Ha?” Mila maju, menunjuk kening Syla beberapa kali. “Lucunya karena lo anak seorang karyawan biasa.”
“Sekolah ini nggak sudi menampung murid beasiswa kayak lo, gue yakin buat makan sehari aja lo pasti nggak mampu, ya? Kasian banget sih lo!”
“Sayangnya, sekolah ini sendiri yang datang buat ngasih aku beasiswa. Bukan aku yang mendaftar, atau minta untuk ditampung di sini,” sarkas Syla penuh percaya diri.
Ia tidak akan memberi celah rasa takut dalam dirinya untuk keluar. Kali ini, ia ingin memperlihatkan pada mereka, bahwa dirinya bisa bangkit dari penindasan mereka. Dia tidak mau terlihat lemah, ia akan melawan penindasan dari semua siswa.
“Lo berani lawan gue?” tantang Vyna maju mendekati Syla.
Syla tidak gentar. Matanya menunjukkan sorot yang dalam, yang tidak getar karena takut. Melainkan tatapannya berani membalas tatapan Vyna.
“Aku nggak pernah takut sama kamu, kak Vyna.”
Vyna semakin panas. Ia tidak menyangka jika Syla akan melawannya balik, ia juga menyadari dari tatapan Syla yang menusuk, tidak ada tatapan lemah, takut, dan pasrah saat ia dan teman-temannya merundungnya.
“Wow!”
“Kalian semua bisanya hanya membully siswa yang lemah, kalian aman selama ini karena ada pemilik sekolah di belakang kalian.”
Ucapan Syla berhasil membuat hawa panas semakin terasa di antara mereka. Memang benar, Syla bahkan mendapatkan informasi itu dari Dion. Ia juga tidak tahu dari mana Dion tahu hal itu, tapi Syla juga sangat berterimakasih pada Dion.
Vyna terkekeh pelan, sinis, dan tajam. “Lo ngomong apa barusan?” Vyna
“Kamu nggak dengar atau pura-pura nggak dengar?” Syla menatap mereka bergantian. “Kalian itu cuma murid yang lemah, kalian seenaknya menindas dan membully murid lemah.”
Plak!
KAYAK BIASA YA BESTIE😌
KOMENNYA JANGAN LUPA, LIKENYA JANGAN KETINGGALAN JUGA YA, KARENA SEMUA ITU ADALAH SEMANGAT AUTHOR 😁😉😚
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA MASIH TETAP BETAH DI SINI😗😗🙂🙂
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👇👇👇
PAPPAYYYYY👋👋👋👋👋👋👋👋👋👋👋