Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Mas Kapten, ayo bercerai!
Ponsel Amara bergetar di atas meja, satu pesan singkat muncul di layar,
[Datang ke kamarku, sekarang!]
Jantung Amara berdebar pelan. Pesan itu pendek, tapi tegas, seperti semua kalimat Shaka selama lima tahun pernikahan mereka. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya ada perintah. Namun entah kenapa malam itu, langkahnya menuruti pesan itu tanpa berpikir panjang. Ia berhenti di depan pintu kamar Shaka dengan nomor 1509. Cahaya di lorong hotel remang, dan hatinya terasa sesak tanpa alasan.
Setelah mengetuk Amara mendapati pintu terbuka perlahan, aroma alkohol langsung menyeruak keluar, kuat dan tajam, bercampur dengan aroma maskulin yang khas milik Shaka. Lampu kamar menyala setengah, menyisakan cahaya temaram di sudut ruangan.
“Mas…” panggil Amara pelan.
Belum sempat ia melangkah lebih jauh, tangan Shaka sudah menarik pergelangan tangannya dengan kuat. Tubuh Amara terhuyung dan terperangkap dalam dekapan itu hangat, kasar, dan tak terduga. Tatapan Shaka buram, tapi tajam. Matanya memerah, entah karena lelah atau karena sesuatu yang lebih dalam dari sekadar alkohol.
“Aku … hanya ingin diam malam ini,” bisik Shaka, suaranya parau. Amara tak sempat menjawab ketika Shaka menunduk, menangkup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mencium keningnya perlahan.
Ciuman itu berpindah, dari kening ke pipi, dari pipi ke bibir dan waktu seakan berhenti, tak ada logika, tak ada kata. Hanya ada dua manusia yang terlalu lelah menahan rasa yang tak pernah sempat terucap. Ciuman itu dalam, bukan sekadar pelampiasan, tapi juga pencarian. Seolah Shaka sedang berusaha menemukan sesuatu yang hilang di dalam diri Amara atau mungkin dalam dirinya sendiri.
Namun di tengah kehangatan yang membutakan, satu kata meluncur dari bibir Shaka dengan lirih.
“Karina…”
Amara membeku, seolah udara di ruangan itu lenyap seketika. Nama itu menampar kesadarannya, nama yang terlalu asing untuk keluar dari mulut suaminya, tapi juga terlalu familiar untuk diabaikan. Karina, adik angkat Shaka, gadis yang belum kembali dari luar negeri.
Gadis yang dulu Shaka sendiri setujui untuk diadopsi, hanya karena ia mirip dengan sosok misterius yang pernah menyelamatkannya lima tahun lalu. Beberapa saat berlalu, Amara menatap wajah Shaka yang kini tertidur dalam pelukannya. Air mata turun perlahan, tanpa suara. Dia tahu, Shaka tidak sadar saat menyebut nama wanita lain. Tapi kesalahan itu tetap menoreh luka di dalam hatinya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amara sadar bahwa mungkin bukan dirinya yang benar-benar Shaka cari selama ini. Dia menatap langit-langit kamar yang gelap, memeluk suaminya dalam diam. Mungkin cinta memang bukan tentang siapa yang kau miliki di sisimu, tetapi tentang siapa yang selalu ada di pikirannya ketika matanya terpejam.
Keesokan paginya.
Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel itu, lembut tapi menyilaukan. Shaka mengerjap pelan, kepala terasa berat, tenggorokan kering, dan aroma alkohol masih samar di udara. Ia menatap sekeliling kamar, baju yang tergeletak di lantai, meja dengan botol anggur kosong, dan selimut yang setengah menutupi tubuhnya. Lalu matanya berhenti pada sosok Amara yang duduk di ujung ranjang, membelakanginya.
Rambutnya terurai acak, seragam pramugarinya sudah rapi kembali, dan tangan kirinya memegang secangkir kopi.
“Pagi,” suara Shaka serak.
Amara tidak langsung menoleh. Ia hanya meneguk kopinya pelan, lalu berkata tenang, “Pagi, Kapten.”
