Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Dadah Om Tampan...
Reghan masih berlutut di hadapan bocah itu, matanya tak lepas dari wajah Revano. Semakin lama ia menatap, semakin kuat rasa asing sekaligus familiar yang menyesak di dadanya. Ada sesuatu di balik tatapan polos itu, sesuatu yang membuat napasnya terasa berat.
"Levan … Mama kamu di mana?” tanya Reghan perlahan, mencoba tetap tenang meski nadanya sedikit bergetar.
"No, Levan ... Om! Rlevan!" ucap bocah itu polos, Reghan mengangguk dan tersenyum.
Bocah itu menatap sekeliling, bibir mungilnya kemudian manyun.
“Nggak tahu, Om. Mama tadi sama Papa Gavin. Levan mau nyari Mama.”
Nama itu, membuat Reghan seketika menegakkan tubuhnya. Ada sekilas ingatan samar di benaknya tentang seorang dokter yang sempat menangani pasien dari luar kota. Tapi pikirannya buyar ketika bocah itu tiba-tiba menarik ujung jasnya.
“Om, Levan haus…” katanya pelan.
Reghan spontan menunduk lagi, tanpa sadar menatapnya dengan tatapan lembut. “Kamu … sakit, ya?”
Bocah itu mengangguk kecil. “Kata Mama, Levan sakit dalah … tapi nanti sembuh, kok. Mama bilang Levan anak kuat.”
Kalimat sederhana itu justru membuat dada Reghan terasa seperti diremas. Dia berusaha tersenyum, tapi ekspresinya goyah.
Bu Nara, yang berdiri di belakang, menatap pemandangan itu dengan campuran kagum dan cemas. Dia akhirnya berdeham pelan, mencoba mengembalikan fokus. “Tuan, sepertinya … anak ini pasien bagian anak, ya? Mungkin sebaiknya kita bantu panggil perawatnya.”
Namun sebelum Reghan sempat menjawab, suara perawat dari ujung lorong terdengar. “Revan! Revan, sayang, jangan lari lagi!”
Perawat itu berlari kecil menghampiri, wajahnya panik begitu melihat bocah itu bersama Reghan.
“Astaga, maaf, Tuan Reghan. Anak ini pasien kami. Dia lepas dari pengawasan untuk mencari orang tua," kata perawat itu sembari menunduk.
"Orang tua macam apa meninggalkan anaknya sendiri di dalam ruang inap," kata Reghan yang sedikit geram. Reghan tak langsung melepas genggaman kecil di jasnya.
“Dia anak siapa?” tanyanya kemudian dengan tenang, tapi suaranya mengandung tekanan halus.
Perawat itu menunduk gugup. “Anu … saya tidak bisa memberitahukan data pasien, Tuan. Tapi ibunya sedang bersama Dokter Gavin untuk pemeriksaan donor yang cocok untuk sang anak,”
Nama itu lagi, Reghan menatap bocah di hadapannya, lalu perlahan menurunkan genggamannya dari tangan kecil Revano. “Baik, hati-hati, ya, Revan,” ucapnya lembut. Revano tersenyum dan melambaikan tangan kecilnya.
“Dadah, Om tampan.” Ada perasaan hangat yang terlintas dari senyum anak itu, hingga membuat Reghan ikut tersenyum.
Ketika perawat membawanya pergi, pandangan Reghan tetap mengikuti langkah bocah itu hingga menghilang di balik pintu lift. Dadanya terasa sesak, seolah ada bagian dari dirinya yang baru saja dibawa pergi.
“Bu Nara…” katanya akhirnya, suaranya rendah dan berat.
“Iya, Tuan?”
“Cari tahu semua tentang anak itu.” Tatapan Reghan menajam, tapi sorot matanya kini lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Ada ketakutan, harapan, dan penyesalan yang samar di dalamnya.
“Nama lengkapnya, siapa orang tuanya, dan … apa hubungannya dengan Dokter Gavin. Lalu, cari tahu sakit apa yang di deritanya, mungkin kita bisa membantu mencari pendonor seperti yang perawat itu katakan.”
Bu Nara menatapnya kaget, tapi mengangguk pelan. Ia tahu, sejak Reghan menatap bocah itu, ada sesuatu yang telah berubah di mata majikannya. Sesuatu yang tak akan bisa dibendung lagi.
Sore mulai merayap, warna jingga matahari memantul di kaca-kaca rumah sakit ketika Reghan masih duduk diam di mobilnya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya berputar cepat, tentang bocah itu. Tentang wajah kecil yang sangat mirip dirinya, tentang panggilan Mama yang begitu tulus, dan tentang nama Gavin yang terus mengusik pikirannya.
Tak lama, Bu Nara mengetuk kaca mobil dari luar. Reghan menoleh, menurunkan kaca jendela.
“Sudah, Bu Nara?”
“Saya dapat datanya, Tuan,” ucap wanita itu hati-hati, menyerahkan berkas print out dari data rumah sakit.
“Anak itu bernama Revano, usia tiga tahun, pasien rawat anak dengan diagnosa leukemia limfoblastik akut. Ibunya terdaftar atas nama Arum Mustika Ratu.”
Nama itu menghantam Reghan seperti petir di siang bolong. Tangannya refleks mengepal di atas pahanya.
“Arum…?” gumamnya pelan, seolah lidahnya kaku menyebut nama itu.
Bu Nara menunduk, tak berani menatap mata Reghan yang kini mulai memerah.
“Iya, Tuan. Dokter penanggung jawabnya ... Dokter Gavin Wardhana. Mereka tinggal di rumah dinas dokter di daerah selatan kota. Tidak ada penjelasan lengkap tentang hubungan Dokter Gavin dan ibu pasien,”
Hening menguasai mobil itu. Hanya suara mesin dan detik jam digital dashboard yang terdengar. Reghan memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. Tiga tahun, tiga tahun ia mencari Arum ke berbagai kota, bahkan sempat menduga wanita itu telah meninggal. Namun ternyata dia hidup, hidup dengan anak yang ternyata anaknya sendiri.
“Persiapkan mobil, besok pagi kita ke rumah sakit ini lagi,” ucap Reghan lirih, tapi penuh ketegasan.
“Saya ingin bertemu dokter Gavin secara langsung.”
Bu Nara mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Reghan menatap keluar jendela, menatap ke arah gedung rumah sakit yang perlahan memantulkan bayangan dirinya. Dalam hatinya, perasaan bersalah, rindu, dan ketakutan bercampur jadi satu.
Ia berbisik lirih, hampir tak terdengar,
“Arum … apa yang sudah kamu lalui selama ini?”
Sementara itu di dalam rumah sakit, di ruang rawat anak, Arum sedang duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut Revano yang mulai tertidur. Wajahnya lelah, tapi senyum lembut tetap ia paksakan.
“Revan anak Mama yang kuat, ya…” katanya dengan suara bergetar. “Kamu pasti bisasembuh, mama janji…”
Namun entah mengapa, malam itu dada Arum terasa berat, seolah ada sesuatu yang akan datang, sesuatu dari masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
dah lah Reghan kamu aja yg donorin...
paling koma setahun.....biar situ yang gantian di rawat sama arum.....