NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20 -- spesial bab

Langit sore meneteskan cahaya oranye keemasan di antara celah pepohonan, membingkai siluet seorang wanita yang perlahan menjauh di ujung jalan.

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Namun tadi, saat mata Aruna menatapnya dan bibirnya tersenyum kecil seperti dulu—senyum yang khas, cerah, dan tanpa dibuat-buat—William sadar sesuatu di dalam dirinya tidak pernah benar-benar padam.

“Masih sama…” gumamnya pelan. “Kau masih Aruna yang sama.”

Sore itu, dunia seakan berhenti sesaat. Mobil-mobil melintas di kejauhan, suara klakson samar-samar, tapi William tak mendengar apa pun selain detak jantungnya sendiri.

Ia mengingat gadis SMA yang dulu selalu duduk di bangku dekat jendela, suka memelototinya kalau dia terlambat masuk kelas, lalu dengan enteng menertawakannya lima menit kemudian. Aruna Surya — gadis dengan tawa yang bisa menyalakan hari paling muram.

Dan kini, setelah bertahun-tahun, dia berdiri lagi di hadapan perempuan itu. Tapi kali ini Aruna bukan lagi gadis ceria yang memakai seragam abu-abu putih. Ia sudah berubah — lebih tenang, lebih dewasa, tapi tetap memiliki sesuatu yang sulit dijelaskan: cahaya yang membuat William sulit berpaling.

Ia menatap langkah Aruna yang perlahan menghilang di tikungan, lalu mengepalkan tangan.

“Tidak lagi,” bisiknya dalam hati. “Kali ini aku tidak akan diam.”

Dulu, William memilih mundur karena tahu Aruna menyukai orang lain. Tapi kini, tidak lagi.

“Kalau aku harus memulainya dari awal, aku akan lakukan,” gumamnya lirih, matanya menatap arah kepergian Aruna.

“Aruna Surya… aku tidak akan menyerah lagi.”

Matahari tenggelam perlahan di balik gedung-gedung kota, meninggalkan sisa cahaya yang memudar seperti janji lama yang belum terselesaikan. Dan di tengah senja itu, William berdiri lama, membiarkan tekadnya mengakar kuat di dadanya.

...----------------...

Beberapa jam kemudian – Rumah Adikara, pukul 19.02 malam

Aruna menutup pintu kamar dengan hati-hati, menahan napas seolah takut mengganggu ketenangan ruangan.

Cahaya lampu kuning lembut menerangi sosok pria di ranjang besar itu. Leo Adikara—suami yang bahkan dalam diam pun mampu membuat jantungnya berdebar.

Aruna menarik napas panjang, lalu duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap wajah Leo dengan ekspresi yang sulit didefinisikan.

“Hmm…” ia bersuara kecil sambil memiringkan kepala, “hari ini kamu ganteng banget deh, tau gak sih?”

Tentu saja, pria itu tidak menjawab. Tapi Aruna tetap melanjutkan monolognya seperti biasa.

“Kau tahu gak, aku tuh tadi ketemu teman SMA,” katanya sambil menaruh dagu di telapak tangan. “Namanya William. Eh, kamu pasti cemburu kan?”

Ia menatap wajah Leo yang tetap tenang, lalu tertawa kecil. “Aduh, ekspresimu tetep aja kayak patung. Kalau kau sadar nanti, aku bakal ngerjainmu soal ini, sumpah!”

Aruna bersandar di kursi, matanya menelusuri garis rahang Leo yang tegas, leher jenjang, dan dada bidang yang naik turun perlahan seirama dengan mesin pernapasan.

“Hmm… kenapa ya semua yang ada di wajahmu tuh kayak diatur sama Tuhan dengan niat ‘ayo, bikin Aruna tergila-gila’ gitu?” katanya sambil mengangkat alis, setengah kesal setengah kagum. Ia menatap dada Leo yang terlihat sedikit di balik kemeja pasien yang longgar, lalu berdehem pelan.

“Eh, ini ngomong-ngomong…” Aruna mencondongkan tubuh, menatap lebih dekat. “Ototmu ini seriusan nyata? Bukan efek pakaian doang kan?”

