Ini salah, ini sudah melewati batas perkerjaan ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngidam
Sekarang sudah pukul sembilan malam, aku sudah mulai merasa kantuk dan mulai merebahkan diri di kasur berusaha memejamkan mata, sedangkan Om Javar sedang ada di hadapan laptop nya karena tadi dia bilang jika ada sesuatu yang perlu dia kerjakan. Mata ku dengan perlahan mulai terpejam menuju ke alam mimpi.
Saat tengah malam tiba, aku tiba-tiba terbangun karena bermimpi sedang makan martabak telur dan sekarang aku sangat menginginkan makanan itu. Mata ku mulai terbuka secara jelas dan melirik seorang pria yang tertidur pulas di samping ku.
Sebenarnya aku tidak enak jika harus menyampaikan keinginan ku ini kepadanya karena dia sedang tertidur, tapi aku tidak bisa menahan keinginan ku ini sampai besok pagi, aku sangat menginginkannya. Apa mungkin aku sedang ngidam? Karena memang dari awal kehamilan, aku belum pernah mengidam ini itu.
Tanpa ragu aku pun langsung menyentuh lengan dari sang pria dan menepuknya pelan berharap dia terbangun.
"Om, bangun." Tapi masih belum ada respon dari nya.
Aku pun mulai menggoyang-goyangkan lengannya lebih keras agar dia cepat bangun. "Om! Om bangun dulu!"
Dia mulai menggeliat tanda bahwa dia terganggu dengan perbuatan ku ini, dan menggosok mata nya memulihkan kesadaran.
"Ada apa?" Tanya nya dengan suara serak khas bangun tidur, mata nya masih sedikit tertutup karena memang mungkin dia sangat mengantuk.
"Eumm, aku pengen martabak telur."
"Besok aja ya? Sekarang udah malem, lebih baik kamu tidur."
"Gak mau! Aku maunya sekarang!"
"Ya tapi ini udah terlalu malam, Amira. Kamu lihat jam disana, udah jam setengah dua, emangnya masih ada tukang martabak telur yang buka sekarang?" Tutur nya sambil melirik ke arah jam dinding, aku pun mengikuti arah liriknya dan ternyata memang benar jika ini sudah sangat larut untuk membeli martabak telur.
"Aku mau martabak telur itu sekarang! Aku pengen banget."
Terdengar helaan nafas panjang milik nya. "Kamu kenapa sih? Aneh malam-malam begini malah pengen martabak telur, kan masih bisa besok."
"Tapi aku maunya sekarang, emangnya Om mau kalo nanti anak Om ileran?"
"Huh??" Dia menatapku dengan bingung.
"Kayaknya aku lagi ngidam deh Om, martabak telur itu anak Om yang mau."
Setelah mendengar itu dia langsung beranjak dari tidurnya dan mengucek matanya beberapa kali.
"Tunggu sebentar, saya cuci muka dulu." Dia langsung beranjak dari tempat tidur nya dan berjalan memasuki kamar mandi.
Aku hanya bisa terbengong di atas kasur melihat tingkahnya barusan, kenapa dia bisa seantusias itu padahal sebelumnya dia seperti malas menghadapi perkataan ku yang menginginkan martabak telur tadi.
Sesuai dengan perkataannya yang menyuruh ku menunggu sebentar agar dia bisa membasuh wajahnya terlihat dahulu, tidak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar.
"Hanya martabak telur saja?" Tanya nya memastikan sambil meraih dompet dan juga kunci mobil miliknya yang ada di atas nakas.
"Iya, tapi aku pengen ikut beli." Aku pun beranjak dari kasur mendekat ke arahnya.
"Tidak. Kamu tunggu disini sebentar, nanti saya akan kembali membawa martabak."
"Ini anak Om yang pengen ikut." Ucap ku sambil merengek.
"Tapi ini udah malem, Amira. Gak bagus kalo wanita hamil keluar malam-malam begini."
"Kita nyari nya naik mobil ini, gak bakalan kenapa-kenapa."
Terdengar helaan nafas miliknya, "Ya udah, tapi kamu pakai jaket yang tebal karena diluar dingin."
Tanpa membalas perkataannya, aku langsung berlari kecil ke arah lemari dimana pakaian-pakaian ku berada untuk mencari sebuah jaket. Sebuah jaket sudah membungkus badan ku, dan tanpa mengulur waktu kami pun langsung keluar dari apartemen menuju ke basemen dimana mobil miliknya berada kemudian langsung menaiki mobil yang membawa kami untuk mencari martabak telur sesuai permintaan ku.
