Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di luar angin malam menghembus dingin, tapi di dada Chesna justru terasa hangat dan gelisah bersamaan. Ia duduk di tepian ranjang, menatap kosong ke arah jendela kamar yang memantulkan cahaya kota. Pikirannya masih melayang pada momen makan malam tadi.
“Kenapa sih malah grogi kayak anak SMA?” gumamnya pelan, lalu tersenyum malu sendiri.
Ia berusaha membaca catatan pasien di pangkuannya, tapi setiap kali membaca nama, yang muncul di kepala malah satu wajah Gideon dengan senyum miringnya yang tenang.
Sementara itu, di rumah keluarga Sanggana, Gideon juga sama tidak tenangnya. Ia duduk di balkon kamar, ditemani secangkir kopi yang dari tadi tidak disentuh. Angin malam mengibaskan rambutnya, tapi pikirannya berputar di satu adegan yang sama cara Chesna datang dengan gaun pastel, senyumnya yang gugup, dan kalimat singkatnya di meja makan, “Kalau itu keinginan orang tua, aku tidak keberatan.”
Ia tertawa kecil, pelan. “Tidak keberatan, ya?” katanya lirih. “Kalau saja kamu tahu seberapa keras aku menahan diri buat tidak langsung senyum di depan semua orang.”
Dari ruang tamu, terdengar suara lembut Nyonya Vera memanggil.
“Gideon, sudah malam. Tidurlah. Besok masih banyak urusan di kantor.”
“Iya, Ma,” jawabnya singkat. Tapi matanya tetap ke langit malam.
Perlahan, ia tersenyum lagi.
Malam itu, dua hati di dua tempat berbeda sama-sama mencoba meyakinkan diri dalam diam, mereka berdua tahu ada sesuatu yang baru saja bersemi kembali.
--
Udara pagi di klinik Castella terasa segar, wangi aromaterapi lembut bercampur dengan suara langkah perawat yang sibuk berlalu lalang. Di ruang terapi utama, Chesna sedang memeriksa jadwal pasien ketika suara pintu terbuka pelan.
Seseorang masuk dengan langkah mantap dan suara ketukan tongkat yang khas di lantai.
“Selamat pagi, Dokter.”
Nada baritonnya tenang, tapi cukup untuk membuat detak jantung Chesna berhenti sejenak. Ia mendongak dan menatap sosok di hadapannya. Gideon Sanggana terlihat lebih rapi dari biasanya, dengan kemeja putih dan setelan abu lembut.
“Pagi juga, Tuan Sanggana,” jawabnya berusaha terdengar biasa.
“Silakan duduk. Saya periksa dulu catatan Anda terakhir kali datang.”
Gideon menatapnya sesaat, lalu berjalan ke kursi pasien dan duduk perlahan. Tatapan matanya tak lepas dari gerak Chesna yang terlihat sangat profesional.
Beberapa menit berlalu hanya diisi suara alat pemeriksaan. Hingga akhirnya Gideon memecah diam.
“Jadi…” katanya pelan, menatap meja di hadapannya. “Tentang… pembicaraan keluarga kita semalam.”
Chesna berhenti sejenak, tapi tak menatapnya. “Kenapa?”
“Aku hanya ingin memastikan,” lanjut Gideon. “Kamu sudah yakin? Maksudku, tidak merasa terpaksa dengan keputusan orang tua?”
Chesna menoleh perlahan, menatap Gideon dengan senyum tipis yang nyaris misterius.
“Yakin atau nggak yakin, ya… aku anggap itu jalan yang memang Tuhan arahkan. Lagipula, orang tua kita sudah memikirkannya matang-matang, kan?” Chesna sempat mendumel dalam hati, "Kau tidak tahu aku menunggumu dua belas tahun."
Gideon mengangguk pelan, berusaha membaca nada suaranya. “Jadi kamu nggak keberatan?”
“Keberatan?” Chesna mengangkat bahu ringan. “Tidak juga. Lagipula dulu calon suamiku pernah menyukaiku.”
Nada akhirnya membuat Gideon meliriknya cepat. Ada senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Chesna menulis sesuatu di clipboardnya. Tapi begitu Gideon menatapnya, ia berubah kikuk. “Tapi… boleh saya tanya balik sesuatu?”
“Boleh.”
Chesna tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya menatapnya lurus.
“Sebenarnya, kamu sudah punya kekasih, kan?”
Gideon sempat terdiam, keningnya sedikit berkerut. “Kekasih?”
“Hmm.” Chesna menatapnya hati-hati. “Aku cuma penasaran… waktu itu aku pernah lihat kamu, ehm- dipeluk oleh seorang gadis di ruang kerjamu. Maaf aku tidak bermaksud mengintip tapi pintumu tidak tertutup dengan benar.”
Nada suaranya setengah penasaran, setengah cemburu yang tak berhasil disembunyikan.
Gideon langsung mengangkat alis, antara terkejut dan geli.
“Dipeluk?” ulangnya, berusaha menahan senyum. “Ches, jadi kamu cemburu hanya karena aku dipeluk anak kecil?”
