Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Gema Badai Pertama
Seminggu telah berlalu sejak pengumuman kemenangan tender. Waktu seolah berakselerasi. Rumah keluarga Tremaine telah berubah menjadi markas komando yang sibuk. Papan tulis penuh coretan strategis kini menggantikan lukisan pemandangan di ruang keluarga. Aroma kopi kental lebih sering tercium daripada aroma masakan.
Perubahan paling drastis terlihat pada Lyra. Pagi itu, saat Jay turun ke ruang makan, ia disambut bukan dengan sindiran, melainkan dengan setumpuk nasi goreng spesial dan telur mata sapi yang dimasak sempurna.
"Jay, sarapan dulu," kata Lyra dengan senyum yang sedikit kaku. "Makan yang banyak, otakmu butuh banyak energi untuk berpikir."
Jay hanya mengangguk sopan dan mulai makan, menerima perlakuan aneh itu dengan ketenangan yang sama seperti saat ia menerima cemoohan dulu. Elara, yang melihat interaksi itu dari seberang meja, harus menahan senyum. Dunia benar-benar sudah terbalik.
Siang harinya, mereka berada di lokasi, di kaki Gunung Hantu. Sebuah base camp darurat telah didirikan. Deru mesin gerinda dan las listrik terdengar riuh. Di bawah arahan Pak Tarno, tim mekanik baru bekerja tanpa lelah memodifikasi dan menghidupkan kembali tiga 'Raksasa Tidur'. Bastian Tremaine, dengan helm proyek di kepala, tampak bersemangat, meneriakkan perintah dan mengawasi semuanya.
Namun, alam punya rencananya sendiri.
Tepat setelah makan siang, langit yang tadinya cerah dengan cepat berubah menjadi kelabu gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung dari puncak Gunung Hantu. Angin mulai bertiup kencang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
"Cepat bereskan peralatannya! Amankan terpal!" teriak Bastian. Perkiraan cuaca hanya menyebutkan hujan ringan, tapi ini tampak seperti badai tropis.
Benar saja. Beberapa menit kemudian, hujan turun. Bukan sekadar hujan, melainkan seolah langit terbelah dan menumpahkan seluruh isinya. Air bah mengalir deras dari lereng gunung, mengubah tanah kering menjadi lumpur dalam sekejap.
Wajah Bastian memucat. Kepanikan mulai menjalari seluruh tim. "Longsor!" teriak salah seorang pekerja sambil menunjuk ke lereng di atas mereka. "Jalur baru itu... kalau sampai tergerus air, kita habis!"
Semua mata kini tertuju pada jalur penebang kayu yang menjadi tumpuan harapan mereka. Itu adalah titik terlemah mereka. Sebuah jalur tanah tua melawan amukan badai dahsyat. Proyek mereka bisa berakhir bahkan sebelum dimulai.
Di tengah kepanikan itu, hanya Jay yang berdiri tenang di bawah peneduh, mengamati aliran air dengan saksama. Elara berlari menghampirinya, wajahnya cemas. "Jay, bagaimana ini?"
Jay menunjuk ke lereng di atas jalur rahasia itu. "Lihat."
Elara menyipitkan matanya. Barulah ia sadar. Selama tiga hari terakhir, atas instruksi Jay yang aneh, para pekerja telah menghabiskan waktu menggali serangkaian parit dalam di sepanjang titik-titik rawan di jalur itu. Mereka juga memasang jaring-jaring geotekstil di beberapa tebing. Saat itu, Bastian sempat mempertanyakan biaya dan waktu yang terbuang untuk pekerjaan yang ia anggap "berlebihan".
Kini, di tengah amukan badai, fungsi "pekerjaan berlebihan" itu terlihat.
Air hujan yang turun seperti air terjun tidak langsung menghantam dan menggerus permukaan jalan. Aliran deras itu lebih dulu masuk ke dalam parit-parit yang telah mereka gali, kemudian dialirkan melalui saluran-saluran alami menuju ke sungai di lembah. Jaring-jaring di tebing menahan tanah dan batu-batu kecil agar tidak longsor.
"Bagaimana kau tahu?" bisik Elara takjub.
"Peta lama tidak hanya menunjukkan di mana jalurnya," jelas Jay, suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru hujan. "Peta itu juga memiliki tanda-tanda kecil tentang titik aliran air musiman dan area yang rawan longsor. Ini bukan sekadar jalur. Ini adalah sebuah sistem drainase kuno yang dirancang untuk bertahan dari cuaca terburuk sekalipun. Kita hanya mengaktifkannya kembali."
Tim pekerja yang tadinya panik, kini berdiri terpana di samping Bastian, menyaksikan keajaiban rekayasa sipil itu. Jalur harapan mereka, jalur senilai puluhan miliar itu, tetap kokoh di tempatnya, aman dari gerusan badai.
Bastian Tremaine menatap menantunya, lalu ke jalur yang aman, lalu kembali lagi ke menantunya. Kekagumannya kini telah berubah menjadi kepercayaan mutlak. Kejeniusan Jay bukan hanya soal menemukan peluang, tapi juga tentang mengantisipasi bencana.
Ia mengambil radio komunikasinya, suaranya yang tegas mengalahkan deru badai.
"DENGAR SEMUANYA!" teriaknya, memastikan semua mandor dan kepala tim mendengarnya. "Mulai detik ini, semua keputusan strategis dan teknis di lapangan harus mendapat persetujuan dari Jay. TANPA KECUALI!"
Deklarasi itu menggema melalui radio di seluruh base camp. Para pekerja menatap Jay dengan tatapan baru yang penuh rasa hormat. Ia bukan lagi sekadar menantu bos. Ia adalah sang ahli, sang pawang Gunung Hantu.
Badai terus mengamuk, tetapi di hati tim kecil Tremaine Logistik, kepanikan telah sirna, digantikan oleh keyakinan yang kokoh. Di bawah kepemimpinan Jay, mereka tidak hanya akan menaklukkan proyek ini. Mereka akan menguasainya.