Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KESEPAKATAN
Karin mengetuk pintu ruang kerja Justin, dan saat mendapat seruan mempersilahkan dirinya masuk gadis itu membukanya.
"Abang manggil Karin?" Tanyanya pada Justin yang tampak sibuk menyusun berkas-berkas sambil berdiri di balik mejanya itu.
Justin mengangguk tanpa menoleh, "gimana urusan kamu sama papi kamu?" Tanyanya. "kemarin jadi kamu ke sana?" Justin menghentikan gerakan tangannya, memusatkan perhatian pada gadis yang masih berdiri di hadapannya itu.
Wajah Karin yang tampak gusar membuat pria itu tahu, bahwa ada yang tidak beres dengan adik angkatnya.
"Papi.... Em, papi bilang terserah Karin, Bang," jawabnya dengan menundukkan kepala.
Justin mengerutkan dahi, "katakan Karin, apa yang sebenarnya terjadi," tuntutnya.
Karin mengangkat kepala, dia memang tidak bisa berdusta di hadapan abangnya. Gadis itu berusaha untuk tidak menangis saat menceritakan apa yang dia dengar di rumah papinya waktu itu.
Justin beranjak berdiri, menghampiri gadis itu, dan menyuruhnya untuk duduk di sofa yang berada di ruangan dalam ruangan.
Pria itu ikut duduk di sebelah Karin, menepuk pundaknya pelan, "orang seperti papi kamu tidak pantas kamu tangisi, Karin," nasihatnya yang malah membuat gadis itu semakin tersedu.
Sesaat Justin membiarkan Karin untuk menumpahkan air matanya. Terkadang tangisan seorang perempuan menggambarkan rasa sakit yang terlalu sulit untuk dikalimatkan.
"Kamu bisa berhenti melangkah, memilih berduka dan menikmati rasa itu, tapi ingat, bumi tidak akan berhenti berputar hanya untuk menunggumu bangkit. Tidak usah lagi kamu merisaukan perlakuan papi kamu, toh selama ini kamu bisa baik-baik saja tanpa dia." Justin berucap panjang lebar, membuat gadis di sebelahnya itu mendongak untuk menatapnya dengan kedua bola matanya yang basah.
"Karin takut, Bang. Bahkan memilih untuk kembali ke masa lalu pun Karin nggak bisa, Karin nggak tau persis, pada usia berapa dulu Karin pernah merasa bahagia."
"Untuk itu, hiduplah bahagia mulai dari saat ini. Kamu layak mendapatkan apa yang bahkan orang lain tidak bisa dapatkan."
"Karin takut papi maksa Karin buat tinggal sama dia."
"Ada saya, kamu nggak perlu takut," ucap Justin, menepuk punggung tangan Karin kemudian menoleh untuk saling bertatapan, "kamu percaya kan? sama saya?"
Karin sesaat tersenyum, kemudian mengangguk dua kali. "Percaya, Bang," ucapnya yakin.
"Manusia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kembali ke masa lalu, kamu tahu kenapa?" Tanya Justin yang kemudian ia jawab sendiri. "Karena di masa depan manusia masih punya banyak harapan."
***
Ardi tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ransel besar saat Nena masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu dan membuatnya mendongak.
"Kamu jadi liburan?" Tanya Nena, duduk di tepi ranjang menghadap sang adik yang merapikan barang-barangnya di atas karpet.
"Jadi, kenapa emang?"
"Nginep?" Tanyanya yang mendapat anggukan dari sang adik. "Karin jadi ikut juga?"
Ardi menghentikan gerakan tangannya menyusun baju, memandang sang kakak yang memberikan tatapan tak terbaca di hadapannya itu. Yang Ardi tahu, jika sang kakak mulai menggunakan bahasa aku kamu itu berarti dia berada dalam mode serius.
"Kenapa emang?"
"Mbak khawatir aja, nanti Karin kenapa-napa, kalian kan kebanyakan laki-laki, mana potongan buaya rawa semua."
"Sembarangan kalo ngomong." Ardi bersungut sebal, "palingan Ipang, Edo sama Agung, ceweknya juga ada. Lagian tenang aja si ada gue yang bakal jagain."
Nena mencebikkan bibirnya, meledek. "di antara mereka itu, justru kamu yang paling bahaya."
Ardi melirikkan matanya dengan malas, kemudian berdecak. "Bahaya gimana si, nggak bakal gue apa-apain yaelah."
"Bener nggak di apa-apain?"
"Bener Mbaknyaa, jangan soudzon lah," ucap Ardi, kembali memasukan barang bawaannya ke dalam tas.
"Mbak bukan mau soudzon, Ar. Cuman mau ngingetin, kalian tuh masih kecil, Karin baru masuk Sma, kamu juga baru lulus Sma kemaren, emangnya mau, kalian nikah muda?"
Ardi mendongak terkejut, kemudian mengerutkan dahi, "apaan si, bawa-bawa nikah muda segala. Kaya gue ngapain aja," sangkalnya tanpa menatap sang kakak, lebih fokus menutup tas ransel di hadapannya.
"Ar?" panggil Nena lembut yang entah kenapa malah membuat Ardi merinding. "Kamu lupa yah? Kalo setiap penjuru rumah ini, selain di kamar dan kamar mandi ditaroin cctv?"
Anjirr, mampuss.
Ardi seketika membeku, mengingat kejadian di dapur waktu itu membuatnya seperti telah tertangkap basah. Pemuda itu melirikkan matanya pada sang kakak dngan sedikit takut.