Chesna cepat-cepat menunduk, pura-pura memeriksa kertas. “Aku tidak cemburu...”
Gideon menahan tawa, matanya memancarkan rasa geli yang jernih.
“Itu Haruka,” katanya akhirnya. “Sudah seperti adik sendiri. Jadi jangan khawatir, tidak ada hubungan yang kamu kira.”
Chesna terlihat sedikit terkejut dan langsung memalingkan wajah, tapi rona merah di pipinya sulit disembunyikan. “Siapa bilang aku khawatir? Aku cuma tidak mau ganggu orang lagi pacaran.”
“Tapi sekarang kamu sudah percaya, kan…?” Gideon mencondongkan badan sedikit, suaranya menurun lembut. “Selama ini, aku gak ada hubungan sama siapapun...”
Chesna mengangguk-angguk.
“Oh, baguslah, sekarang fokus terapi. Kamu belum sembuh total.”
Gideon tertawa kecil, lalu bersandar santai.
“Baiklah, Calon ist…” Gideon menggantung kalimatnya sengaja.
Chesna mendelik pelan tapi tak bisa menahan senyum.
Suara alat terapi pelan-pelan berhenti. Gideon menegakkan tubuhnya, memutar bahu yang sudah mulai terasa lebih ringan. Chesna menatap hasilnya di monitor dan tersenyum tipis.
“Sepertinya kemajuan kamu cukup bagus hari ini,” katanya sambil mencatat.
“Serius? Mungkin karna akhir-akhir ini aku selalu bersemangat dan positif” balas Gideon, menatapnya penuh harap dengan ekspresi nyengir yang sengaja dibuat lucu.
Chesna menatapnya datar, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat. “Baguslah, hati yang senang dan bersemangat adalah obat. Pak Gideon harus selalu bersemangat ya,”
“Oh bisa diusahakan, dok...” Gideon tertawa kecil. “Apa lagi sambil mikirin masa depan.”
Chesna menatapnya sebentar, lalu pura-pura sibuk membereskan alat. “Hmm… cukup optimis, ya, Tuan Sanggana.”
“Harus dong, apalagi di depan calon-…” Gideon menggantung kalimatnya lagi dengan senyum nakal.
Chesna langsung menoleh cepat. “Kamu bisa aja” katanya cepat.
“Ya bisa lah, jawab Gideon santai sambil berdiri dan mengambil tongkatnya. “Baik,” lanjutnya, menegakkan tubuh dan menatap jam tangannya. “Kayaknya pas jam makan siang, ya.”
Saat ia beranjak keluar, Chesna mencegahnya, "kamu mau makan siang, ya?" Ia sempat ragu sejenak, lalu berdeham kecil. “Sebenernya... aku juga bawa makan siang lebih.”
Gideon menaikkan alis.
“Mama aku yang nyiapin. Katanya, Gideon mampir ke klinik hari ini, bawain juga buat dia.’”
Gideon tertawa kecil, lalu menatapnya dengan gaya menggoda.
"Oh, kalau kamu gak mau, tidak apa," lanjut Chesna, pura-pura sibuk merapikan dokumen.
"Kata siapa aku nolak? Aku senang mama kamu kasi aku perhatian."
Keduanya pun keluar dari ruang terapi menuju ruang istirahat khusus Chesna.
Mereka akhirnya duduk berhadapan. Chesna menyiapkan dua piring kecil, membagi lauk dengan rapi.
“Ini cukup banyak, ternyata,” katanya.
“Syukurlah aku datang di waktu yang tepat,” ucap Gideon dengan senyum tipis.
Beberapa menit berlalu dalam suasana yang nyaman.
Sesekali Gideon mencuri pandang, memperhatikan cara Chesna menunduk saat makan, atau bagaimana ujung bibirnya sedikit terangkat setiap kali mendengar lelucon kecil darinya.
“Enak banget,” puji Gideon sambil mengangkat jempol. “Kayaknya tangan Mama Rania luar biasa.”
Chesna mengangguk, “Tapi jangan salah, sebagian aku yang bantu masak.”
Gideon berpura-pura terkejut. “Oh, jadi kamu juga bisa masak?”
“Aku dokter, bukan alien,” balas Chesna cepat.
“Tapi tetap aja, dokter cantik yang bisa masak itu... kombinasi berbahaya.”
Chesna menatapnya setengah geli, setengah malu. “Gideon, kalau kamu terus ngomong kayak gitu, aku batalin sesi terapimu minggu depan.”
“Berarti aku harus cari alasan lain buat datang ke sini, dong?”
“Terserah,” jawab Chesna, tapi senyum di wajahnya jelas tidak bisa disembunyikan.
Suasana di antara mereka terasa hangat, tidak ada yang benar-benar diucapkan, tapi jelas ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan di sela tawa kecil dan tatapan yang tertukar.
Dan di luar ruangan, Lidya yang baru lewat tanpa sengaja melihat mereka dari kaca pintu, langsung tersenyum lebar sambil berbisik sendiri,
“Wah... kayaknya Nyonya Rania Abram memang nggak salah strategi. Mereka jadi makin deket, kan?”
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??