PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan masalalu setelah pembalasan
Vergil melangkah maju, membiarkan pepohonan yang lebat menelannya. Udara terasa dingin dan lembap, dedaunan bergesekan di bawah kakinya, seakan hutan itu sendiri sedang berbisik. "Keluarlah," ia berkata, suaranya tenang tapi menggema di antara batang-batang pohon yang menjulang. "Aku tahu kalian di sana. Menghindar hanya akan memperpanjang penderitaan."
Beberapa detik keheningan berlalu, hanya ada suara burung gagak yang terbang tinggi. Lalu, dari bayang-bayang di balik pohon-pohon, enam sosok muncul dengan perlahan, pedang terhunus dan mata yang penuh kebencian. Salah satu dari mereka melangkah maju, tangannya gemetar. "Kami bukan pengikut biasa, kami adalah prajurit 'the Monarch'!"
Vergil tersenyum sinis, senyum yang dingin dan mematikan. "Jadi begitu." Ia mengibaskan tangannya, menggerakkan lengan untuk melepas pedangnya dari punggungnya. "Kalau begitu, mari kita selesaikan ini. Jangan berharap aku akan mengalah!"
"Kau pikir kau bisa mengalahkan kami?" sosok lain berteriak, suaranya bergetar. "Kami adalah pasukan terbaik 'the Monarch'!"
"Seorang prajurit sejati tahu bahwa kata-kata kosong tidak akan memenangkan pertarungan," jawab Vergil, memutar pedangnya dengan lancar. "Katakan padaku! Apa yang ingin kalian capai, dan siapa yang mengirim kalian?"
"Kami adalah bayangan yang akan menelan cahayamu, kami akan menggulingkan kerajaanmu," kata pria di barisan depan, matanya menyala. "Dan kau tidak akan pernah menemukan Fiona-mu!"
"Jadi kalian tahu tentang Fiona!" Vergil menyipitkan matanya, cengkeramannya pada pedang mengencang. "Katakan di mana dia sekarang! Aku tidak akan bertanya dua kali!"
Para prajurit 'the Monarch' tidak menjawab. Mereka justru mengambil posisi, mengepungnya dalam formasi setengah lingkaran. Vergil menarik napas dalam-dalam, merasakan hembusan angin yang sejuk membelai kulitnya, namun matanya tetap tajam, mengamati setiap gerakan lawan. Pria yang berbicara dengannya adalah yang pertama bergerak. Pria itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, melompat, dan mengayunkan pedangnya ke arah kepala Vergil. Vergil tidak menghindar. Ia justru menggerakkan pergelangan tangannya, menangkis serangan itu dengan kekuatan yang luar biasa. Suara benturan logam bergema, dan pedang pria itu terpental, tangannya mati rasa.
"Terlalu mudah," kata Vergil, nadanya dipenuhi cemoohan. "Seranganmu lemah, gerakanmu terlalu lambat." Ia mengayunkan pedangnya dengan cepat, dan dalam sekejap, ia berhasil melucuti semua pedang yang berada di tangan para prajurit. Pedang-pedang itu jatuh ke tanah, menciptakan suara yang memilukan. "Aku tidak akan membunuh kalian jika kalian mau berbicara."
Seorang prajurit lainnya, yang tampak lebih berani, maju dengan tangan kosong. "Kami tidak akan memberitahu apa pun, kau akan mati di sini, di tangan kami!"
"Benarkah? Kalau begitu tunjukkan padaku," balas Vergil, dan seringai sinis kembali terukir di wajahnya.
Vergil berhasil melumpuhkan keenam prajurit itu dengan mudah, menjatuhkan mereka satu per satu tanpa perlawanan. Mereka berbaring di tanah, terengah-engah dan tak berdaya. Vergil melangkah mendekat, mengarahkan ujung pedangnya ke salah satu dari mereka. "Sekarang, aku akan bertanya sekali lagi," ucapnya dingin. "Siapa yang mengirim kalian? Apa tujuan kalian, dan apa hubungannya dengan Fiona?"
Prajurit itu hanya mendengus, matanya dipenuhi kebencian. Tiba-tiba, ia menyeringai. "Kau tidak akan pernah tahu," ia berbisik. Vergil menyadari sesuatu yang aneh. Mata prajurit itu memutar, dan ia mulai kejang-kejang. Vergil melihat hal yang sama terjadi pada prajurit lainnya. Dengan cepat, ia membungkuk dan memeriksa mulut salah satu dari mereka. Ia menemukan sebuah kapsul kecil yang pecah di antara gigi mereka.
"Racun," gumam Vergil, menarik tangannya. "Mereka menelan racun untuk bunuh diri." Dalam beberapa detik, keenam prajurit itu terdiam, tak bernyawa. Vergil menyumpah dengan geram. Rencananya sia-sia, dan ia tidak mendapatkan informasi apa pun. Ia menendang tubuh mereka dengan frustrasi. "Sial! Mengapa mereka harus melakukannya? Mengapa mereka tidak membunuh diri mereka sebelum datang padaku!"
Frustrasi melandanya. Ia tidak tahu harus ke mana lagi atau apa yang harus dilakukan.
Sementara itu, jauh di dalam istana Alvez yang megah, tanpa Vergil ketahui...