Nada panggilan itu menusuk, Kapten bukan Mas yang seharunya Amara panggil untuk Shaka.
Shaka terdiam sesaat, mencoba mencari potongan ingatan dari malam sebelumnya, tapi semua terasa buram. Yang ia ingat hanya rasa hangat, suara lembut, dan entah kenapa, nama Karina yang terlintas sekilas di benaknya tanpa alasan.
“Amara…”
Ia mencoba membuka percakapan. Namun Amara sudah berdiri, menata tasnya dan berkata datar,
“Kita akan berangkat pukul sepuluh. Aku sudah koordinasi dengan kru, jangan terlambat.”
Shaka hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu di cara Amara melangkah, tenang tapi dingin, seperti seseorang yang sudah selesai berharap.
Tiga minggu kemudian.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal VIP.
Shaka baru saja selesai memimpin pelatihan penerbangan tahunan ketika sekretaris ayahnya, Tuan Wirantara, datang dengan wajah bersemangat.
“Kapten, nona Karina sudah kembali dari Jepang. Nona lulus dengan predikat terbaik dari Akademi Pramugari Internasional. Keluarga berharap Anda menyambutnya secara pribadi.”
Shaka menatap pria itu datar. “Karina sudah pulang?”
“Ya, dan Nona akan mulai bekerja di bawah naungan keluarga Wirantara, di bandara ini.”
Shaka hanya mengangguk, di balik ekspresi tenangnya, sesuatu bergetar halus di dadanya. Nama Karina, orang yang punya nama itu selalu dianggap spesial oleh Shaka sebelumnya. Lorong bandara sore itu ramai, tapi suasananya berubah hening ketika seorang wanita melangkah masuk dengan anggun.
Rambut cokelat panjangnya terurai, seragam pramugarinya masih baru, dan senyumnya mampu menarik pandangan banyak orang sekaligus.
“Mas Shaka!”
Suara lembut itu menggema di antara kerumunan, Shaka langsung menoleh.
Dan sebelum ia sempat bereaksi, Karina sudah memeluknya erat, tanpa ragu, tanpa peduli tatapan puluhan orang di sekitar mereka. Amara berdiri tak jauh dari situ, membawa map laporan kru penerbangan.
Langkahnya terhenti seketika, lima tahun pernikahan. Dan itu kali kedua ia melihat Karina, sekali waktu pernikahannya, lalu kini dengan cara yang sama menyakitkan, pelukan itu cukup lama.
Semua orang di terminal bisa melihat dengan jelas, termasuk awak kabin yang mengenal Shaka dan Amara sebagai rekan kerja biasa.
Bisik-bisik mulai terdengar.
“Kapten Shaka dekat sekali dengan gadis itu, ya?”
“Dia adik angkatnya, katanya. Tapi … kelihatannya lebih dari itu.”
Amara tidak bergerak, dia hanya menatap dua orang yang saling berpelukan di tengah hiruk-pikuk bandara. Senyumnya kecil, tapi getir, mungkin inilah waktunya, pikirnya lirih.
Sore itu, dengan langkah tenang dan kepala tegak, Amara berbalik meninggalkan terminal VIP. Tak satu pun orang menyadari air mata yang nyaris jatuh di sudut matanya, tertahan oleh harga diri yang ia bangun selama bertahun-tahun. Sementara dari kejauhan, Shaka baru sadar Amara ada di sana. Tatapan mereka sempat bertemu sepersekian detik. Dan entah kenapa, dada Shaka terasa sesak seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang belum sempat ia pahami.
Hujan sore menetes di kaca jendela ruang apartemen Shaka dan Amara. Langit Jakarta gelap, dan suara rintik hujan menjadi satu-satunya musik yang menemani kesunyian ruang tamu yang luas namun terasa dingin. Amara duduk di meja makan, menatap cincin di jarinya.
Cincin yang dulu ia kenakan dengan doa, kini hanya menjadi simbol keterikatan tanpa makna. Pikirannya kembali ke sore di bandara, bagaimana Karina memeluk Shaka di depan semua orang, dengan hangat, dengan rasa yang jelas bukan sekadar saudara. Dan bagaimana Shaka membiarkannya.
