NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: tamat
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong / Tamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Diam Yang Menghantam (Bagian 1)

Sudah dua minggu.

Dua minggu sejak dia lenyap seperti pop up notifikasi yang tak sempat ku screenshot.

Dan hari ini… sebuah notifikasi WhatsApp muncul lagi.

Felix- GameDev [13:25]

“Mei.”

Satu kata. Dua huruf. Nol penjelasan.

Aku menatap layar ponsel lama, sebelum akhirnya—tanpa ekpresi—aku matikan layarnya. Bukan karena aku sudah tidak peduli. Tapi karena aku ingin tahu berapa lama dia tahan rasanya di ghost balik.

Pulang kantor sore itu, aku berjalan sambil menyumpahi spreadsheet. Rahma belum bisa di telepon. Aku masih belum ketemu Mas Johan sejak aibnya di buka habis-habisan oleh temannya. Dan langit mendung seperti mood-ku.

Lalu langkahku terhenti.

Ada mobil SUV silver yang sangat familiar bagiku parkir tepat di depan gerbang kantor. Jendelanya terbuka setengah. Dan dari dalam—

Seseorang keluar. Berdiri. Menyandarkan tubuh ke pintu mobilnya.

Felix.

Kemeja hitam, wajah datar, rambut acak. Tetap tampan dan sorot mata seakan bilang “Gue tahu lo kesel, tapi diem lo keras banget.”

Aku nyaris putar balik. Tapi dia sudah membuka suara duluan.

“Gue nggak akan paksa lo jawab. Tapi gue minta lima menit. Di sini.”

Aku berdiri. Tak bergerak. Menatapnya dari kejauhan seperti memindai barang di minimarket: “Mau beli gak, ya?”

“Lima menit dari dua minggu? Investasi waktu lo lumayan juga.” Jawabku dengan tawa sarkas.

Entah mengapa aku merasa kesal dengan kedatangannya yang tanpa dosa setelah dua minggu mengabaikan aku seperti debu yang gak berharga.

‘Sekarang lo muncul kayak gue adalah tempat yang dengan mudah buat lo datang dan pergi? Yang benar aja? Gue empat tahun lebih dulu mengenal dunia dari pada lo.’

Tapi itu hanya di kepalaku. Kenyataannya aku masih bertahan berdiri di sana. Masih menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari mulutnya.

Felix menggangguk kecil. Tidak terpancing. Dan tentu saja reaksi itu makin membuat jantungku mendidih.

Tapi yang lebih menyedihkannya adalah aku bukan siapa-siapanya dia, namun masih berharap kata-kata ‘maaf’ terucap dari bibir indah itu.

Dia melangkah pelan. Mendekat ke jarak yang lebih aman. Tangannya masih di saku. Matanya tidak berkedip.

‘Lihatlah tingkah menyebalkan dia itu? Tapi mengapa masih tetap cakep? Meisya…Meisya, LO MALAH MASIH FOKUS KE WAJAHNYA? GILA LO YA?’

Tapi mataku masih tenang. Seolah-olah aku tidak memikirkan tentang dia sama sekali.

“Gue ghosting. Iya. Gue salah di sini. Lo gak pantas diperlakukan kayak gitu.”

‘Nah, lo sadar tapi masih ngelakuin?’

Aku tetap diam. Tangan masih menggenggam tas. Wajah masih datar seperti itu masalah sepele. Hatiku geram seakan ingin membelah kepala pria di depanku. Mencari tau apa yang sebenarnya ada di kepalanya.

“Gue panik, Mei. Lo tahu semua orang punya masa lalu. Gue masih stuck di luka itu. Tapi lo tiba-tiba udah…nyentuh bagian yang bahkan gue gak sadar masih nyeri.” Lanjutkannya.

“Jadi solusinya? Hilang tanpa bilang? Apa gue kayak tombol yang lo pencet cuma kalau butuh?”

‘Kenapa orang-orang yang otaknya encer selalu lambat dan gak peka ya? Mungkin ini maksudnya manusia itu gak ada yang sempurna?’

“Enggak. Lo bukan tombol. Lo masalahnya.” Jawab dia tegas tapi tetap tenang.

Aku menoleh, kening mengernyit.

‘Apa lo bilang? Gue? Gue masalah?’

“Masalah?” aku tertawa kecil.

Bukan tawa senang tapi tawa mengejek diri sendiri. Rasanya kalau aku masih berlama-lama disini, hatiku mungkin akan lebih hancur dari ini.