Ia mengerucutkan bibir, lalu menatap wajah Leo, seolah sedang minta izin.

“Leo Adikara, suamiku yang super tampan tapi nyebelin karena tidur terus…” katanya dengan nada main-main.

“Aku izin ya, cuma mau… uhm… verifikasi ilmiah dikit. Demi penelitian pribadi.”

Ia menatap Leo lagi.

“Diam artinya setuju ya.”

Dengan raut wajah yang pura-pura serius, Aruna menyentuh perlahan dada Leo dengan ujung jarinya. Matanya langsung membesar,

“Astaga… ini keras banget! Ini otot beneran?! Ini bukan trik kamera kan?!”

Ia tertawa sampai hampir jatuh dari kursi. “Ya ampun, ini kayak papan olahraga waktu SMA dulu! Aku bahkan bisa pantul bola di sini!”

Setelah puas tertawa, Aruna buru-buru menarik tangannya dan menutup mulut. “Ya Tuhan, kalau dia sadar tiba-tiba terus ngelihat aku kayak gini, tamat riwayatku. Bisa dikira istri gila!”

Namun tawa kecil tetap lolos dari bibirnya. Ia menatap wajah Leo lagi, lalu berbisik, “Tapi serius, kamu ganteng banget malam ini. Bahkan kalau cuma diam begini aja.”

Suasana hening sejenak. Aruna merapatkan tubuh di kursinya, menatap Leo sambil menggoyang-goyangkan kakinya pelan.

“Tadi aku makan takoyaki, tahu gak?” katanya, memecah sunyi. “Enak banget, tapi gara-gara lihat cowok yang jual mirip kamu, aku jadi malu sendiri. Padahal dia cuma bilang ‘sausnya mau banyak?’ tapi aku malah jawab ‘aku udah punya suami, makasih’. Sumpah memalukan banget, Leo!”

Aruna berhenti sejenak, menatap wajah Leo yang tetap tenang.

Nada suaranya pelan, lebih lembut. “Kau tahu gak, kadang aku pengen marah. Karena aku sendirian di sini, karena kau gak bangun-bangun. Tapi di sisi lain… aku juga bersyukur. Karena kau masih di sini. Karena aku masih bisa ngomel di depanmu.”

Ia menyentuh punggung tangan Leo dengan hati-hati, senyum kecil mengembang. “Jadi, bangun nanti ya. Aku punya banyak hal yang mau aku ceritain. Termasuk tentang teman lamaku itu—William. Tapi tenang aja, aku gak tertarik kok.”

Ia mengedip jail. “Kecuali kau gak bangun-bangun juga, baru deh aku pikir ulang.”

Aruna menertawakan ucapannya sendiri, sementara di sisi ranjang, jari Leo sedikit bergerak. Sangat kecil, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan terasa berbeda.

Aruna tak menyadarinya. Ia masih asyik bercerita, matanya berbinar seperti anak kecil. “Kau tahu gak, aku sempat mikir untuk potong rambut, tapi nanti kalau kamu sadar malah gak ngenalin aku. Eh, tapi ya kalau kupotong dikit biar kelihatan imut gimana? Kamu kan suka yang—”

Ia berhenti sendiri, pipinya merona. “Astaga, aku ngomong apaan sih ini. Aku ngomel sendirian ke orang koma. Parah, Aruna.”

Aruna berdiri, berjalan ke jendela, lalu menatap keluar. Langit malam di luar gelap dan tenang, tapi di hatinya ada sesuatu yang hangat—entah apa, ia menatap ke arah ranjang lagi, tersenyum kecil.

“Leo…” bisiknya lembut. “Kalau kamu bisa dengar, aku janji… aku gak akan ninggalin kamu. Jadi cepat sadar ya, biar aku bisa marahin kamu langsung, bukan ngomel ke udara begini.”

Belum sempat ia beranjak, terdengar ketukan pelan di pintu.

Tok. Tok. Tok.!

Aruna menoleh cepat, keningnya berkerut. “Hah? Siapa malam-malam gini?” gumamnya.