Amara menarik napas panjang, lalu membuka laptopnya.
Satu dokumen yang sudah lama ia simpan tanpa keberanian untuk membukanya kembali kini muncul di layar, Surat Permohonan Cerai, Pengacara Keluarga Marvionne.
Ia membaca setiap baris dengan mata yang mulai basah. Lima tahun, lima tahun ia mencoba dan lima tahun juga ia bertahan dengan kesabaran yang bahkan dirinya sendiri sudah tak mengerti.
Dia menutup laptopnya, berdiri, dan menatap pantulan dirinya di cermin besar di ruang tamu. Raut wajah yang dulu lembut kini terlihat matang, tenang, dan kuat. Dia bukan lagi gadis yang menunggu cinta. Ia adalah wanita yang tahu kapan harus berhenti.
“Cukup,” bisiknya pada diri sendiri.
Sementara itu, di kantor pusat Wirantara Airlines, Shaka tengah duduk di ruangannya yang dindingnya penuh dengan sertifikat penerbangan dan peta rute udara.
Di atas meja, tergeletak foto keluarga kecil dirinya dan Amara di hari pernikahan. Dia menatap foto itu lama, tapi kini ada sesuatu yang terasa asing. Dia mengingat pandangan mata Amara saat meninggalkan bandara kemarin. Datar, tenang, tapi menyakitkan.
Dan untuk pertama kalinya, Shaka tak bisa membohongi dirinya sendiri ada sesuatu yang hilang.
“Mas,” suara lembut menyapa dari depan pintu.
Shaka menoleh, Karina berdiri di sana, seragam barunya masih rapi, senyumnya cerah.
“Boleh aku bicara sebentar?” tanyanya.
Shaka mengangguk, berusaha tetap profesional. “Masuk, Karina.”
Gadis itu berjalan pelan mendekat. “Aku ingin bekerja di bagian informasi penerbangan pilot dan pramugari. Aku ingin belajar lebih banyak … dekat denganmu.”
Nada suaranya halus, tapi Shaka menangkap sesuatu di baliknya, perasaan yang tak seharusnya dimiliki seorang adik angkat.
“Karina,” Shaka menatapnya dalam. “Kau tahu posisimu, aku sudah menikah.”
Karina tersenyum kecil. “Aku tahu, tapi bukankah pernikahan itu … hanya formalitas di mata mereka? Kita ini keluarga Mas.”
Kalimat itu meluncur ringan, tapi menusuk dalam. Shaka menegang. “Jaga ucapanmu.”
Karina menunduk, tersenyum tipis. “Baik, Kapten.”
Malamnya, Amara pulang lebih dulu. Dia sudah menyiapkan dua cangkir teh di meja, menunggu Shaka yang belum juga pulang. Ketika suara pintu terbuka, Amara sudah tahu ke mana arah percakapan malam ini akan berujung.
Shaka menatap istrinya sejenak sebelum duduk. Ada jarak yang bahkan udara di antara mereka tak sanggup isi.
“Mas,” ujar Amara lembut. “Aku sudah lelah, Mas Shaka.”
Shaka menatapnya. “Lelah kenapa?”
“Lelah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang,” jawabnya lirih, tapi pasti.
Ia menggeser sebuah amplop putih ke hadapan Shaka.
“Ini suratnya.”
Shaka menatap amplop itu, seolah benda kecil itu adalah sesuatu yang bisa meledak kapan saja.
“Amara, kau serius?”
Amara menatap matanya tanpa gentar. “Selama ini aku mencoba menjadi istri yang baik, tapi ternyata aku hanya peran pelengkap dalam hidupmu. Jadi ya, aku serius.”
Amara kemudian berdiri, mengambil tasnya. Sebelum pergi, ia sempat menatap Shaka untuk terakhir kali malam itu.
“Mas Kapten,” suaranya pelan tapi tegas.
“Ayo kita bercerai.”
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya