Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. BERITA KEMATIAN
Kipas anyaman di tangan Ratna terus digerakkan, Sekar terlihat masih merenung duduk di kursi rotan. Sudah satu jam Johan meninggalkan teras belakang, sementara Sekar masih betah duduk di sana. Terik matahari siang terasa mengigit kulit, Ratna sesekali membuka mulutnya tapi, kembali ditutup.
Desahan panjang dari mulut sang nyai membuat dahi Ratna berkerut, kipas anyaman di tangan Ratna terjatuh ketikan Sekar tiba-tiba saja bangkit dari posisi duduknya.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Pasti ada cara untuk lepas dari alur cerita, aku tidak akan menyerah begitu saja. Iya, benar. Aku tidak akan pernah menyerah. Semangat, Sekar!" seru Sekar penuh keyakinan dan mengangguk sesekali.
Ratna menunduk meraih kembali kipas anyaman, memiringkan kepalanya menatap Sekar yang berbicara sendiri.
"Kenapa Nyai?" tanya Ratna.
"Ah, oh? Eh, sejak kapan kamu ada di belakangku?" tanya Sekar tertegun dengan kehadiran Ratna.
"Aku sudah berdiri sedari tadi di belakang Nyai, mengipasi Nyai sedari Nyai terlihat melamun." Ratna menjelaskan jika dirinya sudah berada di belakang Sekar sejak lama.
"Oh..., aku tidak tau kalau kamu berdiri di sana. Hehe..., aku terlalu banyak pikiran," sahut Sekar terkekeh dibuat-buat.
Ratna menggeleng sekilas, "Apakah Jendral sudah mengatakan soal 'itu' pada Nyai?"
"Belum," jawab Sekar jujur, "dia tidak mengatakan soal itu. Apakah kamu yakin kalau kamu tidak salah dengar?"
Ratna membuka mulutnya namun, tidak ada kata-kata bantahan yang keluar dari mulutnya. Suara keras dari teras rumah mengalihkan fokus keduanya, Sekar melangkah memasuki rumah diikuti oleh Ratna dari belakang.
"Nyai!" seruan keras dan senyum wanita berparas ayu di depan pintu.
Sekar membalas senyuman Kartika, dan membuka pintu rumah. "Ayo masuklah Kartika."
Pintu dibuka lebar, Kartika masuk begitu saja ke dalam ruang tamu.
"Ratna, buatkan air minum teh dan bawa cemilan ke sini," titah Sekar pada Ratna.
Ratna mengangguk, dan kembali melangkah masuk meninggalnya ruang tamu. Sekar dan Kartika duduk di kursi, saling berhadapan.
"Panas sekali ya," gumam Kartika pelan, tangannya bergerak mengipas dirinya.
Sekar hanya tersenyum menanggapinya, Sekar bersandar di sandaran kursi.
"Oh, iya. Kedatanganku ke sini hari ini adalah untuk menyampaikan hasil pekerjaan yang Nyai lamar kemari. Dan sekaligus memberikan undangan pesta, untuk Jendral. Nyai bisa menghadirinya juga." Kartika sedikit membungkuk saat ia mengulurkan kertas tebal dengan warna putih gading.
Sekar mencondongkan tubuhnya ke depan, menerima undangan resmi dari Kartika. Ia kembali menyandar tubuhnya di kursi, sementara matanya menatap intens ke arah kartu undangan. Atensi Kartika menatap lurus ke arah Sekar, memperhatikan bagaimana manik mata menatap penasaran ke kertas undangan.
"Nyai pasti penasaran dengan undangan itu 'kan," sambung Kartika tersenyum ganjil.
Sorot mata Sekar beralih dari kartu ke arah depan, ia mengangguk sekilas. "Ya, sedikit."
Ekspresi wajah Kartika terlihat berubah, kedua sisi pipinya merona. Dahi Sekar berkerut sedikit, tidak tahu apakah wanita di depannya itu berpura-pura atau benar-benar tersipu.
"Itu pesta putra bungsu dari Adipati, dia kembali dari masa belajarnya. Akan ada banyak kaum bangsawan, kaum elit Belanda, dan beberapa petinggi yang datang. Pesta ini akan sangat meriah," tutur Kartika menjelaskan secara singkat.
Kedua kelopak mata Sekar berkedip dua kali, putra bungsu Adipati. Sekar merasa familiar dengan nama itu, pupil matanya melebar di saat satu nama terlihat di otaknya.
'Adipati Satyawira Samudra.'
