Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Perjanjian
Ketika melihat Amori menghampiri mobil dengan senyum tipis yang terpatri di wajah cantiknya, Lucas tak bisa tidak ikut tersenyum. Ia bahkan sempat diam untuk sesaat hanya untuk memperhatikan penampilan Amori yang selalu berhasil memukaunya. Memikirkannya, Lucas jadi semakin terganggu dengan pertanyaan yang muncul di benaknya kemudian.
“Dengan penampilan secantik ini, siapa orang yang habis Amori temui?”
“Lucas?” Lucas terkesiap, namun senyumnya semakin lebar untuk menutupi perasannya.
“Kamu cantik, selalu cantik.” katanya lirih. Ia meraih tangan Amori dan mengecup punggungnya. Namun senyumnya tak bertahan lama karena Amori menarik tangannya dan menghindari tatapannya.
“Yuk, pulang. Saya harus masak buat makan malam kamu.” dengan berat hati Lucas menghela dan melajukan mobilnya. Selama perjalanan, Amori hanya diam, dan Lucas menahan diri untuk bertanya. Momennya belum tepat.
“Loh, ini bukan jalan pulang.” kata Amori kebingungan. Gadis itu bolak-balik menoleh pada Lucas dan jalanan yang semakin jauh dari arah apertemen Lucas. “Lucas, kita mau kemana? Kita harus pulang.”
Diam. Kini gantian Lucas yang hanya diam tak menghiraukan Amori yang terus protes dan bilang kalau mereka harus pulang karena makan malam harus segera disiapkan. Dari sudut matanya, Lucas menyadari Amori yang semakin gelisah. Gadis itu terus meremat tas yang ada di pangkuannya, dan kepalanya terus menoleh ke arahnya untuk membujuk agar mereka bisa segera pulang.
“Lucas, kamu denger ngga sih? Kita harus pulang.” karena nada suara Amori yang kelewat panik seolah sedang diculik, Lucas merasa terhibur. Agak jahat memang. Tapi entah mengapa, sisi Amori yang baru ia lihat kali ini benar-benar membuatnya sulit menahan senyum.
Ia akhirnya menoleh dengan wajah yang datar, dan bukannya menuruti apa kata Amori, Lucas malah berkendara lebih cepat lagi. Suaranya mendadak berat karena susah payah menahan tawa. “Malam ini kita ngga pulang, Amor.”
“Kenapa? Seenggaknya bilang, kita mau kemana?” lagi-lagi, Lucas bungkam. Bersikap sok misterius. Diam-diam ingin membalas Amori yang selalu menutup perasaannya dan bahkan berbohong padanya.
Lelah terus bertanya dan membujuk namun tak mendapat balasan, Amori akhirnya menyerah. Hampir selama satu jam perjalanan, Amori hanya diam dan mendengarkan lagu yang Lucas putar. Setidaknya setiap ia berada di dekat Lucas, perutnya akan terasa sangat nyaman dan jauh dari masalah.
Saat mereka sampai di tujuan, Amori terlanjur tertidur. Lucas yang menyukai setiap sisi Amori, kecuali sisinya yang terlalu tertutup, memutuskan hanya diam meperhatikan. Perlahan Lucas menurunkan kursi Amori dan ikut berbaring miring untuk menatap wajah damai gadis itu.
Tangannya terulur, mengelus rambut Amori yang hari ini hanya dikuncir rendah. Penampilannya selalu sederhana, tanpa make up yang berlebihan, tapi Lucas selalu dibuat terkagum. Melihat Amori, seperti melihat sebuah dunia baru. Dunia yang jauh dari dunia yang ia jalani selama beberapa tahun terakhir. Apalagi ketika mengingat apa yang Amori katakan di pertemuan pertama mereka. Tentang—
Lamunan Lucas terhenti ketika Amori tiba-tiba membuka matanya yang masih terlihat lesu. Gadis itu terlihat ingin bangkit, tapi entah apa yang menahan, Amori kembali menyandarkan kepalanya. Untuk sesaat, mereka hanya bertatapan dalam diam. Dengan lagu yang masih terputar lewat radio mobil Lucas.
“Amor, boleh saya tanya sesuatu?” bisik Lucas dan Amori menjawab dengan anggukan ragu. “Boleh saya tau, kemana kamu pergi, sebelum kamu ke kantor?” Amori terlihat terkesiap. Matanya sempat berulangkali berkedip cepat. Tapi dengan tawa canggung, Amori bangkit dari posisinya sambil mencari jawaban.