Ia berjalan pelan dan membuka pintu hanya sedikit. Di depan berdiri seorang pelayan muda sambil membawa nampan perak berisi segelas susu hangat.

“Permisi, Nyonya,” ucap pelayan itu sopan. “Ini titipan dari dapur. Katanya untuk membantu Nyonya beristirahat.”

Aruna menatapnya penuh curiga. “Susu hangat? Dari dapur? Emangnya aku minta?”

Pelayan itu menunduk cepat. “Tadi Bu Ny. Adikara yang menitipkan pesan, Nyonya.”

“Oh… Mama, ya?” Aruna mengangguk pelan, lalu menerima gelas itu. “Baiklah, makasih.” Begitu pintu tertutup, ia menatap susu itu dengan tatapan ragu.

“Hm, ini bukan racun kan? Tapi siapa juga yang mau racunin aku? Masa iya orang rumah sendiri?” katanya sambil menatap gelas itu dari segala sudut, seperti detektif amatir. “Ah, sudahlah. Ini cuma susu. Dan… wangi banget.”

Ia mengangkat bahu, lalu meminumnya perlahan. Hangatnya langsung menyebar di tubuh, menenangkan.

“Hmm… enak banget, serius.”

Ia kembali duduk di kursi di sisi ranjang Leo, lalu menatap pria itu dengan ekspresi malas.

“Leo, aku udah minum susu. Lihat, aku anak baik kan?” katanya sambil menepuk dadanya sendiri bangga. “Kamu tuh harus bangun biar bisa lihat aku jadi istri teladan kayak gini, tau gak.”

Aruna mendengus kecil, mulai merasakan kantuk menyerang perlahan. Kelopak matanya terasa berat, tapi mulutnya masih saja bergerak.

“Mungkin aku terlalu banyak ngomel ya, jadi otakku capek sendiri… astaga, aku bahkan bisa ngantuk cuma karena ngomong ke kamu.”

Ia berdiri pelan, meregangkan tubuh. “Udah deh, aku tidur dulu ya, Leo. Kalau kamu sadar malam ini, jangan kabur kemana-mana. Aku mau kamu di sini, ngerti?”

Aruna berjalan ke kasur di sebelah ranjang Leo—dua kasur yang dipisah agar ia tetap bisa menjaga suaminya tapi tak mengganggu perawatannya. Ia menarik selimut, lalu berbaring menghadap ke arah Leo.

“Selamat malam, suami koma…” gumamnya setengah sadar, matanya mulai tertutup. “Jangan nguping kalau aku ngorok ya…”

Dalam hitungan menit, napasnya teratur. Aruna benar-benar tertidur pulas.

Suasana kamar itu sejenak hening. Hanya suara mesin pernapasan dan detak monitor yang menandakan kehidupan. Lalu tiba-tiba—klik.

Suara mesin monitor menurun perlahan. Lampu indikator berubah warna.

Dan di saat itu, mata Leo terbuka.

Pupil matanya tajam, dingin, tanpa sedikit pun sisa kelembutan yang biasa terlihat di depan publik. Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang dengan gerakan tenang dan penuh kendali. Pandangannya sempat berhenti di wajah Aruna yang tertidur damai di kasur sebelah. Sekilas, ada sesuatu yang menahan geraknya—sebuah kelembutan yang sangat singkat. Namun dalam hitungan detik, ekspresi itu menghilang.

Leo berdiri. Ia menarik kabel sensor di dadanya, mencabut alat pemantau, lalu membuka laci kecil di samping ranjang. Di dalamnya tersimpan kartu akses hitam dan sebuah jam tangan logam tipis.

Ia mengenakannya. Begitu jarum jam berputar, terdengar bunyi klik pelan dari dinding sebelah kanan kamar.

Dari sana, terbuka pintu rahasia berlapis baja yang menyatu dengan dinding marmer.

Tanpa suara, Leo melangkah masuk. Di balik pintu itu terdapat lorong panjang dengan lampu sensor redup, mengarah ke sebuah ruangan tersembunyi di bawah tanah.

