NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Romansa / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.

Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10

Setelah membersihkan diri dari darah dan lumpur di tempat persembunyiannya di pinggiran ibu kota, Vergil melangkah tegap menuju jantung kekuasaan Kerajaan Alvez, yaitu Istana Raja Alex yang megah dan menjulang.

Begitu tiba di singgasananya yang dihiasi ukiran naga dari emas dan permata, ia mendapati ayahnya duduk di atasnya dengan ekspresi acuh tak acuh, hanya tertarik pada kegaduhan yang diciptakan oleh anak-anaknya. Tak ada satu pun dari saudara-saudaranya yang berada di sana, membuat ketenangan di ruangan itu terasa seperti ketegangan yang menunggu untuk meledak.

Dengan tatapan dingin namun penuh perhitungan, Vergil berlutut di hadapan ayahnya, lalu menceritakan peristiwa pertempuran antara pasukannya dan para pemberontak, seolah dia sendiri adalah korban yang selamat dari serangan mengerikan itu.

"Yang Mulia," lapor Vergil dengan suara yang sarat akan kesedihan dan kepedihan, "para pemberontak memecah pasukan kami di kota, dan pasukan Pangeran Arthur juga mendapat serangan mendadak."

Dia melanjutkan ceritanya dengan lancar, seolah telah melatihnya berulang kali, menggambarkan bagaimana dia dan Fiona berhasil melarikan diri dari jebakan yang diciptakan oleh para pemberontak. "Dia telah pergi dari dunia ini, Yang Mulia," lapornya dengan nada getir, berhasil mengelabui ayahnya yang kejam, yang sama sekali tak peduli pada kehancuran dan nyawa yang hilang.

Raja Alex menyandarkan punggungnya ke kursi singgasana, tatapannya menyiratkan kekecewaan. "Apa gunanya seorang pangeran yang mati dengan pedang di punggungnya?" tanyanya tanpa emosi. "Bagaimana mungkin dia bisa mati? Dia bahkan tidak bisa melihat siapa musuhnya."

Raja mengayunkan tangannya, memecah kesunyian yang menggantung di udara. "Vergil," panggilnya, "aku dengar kau berhasil menyingkirkan para pemberontak di kota itu. Bukankah begitu?"

Vergil mengangkat kepalanya, tersenyum licik. "Tentu, Yang Mulia," jawabnya dengan nada sinis, "tapi aku melakukannya dengan cara yang berbeda."

Dia kemudian menjelaskan bagaimana dia berhasil memanipulasi para pemberontak, yang telah berhasil menyingkirkan Pangeran Arthur yang lemah, lalu membawanya ke dalam jebakannya sendiri.

Raja Alex menatapnya dengan tatapan penuh minat. Vergil tersenyum miring dan mengangguk, menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam atas perhatian ayahnya. Ia bangkit dari posisinya, membersihkan debu dari pakaiannya dengan gerakan halus, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Terima kasih, Yang Mulia," kata Vergil, suaranya tenang, "aku akan melayani dan membuktikan pengabdianku pada Anda dan Kerajaan Alvez dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan."

Raja Alex melambaikan tangannya, wajahnya kembali ke ekspresi acuh tak acuh yang biasa. "Pergilah dan istirahatlah," perintahnya. "Kau terlihat kelelahan, dan aku membutuhkanmu untuk tugas lain."

Setelah putranya pergi dan langkah kakinya tak terdengar lagi, Raja Alex tersenyum, senyum tipis yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri. Bisikannya yang nyaris tidak terdengar menggantung di udara yang dingin. "Kau akan menjadi lawan yang sempurna untukku, Vergil," bisiknya, matanya yang tajam menatap ke arah pintu keluar. "Jangan mati sebelum kau berhadapan denganku."

Di saat yang sama, jauh dari istana, Pangeran Julian sedang berjalan santai di sebuah gang yang sepi, tak menyadari bahwa takdirnya telah ditentukan. Di belakangnya, Pangeran Damien sedang menunggunya dengan senyum yang dipenuhi kebencian, di saat ia melangkah maju dengan pedang yang terhunus.

Julian yang merasa terkejut, melihat mata Damien yang dipenuhi kemarahan. "Apa yang sedang kau lakukan, Damien?" tanyanya. Damien hanya tersenyum sinis, mengayunkan pedangnya dan menusuknya. Julian tersentak, lalu perlahan jatuh ke tanah.

"Kau akan mati, Julian," bisik Damien, tatapannya dipenuhi kepuasan. Julian tersenyum, "kau tidak akan bisa lolos dari hukumannya, Damien." Damien tertawa terbahak-bahak, lalu mengayunkan pedangnya, memenggal kepala saudaranya.

Tapi di saat yang sama, bayangan lain mendekat, dan pedang terhunus menusuknya dari belakang. Damien terkejut, berbalik untuk melihat, dan menyadari bahwa ia telah dibunuh oleh Felix. "Bodoh," bisik Felix dengan nada mengejek, "Kau tidak menyadari bahwa kaulah yang telah menjadi alat untuk membalaskan dendamku?"

