Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leo yang mulai bingung
Langit malam menebarkan dingin yang tajam ketika mobil hitam panjang berhenti tepat di depan rumah besar keluarga Vittorio. Di dalamnya, Aurelia dan Kakek baru saja tiba setelah perjalanan panjang dari pelabuhan timur.
Begitu mereka melangkah masuk, Di ruang tamu yang luas dan penuh aroma bunga segar, berdiri Leonardo dengan ekspresi sangar yang nyaris membuat siapa pun menghindari tatapannya.
“Kamu dari mana saja, Aurel?” suaranya berat, dingin, dan penuh tekanan.
Aurel sedikit menegakkan tubuhnya, mencoba menyembunyikan sedikit rasa lelah dan sisa darah kering di sepatunya yang mungkin saja masih terlihat.
“Dari rumah kakek,” jawabnya tenang.
Leo menyipitkan mata, menelusuri wajah istrinya seperti sedang membaca kebohongan di setiap detil gerakannya. Tapi sebelum bibirnya bisa melontarkan kata lain, Vittorio menepuk bahunya.
“Sudah, Leo. Aku yang minta Aurelia menemaniku menemui Giovanni. Tidak perlu diperpanjang. Sekarang sudah malam, biarkan dia beristirahat,” ucap sang kakek dengan suara mantap namun teduh.
Leo menoleh sekilas ke arah kakeknya, lalu kembali menatap Aurel. Sekilas, matanya menyiratkan sesuatu, tapi juga bingung.
“Baik, Kakek,” katanya akhirnya, meski jelas nada itu mengandung tekanan.
Aurel menunduk sopan dan melangkah naik ke kamar. Suara langkah hak sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, bergema dalam keheningan malam yang terasa panjang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam kamar, Aurel membuka gaun hitam elegannya, melepaskan kancing satu per satu dengan hati-hati. Air hangat di pancuran kamar mandi menyentuh kulitnya, menghapus lelah sekaligus bayangan dingin dari pelabuhan timur tadi.
Aurel menarik napas panjang, menatap dirinya di cermin kamar mandi.
Tak lama setelah keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, Aurel terkejut melihat sosok Leo berdiri di depan pintu, bersandar santai dengan kedua tangan terlipat di dada. Pandangannya dingin, tapi sorot matanya tajam menelusuri tubuh istrinya yang hanya berbalut jubah mandi tipis.
“Ngapain kamu masuk, Leo?” tanya Aurel cepat, sedikit meninggikan suara sambil menahan debaran yang entah kenapa justru membuat wajahnya panas.
Leo tidak menjawab. Ia berjalan pelan, langkah sepatunya terdengar mantap di lantai marmer kamar itu.
“Diam,” katanya pelan namun tegas.
Aurel memutar mata kesal. “Kamu kenapa sih? Aku baru selesai mandi, kak Leo. Sedikit sopan kek, ini kamar aku juga.”
Leo berhenti tepat di depannya. “Dan kamu lupa, Aurel, bukan cuma kamu penghuni kamar ini.” Ia mendekat, menundukkan wajahnya. Napasnya terasa di leher Aurel. “Kita suami istri. Jadi... sah-sah saja kalau aku lihat kamu seperti ini.”
Nada menggoda itu membuat Aurel menaikkan satu alis. Ia tersenyum samar, menatap Leo penuh tantangan.
“Oh begitu, Kak Leo? Kalau gitu...” Aurel maju selangkah, jarak mereka kini nyaris tak ada. Jarinya dengan lembut menelusuri dada Leo, gerakannya lambat, menggoda. “Kalau sah-sah saja, mungkin Kak Leo mau sekalian...”
Suaranya menggantung. Leo terpaku, matanya berubah tajam, tapi tubuhnya kaku seperti seseorang yang sedang menahan diri keras-keras. Saat jemari Aurel menyentuh kulit di bawah kemejanya, Leo tiba-tiba meraih pergelangan tangannya, menggenggamnya kuat.
“Kamu ngapain, Aurel?” suaranya dalam dan tertekan.
Aurel menatapnya polos, tapi matanya menyala penuh keberanian.
“Tadi Kak Leo yang bilang kita suami istri, jadi sah-sah saja dong kalau aku...” ia berhenti, tersenyum manis. “...menggodamu sedikit.”
Leo menarik napas panjang, lalu mendorong tangan Aurel menjauh. Tatapan matanya tajam seperti bara.
“Berani kamu main-main sama aku Aurel,” katanya marah.
Aurel hanya menatapnya, kemudian menunduk dengan senyum licik yang hampir tak terlihat.
“Siapa yang main-main, kak Leo? Aku cuma ladeni omonganmu,” jawabnya ringan.
Leo menatapnya lama, seolah mencari arti di balik senyum lembut itu. Lalu tanpa berkata apa pun, ia berbalik dan melangkah pergi. Suara pintu kamar ditutup dengan keras, membuat udara di dalam kamar seolah ikut bergetar.
Aurel menatap pintu itu lama. Kemudian ia tersenyum pelan, senyum tipis.
“Dia mulai terganggu, padahal dia duluan yang mulai tadi” gumamnya sambil menatap bayangan dirinya di cermin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di luar kamar, Leo berjalan cepat menuruni tangga, wajahnya masih memerah. Ia menuju bar kecil di ruang tamu bawah, menuangkan segelas bourbon tanpa bicara.
Tangannya bergetar sedikit. Ia tidak tahu apa yang membuatnya lebih marah, keberanian Aurelia, atau fakta bahwa dirinya benar-benar terguncang oleh tatapan dan sentuhannya tadi.
“Aurelia,” gumamnya lirih sambil menatap kosong ke gelasnya. “Tapi kenapa... kenapa aku seperti kehilangan kendali tiap kali dia ada di dekatku?”
Suara langkah kaki pelan terdengar dari arah lorong. Vittorio muncul, mengenakan piyama dan jubah hangatnya.
“Masih belum bisa tidur, Leo?” tanya kakek itu, nada suaranya santai tapi matanya tajam mengamati.
Leo menegakkan tubuhnya, mencoba menyembunyikan gejolak yang jelas terlihat di wajahnya.
“Hanya sedikit gelisah, Kek.”
Vittorio tersenyum samar. “Wajar. Sepertinya cucu kakek mulai menyadari sesuatu.”
Leo mengerutkan dahi. “Menyadari apa?”
Kakek hanya terkekeh pelan. “Bahwa kadang kekuatan paling berbahaya bukan berasal dari pistol, Leo, tapi dari seorang wanita yang bisa mengguncang keseimbangan hatimu.”
Bersambung......