Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 PERTEMUAN DI BALIK GEMERLAP
Lampu kristal bergantungan di langit-langit ballroom megah, memantulkan cahaya keemasan yang membuat suasana pesta tampak glamor. Musik orkestra mengalun lembut, dipadukan dengan gelak tawa para tamu yang bercengkerama sambil menikmati sampanye.
Alya berdiri di depan cermin besar di ruang ganti hotel tempat pesta itu digelar. Gaun putih berpotongan elegan membalut tubuhnya, sederhana namun memancarkan wibawa. Rambutnya digelung anggun, dihiasi jepit perak kecil yang berkilau. Dengan senyum tipis, ia menarik napas panjang.
“Dinda” yang sejak tadi mendampinginya menatap kagum.
“Nona Alya, malam ini Anda terlihat sangat memesona. Semua orang pasti akan memperhatikan Anda.”
Alya menatap bayangannya, bibirnya melengkung samar. “Bukan itu tujuannya. Aku hanya ingin mewakili perusahaan dengan baik.” Tapi jauh di dalam hatinya, ada sedikit gemetar ini adalah langkah besar, menghadapi dunia yang pernah ia tinggalkan.
Ketika Alya melangkah masuk ke ballroom, suasana seakan berubah. Beberapa kepala menoleh, kagum dengan sosok wanita muda penuh percaya diri yang baru saja hadir. Senyum Alya tenang, ia menyapa beberapa rekan bisnis yang telah dikenalnya, lalu berbaur dengan tamu lain.
Namun, tanpa disadarinya, dua pasang mata langsung terpaku pada dirinya.
Arga.
Aluna.
Arga yang berdiri di sudut ruangan dengan jas hitam rapi, mendadak membeku. Matanya menatap lekat pada sosok Alya, seakan dunia berhenti berputar. Gadis yang selama lima tahun ini hanya hadir dalam ingatan, kini berdiri nyata di hadapannya. Lebih anggun, lebih kuat, dan jauh lebih menawan dari yang ia kenang.
“Alya…” bisiknya dalam hati. Rasa rindu menghantam dadanya begitu keras.
Sementara itu, Aluna yang menggandeng lengan Arga terkejut bukan main. Senyumnya sontak memudar, matanya melebar penuh tidak percaya. Tangannya menggenggam lengan Arga semakin erat, seolah takut pria itu akan terlepas darinya.
“Itu…” suaranya tercekat, nyaris berbisik. “Itu Alya…”
Arga tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju pada Alya, seolah ia menolak mengalihkan mata walau sedetik.
Aluna merasakan dadanya panas. Api cemburu menyala tanpa ampun. Selama lima tahun ia merasa berhasil “menghapus” bayangan Alya, tapi kini kenyataan kembali menghantamnya. Dan yang lebih membuatnya marah, cara Arga menatap Alya bukanlah tatapan biasa. Itu tatapan yang penuh kerinduan.
" Kenapa Alya ada di sini? " Gumam Aluna.
Alya berjalan anggun menuju meja tempat beberapa direktur berkumpul. Ia menyalami mereka satu per satu dengan sopan, menunjukkan profesionalitasnya. Senyum dan cara bicaranya begitu memikat, membuat semua orang terkesan.
Namun, di antara keramaian itu, Alya merasakan sesuatu. Tatapan. Hangat, tajam, dan familiar.
Perlahan, ia menoleh.
Dan saat matanya bertemu dengan Arga di seberang ruangan, dadanya bergetar hebat. Dunia seakan runtuh dan kembali dibangun dalam sekejap. Mata itu mata yang pernah menenangkan sekaligus menyakitinya masih sama.
Alya segera menahan diri, mengalihkan pandangan dengan cepat, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tidak ingin kelemahan masa lalu merusak pencitraannya malam ini.
Tapi Arga… ia justru melangkah.
Aluna menyadari gerakan itu. “Arga!” serunya dengan suara rendah namun penuh tekanan. “Jangan!”