Felix tertawa, lalu mengambil kepala saudaranya yang telah mati dan melarikan diri, menyembunyikan dirinya dari dunia.

Seorang penasihat yang mengenakan pakaian serba hitam, menyelinap masuk ke dalam ruangan singgasana Raja Alex. Dia berlutut di hadapan raja, kepalanya tertunduk hormat. "Yang Mulia," lapornya dengan suara yang rendah dan penuh ketegangan, "saya membawa kabar buruk. Kami menemukan jasad Pangeran Julian dan Pangeran Damien. Mereka tewas, dan pelaku yang melakukan pembunuhan itu adalah Pangeran Felix, tetapi keberadaannya belum diketahui sampai saat ini. Pangeran Felix juga mengambil kepala Pangeran Julian dan Pangeran Damien."

Raja Alex, yang dari tadi menampakkan ekspresi acuh tak acuh, kini tersenyum tipis. "Felix," gumamnya, matanya menyipit dengan antisipasi. "Mengejutkan. Dia ternyata memiliki ambisi yang tersembunyi."

Raja berdiri dari singgasananya, berjalan menuju jendela yang besar dan lebar. Dengan tangannya yang kokoh, dia menatap langit yang berwarna oranye kekuningan. Ia lalu berbisik, "Tinggal tersisa tiga pangeran. Mari kita lihat, siapa di antara mereka yang akan menjadi lawanku."

Di kamarnya yang luas dan megah, Vergil beristirahat di ranjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Pintu kamarnya terbuka perlahan, dan Fiona masuk, langkahnya tenang dan tanpa suara.

Dia berjalan mendekat, mendekati ranjang Vergil. "Antar aku melihat kastil yang kau berikan," kata Fiona, suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi. Vergil memejamkan mata, memijat dahinya. "Besok saja," jawabnya, suaranya terdengar serak, "Aku lelah."

Fiona tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menoleh, lalu berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Vergil sendiri. Tiba-tiba, Vergil membuka matanya, bangkit dari ranjangnya. "Baiklah..." katanya, suaranya pelan dan penuh keraguan, "Aku antar."

Fiona berhenti di koridor, menunggu dengan sabar. Dia hanya berdiri di sana, punggungnya lurus dan tegap, saat Vergil keluar dari kamar. Vergil berjalan di sampingnya, melihat bagaimana ekspresi Fiona tetap datar dan tak terbaca. Dia menyadari bahwa dia tak bisa membaca ekspresi Fiona seperti dia bisa membaca orang lain.

"Kau tak sabar melihatnya?" tanya Vergil, mencoba memulai percakapan. Fiona hanya menatapnya dengan datar. Dia hanya mengangguk sedikit, membuat Vergil merasa bingung. Vergil kemudian tersenyum licik, menyadari bahwa Fiona adalah lawan yang menarik, dan dia harus terus bermain dengan akal-akalannya.

Setibanya di kastil yang diberikan Vergil, Fiona berhenti sejenak, menatap struktur megah di hadapannya yang menjulang tinggi ke angkasa. Kastil itu tampak begitu indah, dengan menara-menara runcing yang dihiasi ukiran naga, dan jendela-jendela tinggi yang menampilkan kilauan cahaya di dalamnya.

Fiona berjalan memasuki kastil itu, seolah-olah dia telah terhipnotis oleh keindahan yang terhampar di depannya, dengan Vergil yang berjalan di sampingnya, mengamati setiap gerakan yang dia lakukan.

Fiona kemudian berhenti di sebuah ruangan besar yang kosong, dan dia membayangkan kembali bagaimana dulu ia sering duduk sendirian di sana untuk menyusun rencana-rencananya. Matanya berbinar, dan senyum tipis terukir di bibirnya. "Indah..." bisiknya, suaranya terdengar begitu pelan.

Vergil menatapnya, memperhatikan bagaimana ekspresi Fiona menunjukkan kebahagiaan yang tulus, dan sebuah perasaan hangat muncul di dadanya, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Kau senang?" tanya Vergil, suaranya terdengar lembut, dan ia merasakan kehangatan yang tak ia kenal saat melihat senyum Fiona.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berjalan semakin dalam ke dalam kastil itu. Mereka melewati koridor-koridor yang dihiasi dengan lukisan dan ukiran, dan mereka melihat jendela-jendela yang besar yang menampilkan pemandangan yang indah di luar sana. Setelah mereka sampai di sebuah ruangan, Vergil berhenti dan berbalik untuk menatap Fiona.

"Berikan nama untuk kastilmu," kata Vergil, suaranya terdengar serius. "Seperti milikku, contohnya, kastilku bernama 'Vergil Destiny' dan Felix memiliki kastil 'Monarch Chain'." Vergil menatap Fiona dengan tatapan penuh harapan. "Kau harus memberinya nama. Dulu Leo memberikan kastil ini dengan nama 'Gigantes'."

1
Cha Sumuk
kurang menarik krna mc ceweknya lemah,, biasa' nya klo setelah kelahiran jd kuat tp ini mlh lemah hemmm
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!