Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Ayah Memasak dan Aku Berdoa
Jakarta – Rumah Warung Ahmad, Pukul 04.45 WIB
Langit masih gelap ketika Maya Amelia terbangun. Udara pagi Jakarta yang lembap merayap masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Ia bangkit pelan dari tempat tidurnya, mengambil mukena yang tergantung di sisi lemari kayu, lalu menuju kamar mandi kecil untuk berwudhu.
Tak lama kemudian, di dalam kamar mungilnya yang hanya diterangi cahaya lampu meja, Maya menunaikan salat Subuh. Suaranya lirih namun khusyuk, tenggelam dalam keheningan pagi. Usai salam, Maya menengadahkan tangan. Wajahnya menunduk, mata tertutup rapat, dan bibirnya bergetar dalam doa yang terpendam sekian lama.
“Ya Allah… Hamba tahu, mungkin banyak dosa hamba. Tapi kali ini hamba mohon, izinkan hamba bertemu dengan ibu kandung hamba.”
Napasnya tercekat, namun ia lanjutkan dengan suara yang lebih pelan.
“Hamba nggak minta dipeluk. Nggak minta dicintai juga. Hamba cuma… cuma mau lihat wajahnya. Mau tahu seperti apa perempuan yang melahirkan hamba ke dunia ini. Itu saja, ya Allah… itu sudah lebih dari cukup…”
Air mata menetes diam-diam dari sudut matanya. Tapi Maya tetap menahan isaknya. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu memeluk lututnya, duduk terdiam di atas sajadah.
Langit mulai membiru di ufuk timur. Ayam tetangga berkokok. Di luar, suara langkah kaki Ahmad terdengar pelan-pelan menuju dapur warung.
Maya berdiri, lalu menatap bayangan dirinya di cermin kecil yang menempel di dinding. Ia menyeka sisa air mata yang mengering, lalu menarik napas panjang.
“Aku harus kuat. Aku nggak boleh jadi anak manja. Ayah sudah cukup banyak berkorban,” gumamnya lirih.
Dengan langkah pelan, Maya berjalan keluar kamar dan menyusul sang ayah ke dapur.
Di sanalah mereka akan memulai rutinitas pagi seperti biasa—memasak, membungkus, menyiapkan warung.
Namun di dalam hati Maya, sebuah harapan telah menyala: harapan untuk suatu hari bisa melihat sosok yang selama ini hanya hadir dalam doa.
Aroma bawang putih dan telur goreng menguar dari dapur kecil yang menyatu dengan warung depan rumah. Maya melangkah pelan dengan mukena yang masih dikenakannya, rambutnya digelung seadanya, dan wajahnya masih setengah mengantuk.
Begitu sampai di dapur, ia mengerutkan dahi.
“Loh… Bapak kok nyiapin sarapan?” tanyanya heran.
Ahmad, yang sedang mengaduk nasi goreng di wajan besar, menoleh sambil tersenyum kecil. Keringat membasahi pelipisnya, tapi wajahnya terlihat tenang dan hangat.
“Gak papa… kamu mulu. Kali-kali ayah lah yang masak,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Maya menyandarkan tubuhnya di pintu dapur, menatap ayahnya dengan pandangan yang rumit. Ada haru, ada rasa bersalah, juga sedikit kagum yang diam-diam muncul.
“Tumben…” gumam Maya.
“Ayah bangun pagi-pagi, kamu masih belum juga bangun. Ya udah, daripada nunggu, ayah pikir bikin aja sekalian.
Nasi kemarin masih ada, tinggal tambahin telur sama sosis,” jelas Ahmad.
“Pakai kecap nggak?” tanya Maya pelan.
“Biar kamu yang nambahin. Ayah takut kebanyakan nanti kamu protes,” jawabnya sambil tertawa lagi.
Maya ikut tertawa. Ia menghampiri sang ayah, mengambil botol kecap dan meneteskan secukupnya ke wajan.
“Nah, gitu baru pas,” kata Maya sambil mengaduknya pelan.
Ahmad menatap putrinya sesaat. Dalam diam, ia merasa ada yang berubah dalam diri Maya. Lebih dewasa. Lebih kalem. Mungkin karena obrolannya dengan Tiara kemarin.
“Maya,” panggil Ahmad pelan.
“Iya?”
“Terima kasih ya… udah mau bantu ayah terus. Maaf juga kalau kemarin-kemarin ayah keras kepala…”
Maya tersenyum kecil. Ia menatap sang ayah, lalu menggenggam tangannya sebentar.
“Ayah nggak salah, kok. Aku aja yang terlalu banyak mikir...”
Sejenak hening. Hanya suara api kompor yang mendesis dan aroma sarapan yang mulai matang.
“Abis ini kamu siap-siap kuliah, kan?” tanya Ahmad.
“Iya, masuknya habis Zuhur. Jadi pagi ini masih bisa bantuin di warung dulu.”
