Cinta Yang Sederhana

Di bawahnya, Nadia memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Kenapa dia mengaku jadi istri pertama kamu? Aa sebenarnya punya istri berapa? Aku yang ke berapa?"

Aditya semakin terpingkal, dia menjatuhkan kepala di dada Nadia. Tubuhnya bergetar sebab terhibur dengan kecemburuan Nadia.

"Kalau sudah punya istri, kenapa gak ngasih tahu aku, A? Kenapa waktu itu ada niat mau ngelamar aku juga, A?"

"Hahahaha!" Aditya tertawa terbahak-bahak menjatuhkan diri di sebelah Nadia.

"Jadi, kamu ngambek gara-gara Sita itu?"

Nadia masih diam di tempatnya, memeluk selimut tebalnya sambil memandangi Aditya yang tertawa terpingkal di sisinya.

"Kok bisa cemburu sama dia?"

"Memangnya siapa Sita? Dia wanita yang cantik, sangat cantik."

"Kamu juga cantik, Sayang. Lebih cantik malah."

Nadia menyingkirkan tangan Aditya yang bertengger di puncak kepalanya. Aditya masih terkikik sendiri sambil memegangi perutnya.

"Katanya dia istri pertamamu?" tanya Nadia.

"Haha, bukan. Tapi sebentar aku tunjukkan."

Aditya mengambil ponselnya, mencari sesuatu di dalam ponsel itu. Mengulir jauh sesuatu di layarnya.

"Maklum udah belasan tahun lalu," kata Aditya.

Nadia meraih ponsel itu yang menunjukkan sebuah foto tempo dulu, kualitas fotonya terlalu kentara itu foto lebih dari 10 tahun yang lalu.

Aditya menunjukkan antara dirinya dan seorang wanita yang berpakaian kebaya putih persis seperti sepasang pengantin.

"Ini videonya," Aditya menunjukkan sebuah video arak-arakan sepasang pengantin berkebaya putih di tengah lapangan sekolah.

"Itu acara sekolah, class meeting. Fashion show sebenarnya, tetapi kita sepertinya salah kostum. Ini malah jadi kayak pengantin, dia pakai siger. Bukan benar-benar nikahan," jelas Aditya.

"Sungguh?" Nadia terkejut, menyaksikan video itu, lalu menutup mulutnya.

"Sumpah, demi apa pun." Aditya mengangkat kedua jarinya, peace.

Aditya juga menambahkan cerita masa lalunya, jika Sita adalah teman sekelasnya saat SMA. Mereka berteman dekat, sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Aditya mengatakan jika suatu saat akan memperkenalkan mereka satu per satu kepadanya.

"Istriku cuma satu, kok. Kamu saja," Aditya menghadap samping, mengusap air mata Nadia yang jatuh dari pelupuk matanya.

Nadia barulah tenang dan mengusap air matanya.

"Lalu siapa Diva?" tanya Nadia.

"Siapa lagi itu?"

"Yang kemarin teh Yanti katakan itu, yang datang cuma pakai kutang doang!"

Aditya memijat pelipisnya. Dia kembali tertawa.

"Itu nanti aku tunjukkan langsung saja orangnya. Sayangnya aku gak punya fotonya."

"Cantik?" tanya Nadia.

"Lumayan," jawab Aditya.

"A! Yang benar? Jadi lebih cantik dia yang cuma pakai kutang aja?"

Rasanya perut Aditya sudah tidak kuat lagi, sakit karena banyak tertawa.

"Lebih cantik kamu," jawab Aditya mengecup bibir Nadia.

"Sudah, ah. Jangan marah-marah mulu, aku tu pusing kalau kamu ngambek."

Nadia diam dipelukan Aditya.

Semakin lama, Aditya semakin tenang tidak bergerak di belakang tubuh Nadia.

Lambat laun terdengar suara dengkuran lembut di belakang telinga.

"A, kok tidur di sini?"

"A?" Nadia menggerakkan tangan Aditya yang memeluknya.

"Hem?"

"Kok masih di sini?"

"Kenapa, sih? Orang tidur sama istri sendiri," jawabnya membuat Nadia tersipu, tersenyum tipis dan membiarkan Aditya menarik mundur tubuhnya untuk memeluknya lebih erat lagi.

Bukan sekadar memeluk, tetapi sejak Nadia mengganggu tidurnya, dan dia menjadi terjaga. Ada ide yang tercetus di pikiran Aditya untuk melakukan hal yang menggugah semangatnya begitu berdekatan dengan Nadia.

Aditya yang memulai, menjelajah wajah dan leher istrinya dengan kecupan kecil yang banyak.

Namun, saat tangannya mulai ikut aktif menyentuh dan menyusup ke bawah, ia menyadari ada sesuatu yang membuat matanya yang terpejam terpaksa terbuka.

"Nad, basah!"