Aku menatapnya sepersekian detik. Lalu berbalik, hendak pergi.

“Masalah karena gue gak tahu harus gimana ngadepin lo tanpa ngerasa takut kehilangan lo suatu hari nanti.” Ucapnya masih dengan suara tenang dan itu cukup untuk membuat langkahku terhenti.

Aku terdiam. Tidak berbalik. Tapi mematung sambil menatap bayanganku di tanah. Jantungku… menyela ritmenya sendiri.

“Nah, kita tidak di hubungan yang membuat lo berpikir begitu, bukan?”

Aku berbalik dan melanjutkan dengan suara dingin.

“Dan kenapa baru muncul sekarang?”

Dia tampak tidak menduga reaksiku akan sedingin itu. Pupilnya sedikit membesar beberapa detik tapi kembali ke mode tenangnya.

“Karena tadi malam gue liat lo. Di coffe shop. Tertawa. Sama orang lain.”

“Lalu?”

Dia tidak menjawab. Tapi matanya masih fokus ke retinaku. Tidak ada tanda-tanda penyesalan. Seolah-olah dia kembali hanya formalitas bahwa kita pernah dekat tapi hanya sebatas teman beta testing.

“Lo boleh marah. Lo boleh gak percaya gue lagi. Tapi hubungan kita lebih dalam dari yang lo pikir, walaupun itu hanya pemikiran sepihak gue. Dan tolong jangan bilang gue gak nyoba.”

Dia diam lagi. Kali ini dia tampak ragu. Ekspresi tenangnya tergantikan dengan wajah bingung dan canggung.

“Karena ini pertama kali dalam hidup gue, gue rela ngaku salah tanpa pembelaan. Di depan lo.”

‘APA?! Ngaku salah? Lo emang salah. Kok malah kesannya lo yang jadi korban disini?!’

Aku menghela nafas. Suasana berubah sunyi. Hanya suara motor lewat dan rintik kecil mulai jatuh dari langit.

“Kenapa…gue? Dari semua orang?” desahku setengah berbisik.

Tapi itu pertanyaan pada diriku sendiri. Bukan untuk pria yang telah mengaku bersalah seolah-olah itu adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya.

Dia tidak bereaksi tapi masih menatapku. Lalu berkata pelan, nyaris seperti perintah lembut.

“Masuk mobil. Hujan.”

Aku tidak bergerak.

“Gue gak maksa. Tapi gue mau lo tau satu hal…”

Dia mendekat sedikit. Hujan mulai turun pelan. Nafasnya hangat di udara. Kemudian melanjutkan ucapannya dengan nada lirih.

“Kalau lo pulang sekarang dan nutup pintu ke gue selamanya…gue bakal biarin. Tapi… lo bakal kehilangan satu-satunya orang yang pengen belajar cara mencintai lo, dari awal. Dengan benar.”

Aku terdiam.

Langit makin gelap. Hujan menetes ke hidungku.

Dan Felix?

Tetap berdiri disitu. Tidak bergerak. Tidak mendesak.

‘Apa barusan dia sedang menyatakan perasaan tapi versi lowkey? Dia pikir setelah semuanya gue bakal percaya dan bilang “Gue maafin karena lo cakep, gitu?”.’

Aku berdiri beberapa saat dibawah rintik hujan. Tubuhku kaku, tapi bukan karena dingin. Melainkan karena sedang menahan sesuatu yang meledak didalam kepala.

Kalimat terakhir Felix.

“Lo bakal kehilangan satu-satunya orang yang pengen belajar cara mencintai lo, dari awal. Dengan benar.”

Terlalu manis. Terlalu tajam. Terlalu percaya diri?

Tanganku meremas tali tas. Aku bisa mencium aroma hujan di aspal dan wangi sisa parfumnya—campuran antara kayu manis dan pengakuan dosa.

Aku tetap tidak bergerak. Diam. Tidak melangkah ke mobilnya. Aku hanya menatapnya. Datar. Tegang.

Lalu—.

Aku putar badan.

Langkahku tegas menuju halte busway. Suara sepatuku menggema samar di antara suara gerimis.

Aku bisa merasakan matanya masih menatap punggungku. Tapi aku tidak menoleh.

Busway berhenti di depanku. Aku langsung naik, dan memilih duduk dekat jendela sambil berbisik—dalam hati—dan mengigit bibir.

‘Kalau lo bisa pergi selama dua minggu tanpa bilang, gue juga bisa pergi dua menit tanpa jawaban.’

Busway melaju. Membelah gerimis.

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!