Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 29
Kevin meletakkan ponselnya di meja, memijat pelipisnya pelan.
Satu, dua, tiga... bahkan lima panggilan tak terjawab semua dari Meira.
“Oh, come on...” gumamnya pelan, napasnya berat.
Wajahnya menegang, mata menatap layar.
“Aku can’t deal with this right now,” ucapnya lirih sambil mengusap wajahnya.
Kepalanya masih penuh dengan pembicaraan barusan bersama Anton, tentang tes, tentang Kenji, tentang semua kekacauan SilverDawn yang makin runyam.
Bibirnya mengatup rapat. Meira, please... not tonight, batinnya.
Ia menatap lagi layar ponsel itu nama Meira masih terpampang di sana, dengan foto profilnya yang sedang tersenyum lembut.
Biasanya senyum itu bisa sedikit menenangkan, tapi malam ini malah membuat dadanya semakin berat.
Dengan desahan pendek, Kevin mematikan layar dan membiarkannya tergeletak di meja.
“Sorry, Meira,” katanya setengah bergumam. “I just need some space.”
Ia lalu merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap.
_____
Keesokan paginya, tepat pukul 04.00, Kevin sudah melangkah keluar dari rumahnya dengan jaket hitam tebal dan masker menutupi separuh wajah. Udara dini hari masih lembap, jalanan sepi hanya diselimuti suara serangga dan deru angin.
Ia menarik napas panjang, menatap kanan kiri memastikan tak ada bayangan kamera atau mobil yang mencurigakan.
“Too early for paparazzi, I guess,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Langkahnya cepat dan hati-hati. Ia sengaja memilih jalan belakang menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di ujung jalan. Sejak berita itu mencuat, wartawan sering nongkrong di depan rumah berharap menangkap satu komentar darinya soal skandal band.
Pintu mobil terbuka, Kevin segera masuk dan menutupnya pelan.
“Langsung ke studio,” katanya datar pada sopir. Anton sengaja meminta sopir menjemput Kevin di tempat yang agak jauh dari rumahnya, untuk menghindari incaran wartawan. Ia khawatir, jika Kevin keluar mengendarai mobil sendiri, para wartawan akan segera mengetahuinya.
Saat mobil mulai melaju menembus kabut pagi, Kevin menatap bayangan dirinya di jendela.
“Mungkin hari ini bakal panjang banget...” bisiknya.
Di studio, suasananya masih sepi. Anton sudah duduk menunggu sejak subuh, wajahnya tampak lelah tapi matanya tetap tajam memantau pintu masuk.
Kevin datang sambil menurunkan hoodie-nya. “Kenji bakal datang juga?” tanyanya pelan, nada suaranya terdengar waspada.
Anton menarik napas panjang, menatap lantai sebelum menjawab, “Nggak. Telponnya nggak diangkat dari tadi malam. Aku udah coba beberapa kali.”
Ia menggeleng pelan. “Kayaknya aku harus ke rumahnya langsung setelah ini.”
Kevin bersandar di kursi, ekspresinya kaku. “You think... that white powder belongs to him?” tanyanya dengan nada datar tapi sarat curiga.
Anton terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku nggak mau nuduh dulu. Tapi... perilaku dia akhir-akhir ini memang aneh banget. Dan semua orang juga ngerasa gitu.”
Kevin menatap kosong ke arah gitar di pojok ruangan. “If that’s true, then we’re in deep trouble.”
Anton hanya mengangguk pelan, rahangnya mengeras. “Iya... dan sebelum semuanya makin runyam, aku harus denger langsung dari dia.”
Pintu studio terbuka pelan. Riku dan Eren masuk hampir bersamaan, disusul Chris beberapa menit kemudian. Wajah mereka sama-sama tegang, seolah membawa kekhawatiran yang sama.
“Dia belum nongol juga, ya?” tanya Chris, meletakkan botol minum di atas ampli.
Anton mengangguk. “Nggak ada kabar sama sekali.”
Beberapa saat ruang itu hening. Hanya terdengar dengung kecil dari kabel yang belum dicabut. Semua orang tahu siapa yang mereka curigai, tapi tak seorang pun mau mengucapkannya lebih dulu.
Akhirnya Anton berdiri. “Oke, gini aja. Aku anter Kevin dulu buat tes urine. Setelah itu baru kita cari Ken..”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ponselnya bergetar keras di meja. Nama yang muncul di layar membuat keningnya berkerut.
“Dari kepolisian,” gumam Anton.
Nomor itu sudah disimpannya sejak mereka pernah diurus izin konser waktu dulu.