Ia membuka lemari kaca berisi setelan hitam dan masker setengah wajah—sama persis dengan yang pernah dilihat Aruna di malam penyelamatan itu.

Leo menatap refleksinya di cermin besar di dinding. Dingin. Tegas. Tak ada sisa kelembutan pria koma yang dikenal dunia.

Ia mengenakan sarung tangan hitam, lalu berjalan cepat ke ujung lorong. Di sana terdapat lift rahasia kecil yang langsung terhubung ke garasi belakang. Begitu pintu terbuka, mobil hitam tanpa plat nomor sudah menunggu.

Mesin mobil menyala dengan suara halus. Leo memasang masker dan sarung tangannya, lalu menatap sekali lagi ke arah monitor kecil yang memperlihatkan kamera kamar atas—Aruna masih tertidur, tenang, tanpa curiga sedikit pun.

Pandangan Leo melembut sesaat, hanya sekejap, sebelum kembali berubah dingin.

“Tidurlah, Aruna,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku akan pastikan tidak ada lagi ancaman yang mendekatimu.”

Mobil itu melaju cepat keluar dari lorong rahasia menuju jalan gelap di belakang kediaman Adikara. Hujan tipis mulai turun, lampu-lampu kota memantul di kap mobil hitam itu, seolah menegaskan aura misterius sang pemiliknya.

Beberapa menit kemudian – Markas

Pintu besi besar terbuka otomatis begitu sensor retina mengenali Leo. Di dalam, ruangan luas dengan layar pemantau, peta digital, dan beberapa pria berpakaian hitam berdiri berjaga.

Begitu Leo masuk, semua orang langsung menunduk hormat.

Darren yang berdiri di depan monitor utama melangkah maju, menunduk dalam.

“Selamat malam, Tuan,” katanya tenang tapi tegas. “Laporan sore tadi sudah saya kirimkan. Target yang Nyonya temui telah diidentifikasi: William Darmawan, usia tiga puluh dua, pemilik cabang perusahaan ekspor kecil di pusat kota. Riwayatnya bersih. Namun…”

Darren melirik layar, “kami menemukan aktivitas transaksi yang mencurigakan beberapa hari terakhir.”

Leo melepas sarung tangannya pelan, meletakkannya di meja kaca. Tatapan matanya tajam.

“Periksa lebih dalam,” ucapnya datar. “Aku tidak ingin ada siapa pun yang mendekatinya tanpa alasan.”

Darren menunduk. “Baik, Tuan.”

Leo berdiri di depan layar besar yang menampilkan wajah Aruna—rekaman CCTV dari ruang kamar, diambil secara rahasia dari sistem keamanan dalam rumah. Di sana, Aruna masih terlelap, wajahnya lembut, senyum kecil terukir di bibirnya bahkan dalam tidur.

Leo menatapnya lama.

“Jaga perimeter rumah,” katanya akhirnya. “Dan pastikan tidak ada yang tahu aku meninggalkan tempat ini malam ini.”

“Perintah diterima,” jawab Darren cepat.

Tanpa menoleh lagi, Leo berbalik menuju ruangan pribadinya di markas—ruangan berisi meja kerja, peta digital, dan dinding penuh dokumen rahasia. Ia membuka satu berkas, menatap nama di atasnya:

William Darmawan.

Rahangnya mengeras. Tatapannya menajam, lalu perlahan suara dingin keluar dari bibirnya. “Jadi, kau muncul lagi, hm?”

Ia menutup berkas itu, lalu berjalan ke jendela besar yang menghadap kota. Dari balik topeng dinginnya, ada sesuatu yang samar—perasaan yang bahkan dirinya sendiri enggan akui.

Aruna

Nama itu saja sudah cukup membuat semua rencananya kehilangan arah sesaat.

Namun Leo Adikara bukan pria yang mudah tergoyahkan.

Ia menarik napas panjang, menatap ke luar jendela, dan dengan suara rendah tapi mantap berbisik,

“Selama aku masih hidup… tak akan ada yang bisa menyentuhmu, Aruna.”

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!