NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:377
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16

(POV Sarah)

Sarah yang kalian kenal: cewek kaya, playgirl, penganut hubungan bebas. Tapi, ada rahasia yang tersembunyi di balik topeng itu. Dulu, aku pernah jadi sosok yang berlawanan: setia, bucin, dan nurut. Ya, sungguh. Orang pertama yang mengajariku cinta yang membara juga memberiku pelajaran pahit bahwa cinta bisa jadi racun yang mematikan. Kuliah kehidupan yang dia berikan membawaku ke rumah sakit jiwa, di mana aku berkali-kali mencoba menyakiti diri sendiri, berharap rasa sakit tak kasat mata di sekujur tubuhku bisa lenyap selamanya.

Mari kita bedah, 'orang ini'.

Cowok greenflag dengan usaha yang luar biasa bertemu dengan anak SMA kesepian sepertiku. Kekurangan perhatian dan kehangatan orang tua. Satu-satunya sandaranku saat itu adalah Carissa, gadis malang dari panti asuhan yang menjadi sahabatku sejak SMP. Tapi, Carissa lebih kuat dariku. Dia tumbuh menjadi gadis positif, apa adanya, dan percaya diri di tengah keterbatasan. Dia yang mengisi kekosongan saat orang tuaku sibuk membangun perusahaan raksasa, melupakan putri kecil mereka yang lahir ke dunia ini.

Oke, kembali ke 'orang ini'. Pertemuan pertama dengan atlet renang, anggota klub renang paling bergengsi di kota, terjadi saat drama kaki kejang dan hampir tenggelam. Dia menyelamatkanku. Sejak itu, les renang yang kubenci berubah jadi hari yang kutunggu-tunggu. Perhatianku tertuju padanya, dan sepertinya dia juga merasakan hal yang sama. Di waktu luangnya, dia menghampiriku untuk sekadar menanyakan kabar atau basa-basi. Percakapan basa-basi berlanjut jadi menunggui latihanku selesai, tukar nomor HP, dan mengantarku pulang dengan motor bebek bututnya. Aku memilih itu daripada diantar sopir pribadi. Dari duduk berjauhan, kami semakin dekat, sampai akhirnya aku memeluknya dari belakang.

Hatiku yang kosong perlahan terisi: kecanggungan, penantian, keinginan, dan ketergantungan. Sampai di fase keterikatan, aku menjadi gadis gila yang tantrum saat dia ikut lomba renang tingkat nasional. Waktu bersama menipis, komunikasi tak lagi sehat. Hanya aku yang merasakan kehampaan ini. Aku mencoba untuk tidak overthinking, tapi setiap detik dan menit, otakku berperang dengan diri sendiri. Berisik sampai aku kehilangan diri sendiri, kehidupan, dan sekelilingku. Aku duduk diam dengan mata kosong, kehilangan minat pada segalanya. Benar, segalanya.

Satu-satunya yang ada di otakku adalah dia: kenangan bersamanya, apa yang pernah kami lakukan, bagaimana dia mengabaikanku saat ini, bagaimana aku berperang dengan diri sendiri. Aku bahkan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak cukup baik untuknya hingga diabaikan sedemikian rupa.

Carissa satu-satunya yang tahu kondisi mentalku yang parah. Setiap hari sepulang sekolah, dia menemaniku duduk dalam diam. Membawa makan siang ke kamar, menyuapiku yang menatap kosong ponsel yang sudah tujuh hari membisu. Pertandingan sudah usai dua hari lalu. Aku tak punya alasan lagi untuk menghubunginya.

Sore itu, Carissa datang membawa es buah kesukaanku. Aku sedang di kamar mandi, memotong rambutku dengan cutter. Carissa menggedor-gedor pintu sekuat tenaga, bahkan mencoba mendobraknya. Aku tak tega melihatnya begitu khawatir. Aku membuka pintu, tersenyum padanya untuk pertama kali. Aku takkan lupa ekspresi wajahnya: kaget, miris, dan menangis. Sedangkan aku, tertawa.

Orang tuaku pulang di hari ke-20 aku mengurung diri. Setelah mendengar penjelasan Carissa tentang kondisiku, Mami memelukku dan Papi mengambil ponsel yang kugenggam erat. Lalu, mereka membawaku ke rehabilitasi, atau rumah sakit jiwa. Di sana, tidak seperti yang dibayangkan orang-orang: kurungan, isolasi, penyiksaan, makian, kekerasan, pemaksaan. Tidak, tidak seperti itu. Di sana, aku diperlakukan selayaknya manusia yang butuh pertolongan. Carissa diizinkan menemaniku belajar, bermain, dan mengobrol. Dengan bantuan obat dan terapi, aku mulai tenang dan sehat secara mental. Aku keluar dari fase berduka dan menuju pelepasan. Aku sembuh dan menjadi Sarah yang baru: lebih kuat, logis, positif, optimis, dan percaya diri. Tidak singkat. Tiga bulan di pusat rehabilitasi, setahun adaptasi dengan diri yang baru. Sampai sekarang, aku mengontrol diri agar tidak membawa perasaan ke setiap permainan.