Namun, Arga sudah melangkah melewati kerumunan, menembus lautan tamu, hanya untuk mendekat pada satu sosok.
Aluna menggigit bibir, hatinya mendidih. Malam yang seharusnya menjadi pesta bisnis biasa, kini berubah menjadi mimpi buruk baginya.
Dan di tengah gemerlap lampu kristal, tiga hati pun bersiap memasuki pusaran masa lalu yang belum benar-benar usai.
Langkah Arga mantap, menembus keramaian ballroom. Setiap detik yang berlalu terasa berat, namun juga melegakan. Lima tahun ia menunggu kesempatan ini melihat Alya kembali, berdiri tepat di hadapannya.
Alya menoleh, pura-pura sibuk dengan segelas wine di tangannya, tapi tatapannya tak bisa menghindar ketika suara berat itu terdengar.
“Alya…”
Suaranya lirih, tapi cukup untuk membuat dada Alya bergetar. Ia menarik napas pelan, menegakkan bahu, lalu menoleh dengan senyum profesional yang datar.
“Tuan Arga,” sapanya, suaranya tenang namun jelas menjaga jarak. “Sudah lama kita tidak bertemu.”
Arga menatapnya, seolah tak percaya bahwa gadis yang dulu pergi dengan luka kini berdiri tegak tanpa rasa takut. Matanya berkilat, menyimpan rindu yang tak bisa disembunyikan.
“Ya… terlalu lama,” jawab Arga, nyaris berbisik.
Momen itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum suara tajam memecah ketegangan.
“Lama sekali memang, untuk seorang gadis yang kabur entah ke mana.”
Alya menoleh. Aluna berdiri di samping Arga dengan senyum penuh sindiran. Tatapannya menusuk, suaranya lantang agar semua orang di sekitar bisa mendengar.
“Aku tidak menyangka, Alya… kau bisa berdiri di pesta penting seperti ini. Aku kira setelah pergi dengan membawa perhiasan Mama, kau sudah cukup puas hidup bergantung pada laki-laki. Rupanya aku salah.”
Beberapa tamu mulai melirik, berbisik-bisik. Aura elegan pesta itu seketika berubah tegang.
Alya mengerjap pelan, tapi wajahnya tetap tenang. Ia menegakkan tubuh, menatap Aluna dengan tatapan dingin.
“Jika aku diundang ke sini, itu karena aku dipercaya untuk mewakili perusahaan. Bukan karena alasan lain. Dan soal tuduhanmu, Aluna… aku rasa orang yang benar-benar mengenalku tahu siapa aku sebenarnya.”
Nada suaranya lembut, tapi penuh wibawa.
Aluna tersenyum miring. “Ah, jadi sekarang kau ingin terlihat suci? Jangan pura-pura, Alya. Semua orang tahu, kau hanya gadis jalang yang suka merebut perhatian laki-laki, bahkan—”
“Cukup, Aluna!”
Suara Arga bergema keras, membuat beberapa kepala menoleh. Tatapannya menusuk tajam ke arah Aluna.
“Jagalah bicaramu. Ini bukan tempat untuk menyebarkan fitnah.”
Aluna membeku, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah. Ia menoleh pada Arga dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa… kenapa kau membelanya? Setelah semua yang ia lakukan—”
Arga tidak menjawab. Ia hanya menatap Alya, tatapan itu lembut, berbeda dari nada suaranya yang barusan.
Alya sendiri menahan napas, berusaha tetap berdiri anggun meski hatinya kacau. Ia tahu, pesta ini hanyalah awal dari badai yang akan datang.
Di balik senyumnya yang dingin, Aluna menggenggam erat tangannya sendiri. “Baiklah, Alya. Kalau ini yang kau mau, aku akan pastikan kau menyesal kembali. Aku tidak akan membiarkanmu merebut Arga dariku.” Gumam hatinya.
Arga menarik tangan Alya, membawa Alya keluar dari acara.