Fiona berjalan menyusuri koridor istana yang megah, langkahnya pelan dan penuh kewaspadaan. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut, dan tatapannya terhenti saat melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Kamar itu adalah kamarnya dahulu, tempat ia menghabiskan waktu bersama Vergil sebelum semuanya berubah. Perasaan rindu dan kepedihan bercampur, mendorongnya masuk.
Kamar itu berantakan, sebuah cerminan dari hati Vergil yang hancur setelah kepergiannya. Gelas-gelas bertebaran di lantai, seprai kusut tak tersentuh, dan buku-buku berserakan. Fiona merasakan sebuah dorongan untuk merapikannya, seolah dengan membereskan kamar ini ia bisa memperbaiki masa lalu. Namun, saat ia baru saja hendak mengangkat sebuah seprai, pintu terbuka dan seorang pelayan paruh baya masuk.
"Oh, kamu pelayan baru, ya?" tanya pelayan itu, matanya memancarkan kehangatan. "Aku belum pernah melihatmu."
Fiona tersentak dan segera menundukkan kepalanya. "Iya, saya pelayan baru," jawabnya, suaranya pelan.
"Pantas saja." Pelayan itu melangkah masuk, mengamati kamar itu dengan pandangan sedih. "Kamar ini dulunya milik seorang gadis cantik, dicintai oleh raja kita saat dia masih pangeran. Mereka sangat serasi. Tapi, gadis itu pergi entah ke mana. Kami tidak tahu apa yang terjadi."
Fiona merasa tenggorokannya tercekat. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya, tetap menunduk, mengamati debu yang menempel di lantai.
"Raja Vergil sangat sedih, dan ia melarang kami membereskan kamar ini," lanjut pelayan itu, suaranya bergetar. "Kami hanya boleh membersihkan debu, tak boleh ada sedikitpun perubahan. Posisi seprai, gelas, dan buku harus tetap seperti ini. Pintu juga harus selalu terbuka, karena katanya... kamar ini akan selalu terbuka untuk Fiona."
Fiona tidak bisa menahan perasaannya. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Ia menyeka air mata itu dengan cepat, berharap pelayan itu tidak melihatnya.
"Aku mengerti," kata Fiona, suaranya serak. Ia menatap kamar itu, melihat setiap sudutnya, dan menyadari bahwa setiap sudut ruangan menyimpan kenangan manis dan menyakitkan. Vergil tidak melupakannya, dan ia tidak akan pernah bisa melupakan Vergil.
Setelah keluar dari kamar itu, Fiona menyusuri lorong yang sepi. Langkahnya membawanya ke taman istana. Wangi bunga mawar dan melati yang khas membuatnya teringat pada Vergil. Namun, ingatannya bukanlah tentang hadiah yang romantis, melainkan tentang momen-momen saat Vergil bersikap kasar padanya. Ia berjalan melintasi jembatan batu yang membentang di atas kolam, mengenang saat ia pura-pura sakit dan lemah, meminta Vergil untuk menggendongnya.
"Jangan bertingkah kekanak-kanakan," Vergil berkata, suaranya dingin dan penuh perintah. "Aku sudah memberimu kastil, apa lagi yang kau inginkan? Bangun sendiri!" ia menggeram, matanya menyala dengan ketidaksabaran.
"Aku... aku hanya ingin kau menggendongku," balas Fiona, suaranya gemetar.
"Aku bukan pelayanmu," kata Vergil, nadanya tajam. "Jangan membuatku mengulangi perkataanku."
Mengingat kenangan itu, Fiona hanya bisa meneteskan air mata. Vergil tidak pernah romantis, ia selalu memarahi Fiona. Perlakuan manis yang ia tunjukkan hanyalah sekadar sandiwara, untuk memastikan Fiona tetap berada di sisinya.
Ia melanjutkan perjalanannya hingga tiba di sebuah kastil megah, hadiah dari Vergil. Ia menyentuh dinding batu yang dingin, dan semua kenangan buruk kembali menghantuinya. Ia ingat saat ia meminta kepala Felix, dan Vergil, meskipun ragu, tetap melakukan hal itu. Ia ingat saat ia menangis, dan Vergil, bukannya menghibur, malah memarahinya.
"Hentikan air mata bodohmu," Vergil membentak. "Aku sudah memberikan apa yang kau inginkan. Jangan membuatku menyesalinya!"
"Tapi... aku takut," kata Fiona, suaranya gemetar.
"Takut pada apa? Aku sudah membunuh semua orang yang menyakitimu! Sekarang berhentilah menangis dan bersikap dewasa!" teriak Vergil, matanya menyala.
Semua kenangan itu terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. Vergil tidak pernah melupakan Fiona, tetapi cara ia mengingatnya, justru menjadi sebuah pedang tajam yang menusuk hatinya.
Seorang gadis pelayan yang kebetulan sedang lewat melihat Fiona yang sedang meneteskan air mata. Gadis itu mendekat dan bertanya, "Ada apa? Apakah kamu baik-baik saja?"
Fiona menyeka air matanya, ia berbalik dan tersenyum, senyuman yang penuh kesedihan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, suaranya serak. "Aku hanya... aku hanya merindukan seseorang."