"Hn?" gumam Nena, mengangkat alisnya seolah meminta penjelasan.
"Abang tau nggak?" Dan alih-alih memberikan alibi, pemuda itu tampaknya lebih merisaukan reaksi sang abang jika mengetahui kelakuannya.
"Kalo Mas Justin tau, kamu pasti udah ditendang ke luar Negri."
Ardi meringis ngeri, "nggak enak banget, Mbak, bahasanya ditendang."
"Kita emang tau ya, Ar, kalian itu saling suka, tapi nggak gitu caranya, Karin itu masih kecil, masa kamu ajar-ajarin kaya gitu."
Ardi membuka mulut, ingin mengatakan kalo gadis itu yang memintanya, tapi ia urungkan, kesannya seolah mengambing hitamkan orang lain, padahal dia sendiri ikut menikmati. Abisnya, mau nolak tapi enak, gimana dong?
"Iya, maaf. "
"Kalian tuh udah sejauh mana si?"
Ardi sedikit berpikir, kemudian menjawab, "ya lumayan jauh, lah. Pake helm."
"Ar!"
"Pacaran."
Nena menghela napas, "kayaknya kamu dulu cuek banget sama Karin, kita tuh percaya kamu bisa menahan diri, tapi kenyataannya kalian udah sejauh itu?" Nena beranjak berdiri, melipat tangannya di dada dengan menggigit ujung kuku ibu jari kemudian melangkah mondar-mandir.
Dia bingung harus memberikan keputusan apa pada adiknya. Mengadukan pada sang suami jelas dia tidak setega itu.
"Asal Mbak tau nih ya, batu karang aja yang kuat bisa terkikis ombak, apalagi pertahanan gue yang cuma sebongkah es batu. Meleleh dong ya."
Nena menghentikan langkahnya di dekat sang adik, "kalian kalo lagi di kamar ngapain aja?" Tanyanya yang membuat Ardi yang duduk di karpet mendongakkan kepala.
"Astagfirullah, nggak ngapa-ngapain sumpah," ucap Ardi dengan mengacungkan dua jari.
Nena percaya, sang adik memang tidak mungkin sejauh itu, tapi tetap saja bila dibiarkan lama-lama mereka bisa bahaya.
"Kayaknya kamu emang harus kuliah di luar Negri, kalian harus dipisahin dulu biar sama-sama dewasa," usul Nena.
Ardi yang terkejut langsung memeluk kaki sang kakak di hadapannya. "Jangan, Mbak! Gue nggak mau jauh-jauh dari ibu."
"Ibu, apa pacar kamu?"
Ardi sesaat terdiam, kemudian melepaskan pelukannya di kaki Nena. "Nggak mau jauh dari Mbak Nena juga," ucapnya sok manis.
"Nggak mempan," olok Nena, namun kemudian tersenyum juga, kapan lagi dia bisa membuat adiknya yang songong ini bisa berlutut di kakinya.
Ya Allah, bucin banget adek aku. Nena menggerutu dalam hati. Baru kali ini dia melihat seorang Ardi merendahkan diri.
"Jangan diaduin, sama abang, Mbak. Pliss." Ardi kembali memohon, persis anak kecil yang meminta perlindungan saat tidak sengaja memutuskan tali jemuran.
"Oke, mbak bakal diem tapi dengan dua syarat," ucap Nena.
Ardi merasa telah menemukan secerca harapan. "Apa?" Tanyanya tidak sabaran.
"Pertama, Mbak nggak mau liat, atau denger kalian melakukan hal kaya gitu lagi."
"Kalo Mbak nggak liat sama nggak denger, boleh ya?"
"Ar!"
"Iya-iya."
"Yang kedua, kapan pun Mbak butuh kamu buat jagain anak-anak Mbak, kamu harus mau."
Ardi sedikit terlonjak, "nggak mau" tolaknya. "Masa gue jadi Neninya Jino Nino, baby sister aja bayarannya mahal tau."
"Yaudah kalo nggak mau, tinggal aku kasih rekaman vidio kalian 'sarapan' di dapur pas lagi sepi."
Ardi mengerang prustrasi. Sejak kapan kakaknya ini berperan menjadi antagonis dalam kisah hidupnya sekarang ini.
"Yang lain aja syaratnya," ucap Ardi, mencoba bernegosiasi.
"Yaudah kalo gitu, mulai besok uang saku kamu buat Mbak."
Makin mampus aja lah. Begini nasibnya jika uang jajan masih ditanggung sama orang tua, dan hal itu membuat Ardi jadi kepikiran ingin mencari uang sendiri, apa dia harus menjual bapperware sang ibu keliling kampus juga? gengsi dong. Mending ternak tuyul aja ketauan.
"Yaudah iya, gue mau sama dua syarat yang pertama," ucap Ardi lemas.
"Nah gitu, dong." Nena mengacak rambut kepala sang adik, yang masih terduduk di hadapannya. "Jangan jauh-jauh 'main' nya entar nyasar, dan inget, jangan nakal," ucap Nena, mengulang pesannya pada anak itu seperti belasan tahun yang lalu .
Ardi melengos kesal, "iya," ucapnya pasrah, kemudian sang kakak pun pergi meninggalkan dirinya dengan hampa.
"Kadang hidup suka nggak adil, buat gue yang padahal ganteng. Anjiir sialaan." Ardi mengacak rambutnya sendiri, prustrasi.
Karin: Tim pengepul poin semangat ya, jan kasih kendoor. Ayo Bang Ar semangatin.
Ardi: nggak gue lagi bete 😒 abang tercyduk dek.