Ruangan seketika hening.
Kevin menatapnya penuh tanya. “Polisi? What do they want this time?”
Anton tidak langsung menjawab, hanya menelan ludah dan menggeser tombol hijau di layar.
Anton: “Halo, Anton di sini.”
Suara di seberang terdengar tegas.
Polisi: “Selamat pagi, Pak Anton. Saya Kompol Satria dari Polres Jakarta Selatan. Kami perlu bicara sebentar soal salah satu anggota SilverDawn.”
Anton spontan menegakkan duduknya. “Iya, Pak... ada apa?”
Polisi: “Begini, Pak Anton. Beberapa waktu terakhir kami sudah melakukan penyelidikan terhadap jaringan peredaran narkotika di wilayah Jakarta Selatan. Tadi dini hari, tim kami melakukan penangkapan terhadap salah satu tersangka pengedar. Dan dari hasil pemeriksaan awal, ditemukan keterkaitan dengan salah satu anggota band Anda atas nama Kenji.”
Anton terdiam. “Keterkaitan... dalam hal apa, Pak?”
Polisi: “Kami duga yang bersangkutan pemakai aktif. Berdasarkan keterangan dari pelaku yang ditangkap, Kenji kerap mengambil barang secara langsung di tempat pengedar. Saat penggerebekan, Kenji juga berada di lokasi dan sempat berusaha keluar lewat pintu belakang. Sekarang yang bersangkutan sudah diamankan dan sedang menjalani pemeriksaan, termasuk tes urine.”
Anton meremas ponselnya erat. “Ya Tuhan...”
Polisi: “Untuk memperjelas situasi ini, kami akan memanggil seluruh anggota SilverDawn hari ini. Kami butuh keterangan resmi dari pihak manajemen dan masing-masing personel, terutama karena kasus ini menyangkut nama besar grup Anda. Kami ingin memastikan tidak ada keterlibatan lain.”
Anton berusaha menjaga nada suaranya agar tetap tenang, meski darahnya terasa dingin.
“Baik, Pak. Kami akan segera ke Polres.”
Polisi: “Terima kasih atas kerja samanya, Pak Anton. Kami tunggu kedatangan Anda dan para anggota di sini sebelum siang.”
Sambungan terputus. Ruangan latihan tiba-tiba terasa senyap.
Riku menatap Anton yang masih memegang ponsel erat-erat, wajahnya tegang.
“Pak polisi tadi bilang apa?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Anton menghela napas panjang, menatap satu per satu wajah di hadapannya. Kevin, Riku, Eren, dan Chris.
“Kenji...” katanya pelan, “dia ditangkap polisi tadi dini hari.”
Semua sontak terkejut.
“Apa?!” seru Chris, hampir bersamaan dengan Eren yang bersuara, “Ditangkap? Kenapa?”
Anton menelan ludah, suaranya berat.
“Polisi sudah lama mengendus jaringan narkoba di Jakarta Selatan. Ternyata Kenji terlibat... dan diduga pemakai aktif.”
Riku memegangi kepalanya. “Astaga...”
Anton menatap mereka penuh penyesalan. “Dan sialnya, polisi juga mencurigai seluruh anggota SilverDawn ikut terlibat. Mereka mau kita semua datang ke Polres hari ini buat dimintai keterangan.”
Anton akhirnya menambahkan dengan nada getir,
“Ini bukan cuma masalah band lagi... ini bisa ngancurin semuanya.”
Kevin yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara.
“Jadi tinggal aku yang belum tes urine, kan?” Matanya menatap Anton tanpa berkedip.
“Kalau hasilnya bersih, semua bakal tenang. Lagian yang lain sudah dites kemarin.”
Anton langsung menggeleng pelan.
“Bukan gitu, Kev. Hasil tes kemarin itu cuma buat keyakinan kita sendiri, bukan buat polisi.”
Kevin mengerutkan alis. “Maksudnya?”
“Polisi nggak akan percaya hasil yang bukan dari mereka,” jelas Anton.
“Mereka bakal minta tes ulang di depan penyidik. Dan itu wajib, buat semua anggota SilverDawn.”
Suasana di studio kembali hening.
Eren bersandar di kursi dengan napas berat, Riku menunduk, sementara Chris memijat pelipisnya.
Hanya Kevin yang masih menatap Anton wajahnya menunjukkan campuran antara pasrah dan jengkel.
Akhirnya ia berkata pelan, “Oke. Kalau itu bisa ngebuktiin aku nggak salah, fine. Aku siap.”
dia pikir punya anak banyak ngak mumed 😅