Tidak salah lagi itulah sang tokoh utama protagonis pria, tokoh jendral tersembunyi yang mendapatkan pendidikan di Belanda. Samudra—jendral yang menjadi rival untuk Johan, karena terlalu banyak pikiran yang menyusahkan Sekar. Ia lupa akan kehadiran Samudra, pria yang menjadi pemimpin dari beberapa pejuang yang tersembunyi. Sekar cukup penasaran dengan Samudra, bagaimana sosok Samudra jika ia melihatnya secara langsung. Apakah benar-benar sesuai dengan apa yang digambar oleh penulis novel, lantas apakah jika Sekar diam-diam bekerja sama dengan Samudra. Bisakah ia lepas dari alur novel, mengingat ia tidak pernah tergila-gila dengan Aji.
"Hei, kenapa Nyai malah termenung? Apakah ada yang menganggu pikiran Nyai?" Kartika menyipitkan matanya menatap ke arah Sekar yang terlihat terdiam.
"Eeh..., maaf. Tidak apa-apa, sampai mana tadi pembicaraan kita?" tanya Sekar kembali fokus.
Kartika menatap lambat mata Sekar dan menggeleng sekilas tatapan mata tampak rumit melirik Sekar, Kartika kembali menarik kedua sisi sudut bibirnya ke atas.
"Aku hanya ingin mengatakan jika dia adalah lelaki yang aku cintai, sudah sangat lama aku menunggu kepulangannya ke tanah air. Nanti aku akan mengenalkan Nyai padanya," balas Kartika.
Sekar mengangguk patah-patah, dan tersenyum kecut. Tentu saja ia tahu Kartika mencintai Samudra, keduanya akan menghadapi lika-liku dan intrik dalam novel bersama. Hingga bisa berakhir hidup bahagia.
...***...
Lampu dinyalakan, seluruh perumahan di batalyon terlihat terang benderang. Aroma masakan di atas meja menari-nari membuat perut keroncong, Lasmi terlihat menggenggam erat tangan sang kakak saat keluar dari ruangan kamar tamu yang ia tempati. Rasanya tak akan baik untuk Lasmi terus bersembunyi di dalam kamar tamu, Sekar membawa adiknya makan malam bersama di ruangan meja makan.
"Duduklah," titah Sekar pada adiknya.
Ratna menarik kursi untuk Lasmi, Lasmi duduk perlahan tatapan matanya tampak waspada menatap sekitar. Sekar duduk di samping Lasmi, ia menunduk menatap genggam tangan sang adik erat pada pergelangan tangannya.
"Ak—aku kembali ke kamar saja ya, Mbak. Aku tidak tidak ingin makan di sini," kata Lasmi tergagap.
"Kamu tidak bosan berada di ruangan itu? Lagipula di sini tidak akan ada yang bisa menyakitimu. Kamu percayakan sama Mbak?" Sekar menepuk kecil permukaan telapak tangan Lasmi, mencoba meyakinkan sang adik jika tak akan ada yang bisa menyakitinya.
Lasmi menelan air liur di kerongkongannya, tak mudah untuk menghilangkan trauma Lasmi. Ketidakpercayaan dan ketakutan, ia masih butuh waktu untuk beradaptasi. Meskipun jauh di dalam hati ia yakin dan percaya pada kakak sulungnya, hanya saja ia masih bergetar ketakutan tanpa bisa ia cegah.
Derap langkah kaki pria jangkung berambut pirang itu terdengar jelas, ia melangkah mendekati meja makan. Kursi ditarik ke belakang dan kembali didorong ke depan saat sang jendral duduk di kursi, Johan melirik ke arah kursi samping Sekar. Bola mata Lasmi terlihat bergerak acak, dahinya dipenuhi oleh peluh. Cengkraman pada pergelangan tangan Sekar semakin mengerat, tangan Johan bergerak memberikan kode untuk semua pembantu menyingkir dari sana.
"Apakah aku sudah menyampaikan kabar baik dan buruk untuk Nyai dan Lasmi?" Deep voice serak Johan mengudara.
Sekar menoleh ke arah Johan, dengan tatapan mata tak mengerti.
"Ayah kalian, dua hari yang lalu mengalami kecelakaan di kebun. Katanya ia mati karena terjatuh ke dalam sumur," tutur Johan dengan suara dingin.
Manik mata Lasmi sontak saja melirik ke arah Johan dengan mata terbelalak.
"Dan pria tua bangka yang menikahi Lasmi secara paksa katanya juga mati karena penyakit cacar air," sambungnya.
Tubuh yang tadinya bergetar berhenti bergetar, Lasmi tertegun untuk sesaat dan garis bibirnya naik melengkung. Sekar melirik dari ekor matanya, mendapati perubahan Lasmi. Adiknya tersenyum, bahkan tatapan mata waspada itu berubah dalam sekejap mata menjadi tenang.
"Ayo, kita mulai makan malamnya." Johan meraih sendok dan garpu di atas meja dengan mata biru dinginnya memperhatikan guratan ekspresi wajah Sekar yang tidak sama sekali terkejut dengan berita yang ia sampaikan.
Bersambung...