Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.17 Tiga Paviliun Surgawi
Langit cerah, namun awan-awan putih berputar membentuk lingkaran besar di angkasa. Setiap makhluk yang peka terhadap qi bisa merasakan alam sedang bergetar lembut, seolah menyambut sesuatu yang turun dari langit.
Di bawah lingkaran itu, berdiri tiga menara megah berlapis batu giok dan emas, menjulang menembus kabut awan — Tiga Paviliun Surgawi, pusat kekuasaan tertinggi bagi seluruh sekte dan kerajaan di benua ini.
Mereka bukan sekadar bangunan; masing-masing paviliun adalah perwujudan hukum langit:
Paviliun Cahaya Emas — penjaga hukum dan keadilan surgawi.
Paviliun Ombak Hitam — pengendali rahasia dan keseimbangan dunia bawah.
Paviliun Angin Putih — pelindung takdir dan sejarah masa depan.
Ketiganya berdiri di tengah danau suci yang mengapung di udara, diikat oleh pilar qi murni. Dan pagi itu, di dalam Paviliun Cahaya Emas, sebuah rapat agung dimulai sesuatu yang hanya terjadi sekali dalam seribu tahun.
“Berita dari Gunung Jingcang sudah pasti?” suara seorang pria tua bergema di ruangan besar yang diterangi ratusan lilin qi.
“Sudah, Tuan Penatua,” jawab seorang pengintai berseragam perak sambil berlutut. “Kuil Bayangan Utara runtuh semalam. Energi spiritual di daerah itu lenyap sepenuhnya. Tapi sebelum itu… terdeteksi benturan qi tingkat ilahi diduga milik seseorang yang memegang Teknik Kitab Kuno.”
Ruangan langsung sunyi.
Para penatua saling berpandangan, sebagian wajah mereka berubah pucat.
“Kitab Kuno…? Tidak mungkin…” bisik salah satu dari mereka. “Kitab itu telah dihancurkan oleh Pendekar Suci ribuan tahun lalu.”
Pria tua itu, dengan janggut putih panjang dan mata bagai bintang, berdiri perlahan.
“Tidak, kitab itu memang hancur… tapi esensinya tidak. Seseorang telah mewarisinya.”
Ia memejamkan mata. “Dan aku tahu siapa orang itu…”
Nama itu bergema di ruang besar, mengguncang hati semua yang hadir:
“Xiau Chen.”
Beberapa penatua langsung berdiri. “Kaisar Kitab Kuno yang dulu menghancurkan tiga sekte besar dan menentang langit itu?! Tidak mungkin dia masih hidup!”
“Dia tidak hidup,” jawab sang tetua dengan suara berat. “Dia telah bereinkarnasi.”
Keheningan menelan paviliun itu.
Lalu, dari balik pintu besar, seorang perempuan masuk dengan langkah ringan. Rambutnya panjang seperti sutra malam, matanya berkilau seperti air bintang. Jubahnya putih, berhias simbol mata tiga di dada.
“Jadi kabar itu benar,” ucapnya tenang. “Aku sudah merasakannya sejak tiga hari lalu getaran jiwanya kembali ke dunia.”
Para penatua menunduk. “Putri Duta Langit…”
Dia menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum samar. “Kalian semua tampak takut. Bukankah dulu kalian memuja-muja namanya, lalu mengutuknya ketika ia jatuh?”
Tak ada yang berani menjawab.
Perempuan itu melangkah maju dan berhenti di hadapan altar utama.
“Xiau Chen… orang yang disebut Pendekar Suci, pengkhianat surga, penyatu yin dan yang. Kini dia kembali. Langit tidak akan diam.”
Sementara itu, di kaki Gunung Jingcang, Xiau Chen duduk di bawah pohon pinus tua. Matanya terpejam, tubuhnya dikelilingi pusaran qi putih dan hitam yang perlahan berpadu.
Sudah tiga hari sejak pertempuran di Kuil Bayangan Utara. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi pikirannya tajam seperti pisau.
Di depannya, Ling Yao menyiapkan air dan ramuan herbal yang dikumpulkannya dari lembah. Wajahnya pucat, tapi ia tersenyum kecil. “Guru… kau belum makan sejak kemarin.”
Xiau Chen membuka mata.
“Tubuh ini masih beradaptasi. Aku harus menyeimbangkan dua energi yang bertarung di dalam dantianku.”
Ling Yao menatapnya, lalu duduk di sampingnya. “Kau bilang Mo Tian sudah tidur. Tapi… kenapa tubuhmu masih bergetar seperti itu?”
Xiau Chen menatap tangannya yang sedikit bergetar. “Karena kegelapan tidak pernah benar-benar hilang, Yao. Ia hanya menunggu saat kita lemah untuk kembali.”
Mata gadis itu melembut. Ia menatap wajah Xiau Chen yang meski kini muda, masih menyimpan aura tua dan dalam, seolah ribuan kenangan terkurung di balik mata itu.
“Guru,” katanya lirih, “seandainya masa lalu bisa diubah, apakah kau ingin mengulangnya?”
Xiau Chen terdiam lama, lalu menjawab pelan, “Tidak. Masa lalu bukan untuk diubah… tapi untuk ditebus.”
Langit tiba-tiba menggelap. Angin bertiup kencang dari arah timur, membawa hawa yang tak dikenal.
Xiau Chen berdiri, pandangannya tajam. “Seseorang datang…”
Dari kejauhan, cahaya perak jatuh dari langit — sebuah gerbang bercahaya terbuka, dan dari dalamnya muncul tiga sosok berpakaian putih keperakan, berdiri di atas udara seolah bumi tak berlaku bagi mereka.
