Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selingkuh?
Beberapa bulan kemudian.
Sri duduk di kursi roda, menatap kosong ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat. Suaminya dijadwalkan pulang hari ini setelah beberapa hari dinas ke luar kota. Namun, entah mengapa ... Hatinya dipenuhi resah—antara rindu dan rasa takut yang sulit dijelaskan.
“Aku harus bisa meluluhkan hati Mas Hanung. Aku nggak mau dia berpaling dariku,” gumam Sri sembari memandangi pantulan dirinya di kaca.
Suara pintu terbuka memecah keheningan. Sri langsung menoleh, mendapati Hanung yang melangkah masuk dengan wajah masam.
“Eh, Mas sudah pulang,” sapa Sri lembut, lalu mendorong kursi rodanya mendekat. “Kamu sehat, kan? Udah makan belum?” tanyanya dengan suara penuh perhatian.
Hanung tak menjawab, hanya embusan napas panjang keluar dari bibirnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, kemudian membuka jas, dan melepas kancing kemejanya dengan kasar.
“Tuh cuci,” kata Hanung dingin, kemudian melempar pakaian kotor itu ke wajah Sri.
Sri terdiam, matanya bergetar. Namun, dia tetap berusaha menahan air mata yang menggenang. Perlahan, dia memungut jas yang tak sengaja jatuh di lantai. Tiba-tiba hidungnya menangkap aroma wangi yang asing dari jas itu. Aroma minyak wangi ini bukan punya Mas Hanung.
Hanung memicingkan mata. “Kenapa diam? Cepat, pergi! Aku muak lihat wajah jelekmu!” bentuknya, lalu menendang kursi roda Sri.
Sri mendongak, menatap Hanung dengan mata berkilat basah. “Siapa perempuan pemilik minyak wangi ini?” tanyanya pelan.
“Apa maksudmu?” Hanung bertanya balik.
“Kamu tidur dengan perempuan lain?” tanya Sri lagi, nadanya lebih menekan kali ini.
Hanung berdecak pelan, memutar bola matanya malas. “Iya, kenapa? Mau marah?”
“Kenapa kamu lakuin itu, Mas? Aku kurang apa?” Suara Sri terdengar bergetar.
“Banyak! Kau jelek, mukamu kelihatan lebih tua dari usiamu, dan sekarang mau lumpuh. Suami mana yang betah punya istri seperti itu,” jawab Hanung dengan santai tanpa ragu.
Sri tersenyum getir. “Mukaku kelihatan lebih tua karena aku sibuk merawat keluarga kita dan ibumu. Kalian sendiri yang bilang nggak perlu pakai pembantu atau pengasuh anak jadi, aku kerjakan semuanya sendiri,” ucapnya lirih.
Hanung menyeringai sinis. “Kau lihat wajah Anin? Dia tetap terlihat cantik, segar, dan menarik di mata pria lain, padahal Giandra juga nggak pakai pengasuh anak maupun pembantu.”
“Kamu membandingkan aku dengan Anin? Kalau begitu, apa kamu sudah seperti Giandra yang selalu menemani Anin ke mana pun dia pergi dan memberi cinta yang begitu besar?” tanya Sri.
“Kalau kau mau suami yang selalu menemanimu, cari saja suami pengangguran!” tegas Hanung.
Sri membeku. Suara itu menancap dalam di dadanya. Sementara Hanung beranjak dan mengambil sesuatu dari dalam tas kerjanya.
“Baca ini,” ketus Hanung sembari melempar selembar kertas berbungkus plastik ke arah Sri.
Sri menangkapnya, membuka perlahan kertas itu, kemudian membacanya. Seketika matanya membesar saat mengetahui itu adalah kertas undangan. “Kamu mau menikah lagi?” tanyanya.
“Iya,” jawab Hanung datar.
“Lalu ... Bagaimana dengan aku dan anak-anak kita, Mas? Mereka masih kecil,” ucap Sri.
“Kalau kau masih ingin jadi menantu keluarga Wijaya, izinkan aku berpoligami. Kalau tidak, silakan keluar dari rumah ini. Namun, kau juga tidak bisa bertemu anak-anak lagi karena hak asuh mereka akan jatuh ke tanganku,” sahut Hanung tanpa menoleh Sri sedikit pun.
Sri menggeleng, air matanya tumpah, dan mengalir deras hingga membasahi pipinya. “Kenapa kamu cuma mikirin dirimu sendiri? Kamu nggak mikirin perasaan anak-anak kita jika kita berpisah dan mereka tinggal bersama ibu tirinya yang belum tentu baik pada mereka.”
“Untuk apa memikirkan perasaan mereka? Toh, mereka masih kecil, pasti mereka belum mengerti tentang masalah ini. Lagi pula, jika kau menolak, aku bisa dengan mudah berkata jika kaulah yang meninggalkan mereka jadi mereka akan membenci kamu dan menerima istri baruku sebagai ibunya,” kata Hanung.
“Aku nggak paham lagi sama jalan pikiranmu, Mas. Selama ini aku selalu setia mendampingi kamu, dan mematuhi kewajibanku sebagai istri. Tapi ini balasanmu padaku?” Sri mendorong kursinya ke arah Hanung, dan berdiri di belakang. “Tolong, pikirkan lagi, Mas. Aku mohon ....”
“Keputusanku sudah bulat. Aku tetap menikah lagi karena sejak awal, aku tidak mencintai kamu. Namun, aku terpaksa menikahimu karena dijodohkan bapak,” sahut Hanung.
Sri terdiam, lidahnya mendadak kelu, dan tubuhnya gemetar hebat. Dia meraih tangan Hanung, tetapi lelaki itu menipisnya kasar, dan melangkah keluar kamar, kemudian membanting pintu di belakangnya. Sri terpaku menatap pintu yang tertutup rapat. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat. Kenapa nasibku tidak seberuntung Anin?