"Kalau semisalnya nanti tukang martabak telur nya udah pada tutup gimana?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan pria itu layangkan ditengah fokusnya yang sedang menyetir.
"Kita cari sampe dapet."
"Huft, semoga masih ada tukang martabak yang buka jam segini."
Aku pun mengangguk-anggukan kepala tanda menyetujuinya ucapannya, walaupun sebenarnya aku sendiri pun tidak yakin jika masih ada tukang martabak telur dini hari.
Mobil miliknya berjalan pelan saat sudah sampai di tempat tempat berjualan pedagang-pedagang kaki lima, mata kami berdua mulai menelisik mencari keberadaan tukang martabak telur yang masih buka di jam segini. Tapi nihil, sejauh mata memandang tidak ada tukang martabak telur yang kita temui.
"Saya bilang juga apa? Di jam segini mana ada tukang martabak telur yang masih buka."
Aku pun langsung merenggut menahan air mata ku yang entah kenapa aku ingin menangis sekarang ini, aku pun mulai terisak karena mendengar perkataan dari Om Javar yang seperti sedang menyalahkan ku.
"Shutt, jangan menangis. Saya minta maaf, kita cari lagi ke tempat lain ya?"
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, mobil yang kami tumpangi pun kembali melaju membelah jalanan dini hari ini.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dari kawasan apartemen, akhirnya kami pun menemukan sebuah kedai penjual martabak yang buka 24 jam. Aku pun tersenyum senang dan dapat aku dengar dia menghela nafas lega karena akhirnya kami menemukan penjual martabak telur yang aku inginkan.
"Kamu disini aja, biar saya yang keluar." Saat aku hendak membuka pintu mobil, suara itu menghentikan ku.
"Aku mau ikut!"
Karena mungkin dia malas jika harus berdebat lagi dengan ku, akhirnya dia hanya mengangguk pasrah dan memperbolehkan ku untuk ikut keluar dengannya.
Langsung saja dia memesankan ku satu porsi martabak telur yang aku inginkan setelah kami masuk ke dalam kedai tersebut, tapi sepertinya anak ini menginginkan hal lain, tiba-tiba aku ingin martabak telur itu Om Javar sendiri yang membuatnya.
"Om." Aku menarik baju nya pelan, dia pun menoleh ke arah ku.
"Ada apa?"
"Aku pengen martabak nya Om yang bikin." Tanpa ragu aku mengucapkan keinginan ku ini.
"Saya gak bisa bikin martabak telur, biar si Mas nya aja yang bikin."
"Nggak mau, pengen Om sendiri yang bikin. Ini kemauan anak Om loh, masa gak dituruti?"
Terdengar helaan nafas kasar dari nya, sebelum pada akhirnya dia melangkah kan diri mendekat ke arah Mas-mas yang sedang membuat martabak pesanan kami.
Dapat aku dengar perkataannya yang meminta izin kepada si Mas penjual martabak itu untuk membuatnya sendiri.
"Mas? Saya boleh bikin martabak pesanan saya sendiri?"
"Tapi ini panas, biar saya aja."
"Gak apa-apa Mas. Ini istri saya yang mau, dia lagi ngidam dan pengen saya sendiri yang buatnya."
Entah kenapa pipi ku mulai memanas saat dia menyebut diri ku sebagai 'istri'. Ku perhatikan dia dengan ragu-ragu memegang alat yang digunakan untuk memasak martabak telur tersebut.
Ingin rasanya aku menertawakan ekspresi nya yang benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan memasak martabak telur tersebut, tapi tetap dia lakukan dengan hati-hati mengikuti perintah demi perintah yang diberikan oleh penjual martabak.
Tidak lama kemudian, martabak yang dia masak sudah matang dan aku pun mendekat ke arahnya, saat sudah berada didekatnya, aku langsung disuguhi pertanyaan olehnya.
"Kamu mau makan martabak nya disini atau nanti di apartemen aja?"
"Di apartemen aja, udah mau subuh."
"Oke kalo gitu. Mas tolong bungkusin ya." Dia meminta tolong kepada penjual martabak tadi untuk membungkus pesanan milik kami.
Diserahkannya kantong plastik yang sudah dipastikan jika didalamnya terdapat martabak telur yang aku inginkan, si penjual tersebut langsung menyerahkan kantong plastik itu kepada Om Javar dan dapat aku lihat Om Javar juga menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu kepada si penjual martabak telur tersebut.