Ahmad mengangguk pelan. Pagi itu, meski sederhana, ada sesuatu yang terasa hangat dan damai. Seperti pelukan tak kasat mata antara ayah dan anak yang selama ini saling menjaga meski kadang tak saling mengerti.
Pagi Hari, Pukul 07.15 WIB
Dengan laptop tersampir di punggung dan buku-buku kuliah dalam tote bag lusuh, Maya mengenakan helm dan menaiki motor matic tuanya. Angin pagi Jakarta menyambutnya dengan semilir debu dan aroma khas jalanan yang mulai ramai. Ia menyusuri gang-gang kecil menuju warung milik sang ayah yang berada tak jauh dari rumah mereka.
Sesampainya di warung, Maya langsung membuka gembok dan membantu menyiapkan meja, taplak, serta memanaskan kuah untuk menu andalan: soto betawi dan mie ayam.
Tak lama kemudian, Ahmad datang membawa dua kantong besar berisi bahan-bahan segar dari pasar.
“Tumben kamu cepet, May,” ucap Ahmad sambil menaruh kantong di dapur kecil.
“Tugas banyak, mau nyicil dikit di warung. Lagian kan siang baru masuk kuliah,” jawab Maya sambil membuka laptop di sudut meja kasir.
Beberapa menit berlalu, pesanan dari GoFood dan GrabFood mulai masuk satu per satu di ponsel yang dipasang di dekat rak bumbu. Notifikasi berbunyi terus-menerus.
“Pesanan masuk: Soto Betawi 2 porsi – GOFOOD”
“Pesanan masuk: Mie Ayam Pedas 3 porsi – GRABFOOD”
“Wah, ramai banget yang online ya,” kata Maya sambil mengecek daftar orderan dan langsung mencatatnya.
“Iya, yang datang langsung makin sedikit, tapi yang online makin deras. Alhamdulillah,” sahut Ahmad sambil mulai menyiapkan pesanan dengan cekatan.
Maya melirik ke layar laptop yang menampilkan jurnal hukum yang harus ia review, lalu menoleh ke dapur.
“Yah, aku siapin sambal sama kerupuk ya? Biar pesanan online nggak telat.”
“Boleh, sekalian bungkusin yang ini ya,” ujar Ahmad sambil menyerahkan mangkuk soto yang sudah terisi penuh.
Maya sigap mengambil plastik, sendok, dan tisu, lalu membungkus semuanya dengan rapi. Sesekali ia kembali ke laptopnya untuk mengetik satu dua kalimat sebelum kembali ke dapur atau mengatur orderan baru yang masuk.
Suasana warung kecil itu ramai bukan oleh pelanggan yang duduk, tapi oleh hiruk-pikuk sistem online yang terus berdenting.
Meski sederhana, Maya merasa tenang. Ada sesuatu yang damai dalam rutinitas ini—antara tanggung jawab kuliah, bantuan pada sang ayah, dan harapan kecil di hatinya agar suatu hari nanti… ia bisa duduk seperti ini juga dengan ibunya.
Ia melirik ke arah Ahmad, yang kini tengah meracik mie ayam dengan semangat seperti dulu, seperti saat ibunya masih ada. Raut wajah ayahnya terlihat lebih hidup, lebih ringan, meski garis-garis usia tak bisa disembunyikan.
Maya tersenyum pelan.
“Bapak… sekarang lebih ceria ya,” batinnya.
Tak ingin merusak momen itu, Maya kembali fokus membungkus pesanan yang terus berdatangan. Ia mencuri pandang ke wajah ayahnya yang sesekali bersenandung kecil sambil menumis bumbu, seolah lupa dengan semua luka masa lalu.
“Pak,” panggil Maya pelan.
“Hmm?” sahut Ahmad tanpa menoleh, masih sibuk dengan wajan.
“Nanti kalau Maya lulus… kita buka cabang yuk. Yang lebih besar, yang ada AC-nya. Biar Bapak gak kepanasan masak tiap hari.”
Ahmad menoleh, matanya tampak berbinar.
“Heh, emangnya gampang buka cabang? Tapi… kalau kamu yang bilang, ayah percaya. Asal kamu lulus tepat waktu ya,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Aamiin,” sahut Maya, ikut tertawa, meski di matanya ada sedikit air yang menggenang.
Ia tahu, hidup mereka tidak mudah. Tapi hari-hari seperti ini—dengan aroma kuah soto yang mengepul, tawa kecil yang mengisi ruang, dan harapan yang tumbuh di antara sendok dan panci—sudah lebih dari cukup untuk membuatnya kuat.
Dan dalam hati kecilnya, Maya berdoa:
“Ya Allah… jaga Bapak. Kalau boleh, izinkan kami bertemu Ibu suatu hari nanti. Aku nggak akan minta banyak… cuma ingin tahu wajahnya. Itu aja.”
Dirinya menarik napas panjang, lalu kembali menyalakan laptop. Sinar matahari mulai mengintip dari sela-sela atap warung, menyinari wajahnya yang masih muda, penuh semangat dan doa yang belum usai.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