“Saya, dari apartemen, terus—”
“Amor.” Amori menoleh, menatap Lucas yang menatapnya penuh luka. “Saya udah di depan kantor kamu sebelum kamu sampai, dan saya lihat kamu turun dari taksi. So please, tell me honestly.” Amori mengigit bibirnya merasa bersalah. Tatapan Lucas, membuat perutnya bergejolak tak nyaman.
“Tapi, itu urusan pribadi saya. Kegiatan saya di luar pekerjaan bukan urusan kamu, Lucas.” Amori menelan ludahnya dengan sulit. Lucas ikut bangkit dari posisinya dan menatapnya luru-lurus.
“Sampai beberapa hari yang lalu, saya pikir hubungan kita udah sangat dekat, Amor. Saya bingung kenapa kamu tiba-tiba menjauh dan semakin tertutup begini.” Amori menunduk, enggan menatap Lucas lurus-lurus. “Dan sejak kamu nangis di depan saya waktu itu, kamu jadi urusan saya, Amor. Saya tau, sama seperti saya yang tertarik dengan kamu, kamu juga punya perasaan yang sama.”
“Ngga!” bantah Amori kelewat cepat. Hal itu hanya menimbulkan senyum puas pada wajah Lucas. “Saya beneran ngga tertarik sama kamu. Jadi—” Lucas menahan tengkuk Amori yang terlihat ingin mengindari tatapannya.
“Jangan bohongin diri kamu sendiri, Amor.” katanya dengan suara yang rendah, berat dan nyaris bergetar. Amori kembali membuka mulutnya, ingin membantah. Tapi kata-katanya terhenti begitu saja ketika Lucas menutup jarak. Bibir mereka bertermu, keras, tergesa, seperti amukan pria yang sudah terlalu lama menahan diri.
Amori sontak menegang. Tangannya berusaha mendorong dada Lucas, bibirnya juga tertutup rapat sebagai tanda penolakan, tapi debar berantakan di dadanya justru menunjukkan hal yang berbeda. Lucas menahan setiap penolakan Amori tak kalah kuat. Ia tetap mendekap, dan mencuri setiap lumatan di bibir Amori.
Setelah beberapa lumatan berhasil Lucas curi, pertahan Amori pun mulai retak. Rasa hangat di dadanya lama-kelamaan merambat ke sekujur tubuhnya. Membuat tangannya dengan mudah Lucas arahkan untuk melingkar di leher pria yang akhirnya tersenyum penuh kemenangan di tengah ciuman mereka.
Ciuman yang awalnya terasa rakus dan tidak sabar perlahan berubah menjadi lebih lembut. Lucas dengan perlahan menikmati setiap perasaan yang datang setiap ia melumat setiap sudut bibir Amori. Napas mereka beradu, terengah dan tanpa jarak.
“See? Saya yakin ini jawaban kamu yang sebenanrnya.” Amori tak menjawab. Ia menunduk, dengan mata yang masih terpejam dan dahi yang bersandar pada bahu Lucas. “Amori, lihat saya.” dengan malu yang masih berada di ubun-ubun, Amori mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Lucas.
“Kasih saya waktu tiga bulan, dan saya janji akan buat kamu yakin dengan hubungan kita.” Amori tak langsung menjawab. Kepalanya kembali dipenuhi dengan banyak pertimbangan, dan ketika memikirkan resiko jika ia terjatuh terlalu dalam saat ia mengiyakan hubungan yang Lucas maksud, Amori merasa takut.
Melihat keraguan Amori, Lucas memberikan kecupan-kecupan kecil, mulai dari mata, ujung hidung, pipi, dahi dan bibir Amori. “Hei, saya janji akan menyerah dan menghormati keputusan kamu kalau setelah tiga bulan, kamu tetap ngga yakin dengan perasaan saya. Amor, ini pertama kalinya saya menginginkan sesuatu sebesar saya ingin bermain basket. Please, kasih saya kesempatan.”
Logika Amori akhirnya kalah dengan hatinya yang menginginkan Lucas. Dengan anggukan kecil dari Amori, Lucas akhirnya kembali menyatukan bibir mereka. Melumat bibir gadis yang telah membuatnya gila beberapa waktu belakangan.
Langit sore di PIK hari itu menjadi saksi, bahwa Lucas benar-benar bertekad agar setelah tiga bulan yang ia janjikan berakhir, mereka akan tetap bersama. Lucas akan memastikan itu.
***
Bersambung....