"Ini kebanyakan Pak." Ucap si penjual tersebut setelah menerima uang dari Om Javar.
"Udah kamu ambil aja, itung-itung sebagai ucapan terimakasih saya karena udah mau ajarin saya bikin martabak."
"Terimakasih Pak, semoga anaknya sehat-sehat terus ya di perut mamahnya."
"Sama-sama."
"Terimakasih Mas atas doanya." Ini bukan suara milik Om Javar, tapi suara milik ku.
Kami berdua pun melangkahkan kaki keluar dari dalam kedai menuju ke dalam mobil milik Om Javar yang sedang terparkir dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian Om Javar kembali mengemudikannya kembali menuju apartemen.
Di perjalanan menuju pulang mata ku terasa sangat berat, aku mengantuk dan mulai terlelap secara perlahan di kursi penumpang.
Aku merasa tubuhku diguncang oleh seseorang, aku pun menggeliat dari tidur ku dan mulai membuka perlahan mata ku yang terpejam. Di samping ku terdapat Om Javar yang sedang mengguncang pelan tubuhku.
"Amira? Bangun dulu, kita sudah sampai."
"Eumm?? Sudah sampai Om?" Aku masih berusaha untuk mengembalikan seluruh kesadaran ku.
"Sudah, kamu bangun dulu sebentar nanti dilanjut lagi tidurnya kalo udah sampai kamar apartemen."
Aku pun hanya mengangguk-anggukan kepala dan mulai beranjak dari kursi penumpang keluar dari dalam mobil, disusul oleh Om Javar yang juga melakukan hal yang sama.
Sampai di apartemen aku langsung duduk di sofa yang ada di ruang televisi, sedangkan Om Javar sedang menyiapkan martabak yang kami beli, bukan aku yang menyuruhnya tapi itu inisiatif dia sendiri.
Tidak lama dari itu, aku melihat dia berjalan ke arah ku dengan sebuah piring yang ada di tangannya berisikan martabak telur tadi, aku tersenyum kecil melihat itu.
"Ini, martabak telur spesial bikinan saya buat kamu." Ucap Om Javar sambil menyodorkan piring yang berisikan martabak telur tadi.
Aku tersenyum geli mendengar ucapannya itu, "Terimakasih banyak Om baik."
"Om baik?"
"Iya, kan Om baik sama aku."
"Terserah kamu, sekarang makan martabak telur yang kamu pengen tadi, kalo bisa sampai habis."
"Om gak mau?"
"Nggak, kamu aja."
Aku pun menyuapkan satu potong martabak telur itu kedalam mulut ku, sampai pada suapan ketiga aku sudah merasa sangat kenyang dan tidak sanggup jika harus menelannya lagi, maka dari itu aku singkirkan piring yang berisikan martabak telur tersebut dari hadapan ku.
"Kenapa? Rasanya tidak enak?" Tanya seorang pria yang duduk di samping ku.
"Bukan, tapi aku udah kenyang."
"Udah kenyang? Saya rela keluar cari martabak yang kamu mau, tapi kamu cuma makan tiga suapan?"
"Jadi Om gak ikhlas?"
"Huft, saya ikhlas tapi setidaknya kamu hargai perjuangan saya."
"Maaf, tapi aku beneran gak bisa habisin martabak ini." Ucapku pelan sambil menundukkan kepala karena merasa takut dengannya.
"Ya udah, kamu kembali saja ke kamar dan kembali tidur mumpung belum pagi."
"Aku disini aja temenin Om."
"Kamu ke kamar duluan, nanti saya juga ke kamar jika sudah menghabiskan martabak sisa kamu ini."
"Biar aku temenin, atau sekalian mau aku suapin juga?"
"Nggak perlu, saya bisa sendiri."
"Om marah sama aku?" Ucapku takut-takut.
"Saya gak marah."
"Tapi Om jawab pertanyaan aku ketus gitu kayak lagi marah."
"Saya gak marah sama kamu Amira." Ucapnya dengan lebih lembut daripada ucapan yang sebelumnya.
"Syukur deh, sini aku suapin martabak nya."
Dia pun hanya pasrah untuk aku suapi martabak telur sisa ku tadi walaupun dapat aku lihat jika mata nya itu tampak mengantuk sama halnya dengan ku.
____________________________________
Tolong kasih ulasan buat cerita ini ya! Biar aku tau kalian suka atau nggak sama ceritanya.