Sosok di tengah adalah perempuan yang sama — Putri Duta Langit, dari Paviliun Angin Putih.
Rambutnya melambai lembut, namun auranya menekan udara hingga pepohonan di sekitar mereka bergetar.
“Xiau Chen,” ucapnya pelan namun menggema. “Atas nama Langit, aku datang menjemputmu.”
Ling Yao berdiri waspada, tapi Xiau Chen mengangkat tangannya pelan. “Kau… bukan manusia biasa.”
Perempuan itu tersenyum samar. “Aku bukan manusia, tapi bukan pula dewa. Aku adalah Duta Langit — perantara takdir.”
Ia melangkah di udara, turun perlahan hingga berdiri hanya beberapa langkah dari Xiau Chen.
“Aku diutus untuk satu hal: memastikan keseimbangan tidak terganggu oleh kebangkitanmu.”
“Keseimbangan?” Xiau Chen menatapnya tajam. “Langit bicara tentang keseimbangan, tapi apa yang mereka lakukan selain menimbang hidup manusia tanpa hati?”
“Langit tidak berperasaan,” jawab sang Duta. “Karena perasaan adalah akar kekacauan. Kau tahu itu, Xiau Chen. Kau sendiri yang dulu menolak menjadi dewa karena enggan kehilangan rasa.”
Xiau Chen tersenyum tipis. “Dan aku menyesalinya?”
Ia menatap lurus ke mata perempuan itu. “Tidak. Karena tanpa rasa, aku bukan lagi manusia hanya alat.”
Udara di sekitar mereka bergetar. Dua kekuatan tak kasatmata saling berhadapan, bukan lewat pedang, tapi lewat kehendak.
Ling Yao yang berdiri di sisi belakang merasa dadanya sesak. Ia tahu, benturan semacam ini jauh lebih berbahaya daripada pertarungan fisik satu kesalahan kecil bisa menghancurkan jiwa.
“Kau tak berubah,” ucap sang Duta pelan. “Masih menentang Langit, bahkan setelah mati.”
“Bukan menentang,” jawab Xiau Chen. “Aku hanya berjalan di jalan yang Langit lupakan jalan manusia.”
Tiba-tiba, sang Duta mengangkat tangannya.
Cincin perak di jarinya memancarkan cahaya, membentuk formasi melingkar di udara. “Kalau begitu buktikan. Tunjukkan bahwa jalanmu layak.”
Xiau Chen mendengus ringan. “Jadi Langit masih memakai ujian?”
“Ini bukan ujian,” katanya lembut. “Ini keputusan: apakah dunia akan menanggungmu… atau menolakmu lagi.”
Cahaya perak menyelimuti Xiau Chen. Tubuhnya terangkat ke udara, terlempar masuk ke ruang kosong bercahaya putih.
Ling Yao menjerit, “Guru!” tapi ia tak sempat menyentuh — tubuh Xiau Chen sudah menghilang.
Ia terjatuh di dunia yang asing. Langit putih tanpa matahari, tanah bening seperti kaca.
Dari jauh, muncul bayangan dirinya sendiri versi masa muda, dengan wajah tampan dan aura berwibawa: Pendekar Berwajah Giok.
Bayangan itu berbicara tanpa suara, namun kata-katanya terdengar jelas di dalam kepala Xiau Chen:
“Apakah kau menyesal telah menghancurkan Kitab Kuno?”
Xiau Chen menatapnya lama. “Tidak. Aku menyesal karena pernah mempercayai bahwa dunia ini bisa diubah dengan kekuatan.”
Bayangan itu tersenyum. “Dan sekarang kau ingin mengubahnya dengan apa?”
Xiau Chen menjawab pelan, “Dengan kebenaran.”
Bayangan itu perlahan lenyap, meninggalkan kilatan cahaya yang menyatu ke dalam tubuhnya.
Lalu muncul bayangan lain — Mo Tian, dengan mata hitam menyala.
“Kebenaran?” ejeknya. “Kebenaran tanpa kekuatan hanyalah doa yang tidak didengar.”
“Benar,” sahut Xiau Chen. “Tapi kekuatan tanpa hati hanyalah kehancuran yang menunggu waktu.”
Keduanya beradu pandang. Lalu dunia itu pecah — kilatan cahaya menyilaukan segalanya.
Ketika Xiau Chen membuka mata, ia sudah kembali ke kaki gunung.
Duta Langit berdiri di depannya, matanya tenang, tapi sorotnya berbeda seolah mengandung rasa hormat yang sebelumnya tak ada.
“Langit menerima jalanmu, Xiau Chen,” katanya. “Namun jalan itu akan membawa badai besar.”
Xiau Chen menatapnya. “Badai sudah menjadi temanku sejak lama.”
Duta Langit tersenyum samar. “Kalau begitu… kita akan berjumpa lagi, di atas langit ketujuh.”
Ia berbalik, tubuhnya berubah menjadi ribuan bulir cahaya yang melayang ke langit, lalu menghilang.
Ling Yao segera berlari mendekat. “Guru! Apa yang mereka lakukan padamu?!”
Xiau Chen menatap tangannya, di mana kini muncul simbol kecil berbentuk cincin cahaya di punggung telapak.
“Ujian Langit… dan segel takdir. Dunia telah berubah. Mereka mulai bergerak.”
Ia menatap langit jauh di atas.
“Tiga Paviliun Surgawi telah bangkit dari tidurnya. Dan itu berarti… perang antara langit dan bumi akan dimulai lagi.”