Permainan yang hanya aku yang boleh kendalikan. Yang ada hanyalah korban Sarah, bukan Sarah menjadi korban. Aku mengajak mereka masuk ke dalam permainan psikologisku sampai tergila-gila dan candu pada setiap tindakan dan perkataanku. Ketika aku sudah memilih, dialah mainanku sampai aku melepaskannya. Belum sekalipun aku menahan seseorang lebih dari tiga bulan. Karena aku tahu, jika berinteraksi intim dengan seorang pria lebih dari tiga bulan, logika akan beralih ke perasaan. Ketika perasaan mulai ikut serta, aku akan terjebak dan menjadi budak cinta lagi. Aku akan merasakan keterikatan, kecemburuan, posesif, kepemilikan, dan penderitaan pun muncul. Pada akhirnya, aku akan patah hati, sakit hati, berduka, dan permainan tidak akan menyenangkan lagi.

Gadis favoritku sedang duduk di meja kerjanya, depan laptop dan buku catatan tebalnya yang banyak lembaran yang terlipat - petanda itu adalah bagian-bagian yang penting. Tapi kalau hampir setiap halaman itu di lipat, berarti semua yang ada di dalam itu penting dong. Trus gunanya melipat itu apa?

Kaca mata yang lensanya semakin tahun semakin tebal itu menjadi piagam atas kerja kerasnya selama ini. Tapi walau tampak kerja keras, tapi selalu tidak keliatan hasilnya. Piyama yang sudah lima tahun di pakai, kaos favorit dia yang masih menjadi favorit setelah dua tahun. Skincare nya juga aku yang hadiahin untuk dia. Intinya, tidak ada penghargaan apa-apa untuk dirinya sendiri yang menonjol. Tapi mungkin saja di balik itu dia punya tabungan yang banyak sampai hari tuanya. Karena Carissa adalah anak yatim piatu yang tumbuh besar di panti asuhan. Seorang yang baik hati tapi keras kepala, tampak lemah tapi sebenarnya tangguh, Kulitnya pucat tapi dia tidak pernah sakit, punya body bagus tapi tidak pernah olahraga apalagi diet. Intermitten Fasting saja dia gak tau itu apaan. Beda dengan aku yang gampang gemukan. Aku tidak bisa mengikuti pola makan Carissa yang ugal-ugalan.

“Sa, lagi sibuk apa sih? Temenin netflix yuk.” Tanyaku tapi tidak berhasil membuat dia mengalihkan pandangannya dari lembaran catatan tebalnya.

“Gak bisa, besok Pak Henry ada pertandingan. Malam ini aku selesai menganalisis lapangan lalu kirim ke Pak Henry sebelum besok.” Ujarnya serius. “Kamu nonton sendiri aja dulu yah, Rah.”

“ehem. Pak Henry?”godaku. “Panggil Henry aja gak sih? Atau, Richard.” Akhirnya berhasil membuat Carissa menoleh ke arahku tapi dengan tatapan tajam dari balik lensa botolnya.

“Dia Boss aku, wajar aku panggil Pak.” Ujarnya dengan nada kesal yang tidak kedengaran kesal, melainkan malu.

“Iya, Iya.. Bapak Henry yang Rissa cintai, apakah kamu sedang menunggu pesan dari Carissa yang cantik dan rajin ini?” Aku pura-pura mengetik di layar handphone ku yang gelap. Tapi Carissa auto panik, mengira aku beneran sedang mengirim pesan ke pria idamannya.

“Enggak, Sa.. Liat aku canda.” Aku menunjukkan layar gelap handphone ku dan seketika berhasil membuat dia kembali ke meja kerjanya dan tenggelam dalam imajinasi lapangan golf berdasarkan isi dari lembaran-lembaran yang terlipat itu.

Aku menghela napas, tahu betul kalau Carissa tidak akan bergeming dari pekerjaannya. Percuma saja membujuknya. Akhirnya, aku menyerah lalu menyalakan laptop, mencari earphone di dalam tas Dior-ku, lalu merebahkan diri di kasur spring bed yang sudah berumur. Kamar Carissa memang sederhana, tapi selalu terasa nyaman dan menenangkan. Mungkin karena aroma terapi lavender yang selalu dinyalakan atau karena kehadiran Carissa yang selalu membuatku merasa nyaman.

Film mulai diputar, tapi pikiranku melayang ke mana-mana. Carissa yang sibuk dengan pekerjaannya, dan masa laluku yang kelam. Aku mencoba fokus pada film, tapi mata ini terasa berat. Mungkin karena kurang tidur atau karena terlalu lelah dengan drama kehidupan ini.

Tanpa sadar, aku sudah terlelap. Earphone masih terpasang di telinga, laptop masih menyala di pangkuan, dan film masih terus berjalan. Aku tidur dengan nyenyak, seolah tidak ada beban.

Beberapa jam kemudian, aku terbangun karena merasakan ada gerakan di sampingku. Aku membuka mata dan melihat Carissa. Dia sudah mengganti kaosnya dengan piyama tidurnya yang lusuh.

"Udah bangun?" tanyanya. "Maaf ya, aku sibuk. Nggak bisa nemenin kamu nonton."

Aku tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku juga ketiduran, kok."

Carissa membenarkan posisi laptop di pangkuanku lalu mematikan filmnya.

"Kamu tidur nyenyak banget," ujarnya.

Aku mengangguk dan memeluknya erat. "Makasih ya, Sa. Selalu ada buat aku."

Carissa membalas pelukanku. "Kamu juga, Rah. Jangan sungkan cerita kalau ada apa-apa."

Aku mengeratkan pelukanku dan memejamkan mata. Merasakan kehangatan dan kenyamanan yang selalu kudapatkan dari sahabatku. Aku bersyukur memiliki Carissa di hidupku. Dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengenalku dan menerimaku apa adanya.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!