Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Saat berlalu, kini Deva sudah di tangani oleh dokter. Namun, ia belum juga sadarkan diri. Dion menunggu dengan tenang di sisi putrinya, ia terus menggenggam tangan Deva sejak tadi seakan ia takut jika gadis itu tak akan bangun lagi.
"Dev, bangun. Jangan bikin Daddy khawatir." Gumam Dion lembut.
Saat kekhawatirannya semakin menjadi, sebuah pesan dari nomor tak di kenal muncul. Dion mengernyitkan dahi, ia mengklik rekaman yang ada di ponselnya.
Awalnya semua nampak baik-baik saja, hingga ketika rekaman vidio itu terus berputar raut wajah Dion nampak berubah merah padam.
Dion memundurkan kursinya, dan pergi dari ruangan Deva tanpa menoleh sedikit pun ke arah putrinya.
***
Cahaya matahari mulai menyinari ruangan di rumah sakit tempat Deva dirawat. Sinar itu membuat Deva terbangun perlahan. Dia membuka kedua matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan.
Deva bangkit dari ranjang, menyenderkan punggungnya pada sandaran. Setelah merasakan kepalanya berat kemarin, kini dia mulai paham mengapa orang-orang di sekitarnya membenci sosok Deva.
"Pada akhirnya, gue kembali ke kenyataan. Di mana keberadaan gue nggak pernah diharapkan," keluh Deva.
Dia menghela napas berat. "Hah... gue kira kehidupan kali ini bakal bahagia sampai akhir, ternyata malah begini!"
Deva menunduk, terkekeh miris. Rasa sakit di kepalanya semalam ternyata merupakan ingatan terakhir yang diberikan pemilik tubuh. Bahkan, dia sempat bertemu dengan Deva asli. Pecahan puzzle yang membuatnya bimbang akhirnya tersusun dengan rapi.
"Apa nasib buruk gue nggak bisa diubah? Kenapa penulisnya harus pilih kasih begini? Mentang-mentang tubuh gue berperan antagonis, seenaknya bikin gue terjebak di situasi sulit."
Deva memijat pelipisnya perlahan. "Sekarang, gue harus bagaimana?"
Dia mengingat kembali ucapan Deva asli ketika bertemu di alam mimpi, bagaimana gadis itu menjelaskan posisinya yang dibenci semua orang dan mengapa jiwanya masuk ke dalam novel tersebut.
Beberapa jam yang lalu, sebelum Deva sadar, dia terbangun di sebuah ruangan gelap gulita tanpa sedikit pun cahaya. Hingga ia mendengar suara seseorang memanggil namanya. Deva mengikuti asal suara itu.
Suara itu lembut, namun penuh keputusasaan, seolah meminta pertolongan dari dalam kegelapan. Langkah Deva bergetar, tapi rasa penasarannya mendorong untuk terus maju.
Bayang-bayang di sekelilingnya tampak bergerak, seolah mengawasi setiap gerakannya.
"Deva," suara itu memanggil lagi. Kali ini, ada nuansa familiar yang membuat jantungnya berdebar.
"Di sini, Deva. Gue udah nunggu lo."
Akhirnya Deva menemukan sebuah cahaya kecil yang berpendar lembut di tengah kegelapan. Saat dia mendekatinya, sosok itu mulai terlihat.
Itu adalah dirinya sendiri, namun dengan aura yang berbeda. Sosok itu memancarkan kesedihan yang mendalam.
"Gue adalah bagian dari dirimu yang tersisih," katanya, suaranya gemetar.
"Gue karakter yang dihujat semua orang, dan gue adalah pemilik tubuh asli yang lo tempati sekarang. Sosok yang terasing di dunia yang nggak pernah menginginkan gue."
Hati Deva terasa tertekan mendengar penjelasan itu. Dia ikut merasakan sakit yang dimiliki gadis itu, seakan ada benda tajam yang merobek dadanya.
"Deva, maaf karena membuat lo berada di posisi ini. Tapi gue udah nggak kuat, Dev," lirih jiwa asli Deva Claudia.
"Kenapa lo nggak melawan?" tanya Deva, berusaha memahami. "Kenapa lo membiarkan diri lo kalah sama keadaan?"
"Karena..." jawab sosok itu lirih. "Gue adalah cerminan dari rasa sakit dan penolakan."
Claudia menatap lembut ke arah Deva. "Di dunia ini, gue nggak pernah diterima. Setiap kali gue mencoba berjuang, gue cuma semakin terpuruk."
Deva merasakan empati yang mendalam. Dia ingin membantu, tapi bagaimana caranya?
"Lo bisa mengubah alurnya, Clau. Kenapa lo harus nyerah?" ujarnya dengan nada yakin.
Sosok itu menatap Deva dengan mata sendu. "Nggak semudah itu, Dev. Penulis nggak mungkin bikin gue... yang jadi musuh utama cerita ini bisa hidup tenang."
Deva menepuk kedua pundak Claudia. "Kata siapa? Kalo lo nggak sanggup, gue yang bakal lakuin."
"Apa lo nggak takut? Nggak ada satu pun orang yang di pihak lo, Dev," ucap Claudia cemas.
Namun, Deva justru menunjukkan raut wajah ceria. Dia tak ingin membuat jiwa Claudia semakin tidak tenang.
"Clau, meski gue takut, gue harus mampu. Rasa takut bukan buat nunjukin kelemahan gue, tapi buat bikin gue jadi lebih kuat."
Senyum tulus merekah di bibir Claudia. Dia memeluk tubuh Deva, mengelus punggungnya penuh kasih sayang, layaknya seorang saudara.
"Gue percaya sama lo. Tolong bawa raga gue merasakan bahagia meski cuma sebentar, Dev," lirih Claudia memelas.
"Pasti. Gue pasti nepatin permintaan lo," balas Deva sambil memeluknya erat.
Terpaan angin menerbangkan rambut mereka. Claudia kemudian menjelaskan alasan di balik kebencian semua orang.
"Dev, kedatangan lo ke dunia ini bukan cuma buat jadi tokoh antagonis. Tapi lo harus bisa menghapus karakter seseorang yang ada di sekitar lo," ujar Claudia, membuat kening Deva berkerut.
"Maksud lo?"
"Ada satu karakter yang berasal dari dunia lo. Dia udah hidup di novel ini enam kali, dan tujuannya selalu sama... bikin gue mati. Dan dia selalu berhasil. Kalau kali ini dia berhasil lagi, semua tokoh di dunia ini bakal tunduk padanya."
"Terus kenapa? Bukannya nggak ada yang peduli sama lo?"
Claudia terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. "Karena jujur, gue sayang sama kakak dan daddy, Dev."
"Gue cuma punya mereka. Meski mereka benci sama gue, gue nggak mau mereka terhasut dan berada di bawah kendali orang itu."
"Clau, bukannya daddy lo baik?" tanya Deva heran.
Semilir angin semakin kencang, dan Claudia tersenyum pilu. "Baik, ya? Seingat gue, daddy itu orang yang—"
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