Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menuju jantung lembah kematian
Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan, dengan dua anggota SAR ditugaskan khusus menjaga Pak Rahmat di barisan belakang.
Semakin mereka mendekat, kabut semakin tebal, dan udara terasa lembab menusuk kulit.
Pohon-pohon menjadi lebih rapat, cabang-cabangnya melengkung seperti tangan yang mencoba meraih mereka.
Di depan, kabut tiba-tiba membuka celah tipis.
Dari sela kabut itu, mereka melihat siluet batu besar yang bentuknya identik dengan yang digambarkan Alex kemarin. Beberapa anggota otomatis mengokang senjata.
Lalu, terdengar suara samar dari kejauhan,nyanyian lirih, pelan, dan monoton, seperti sekelompok orang mengucapkan mantra. Suaranya terdengar dari segala arah, sulit ditentukan sumbernya.
“izin komandan...ini persis seperti apa yang Alex bilang,”
bisik Bagas dengan wajah pucat.
Lampu senter diarahkan ke arah suara, namun kabut kembali menggulung, menelan semua yang tadi terlihat. Hanya nyanyian itu yang tertinggal, semakin jelas, semakin dekat.
Langit di atas lembah berwarna kelabu pekat. Kabut menggantung rendah, seolah menekan tubuh mereka dari segala arah.
Aroma tanah basah bercampur bau anyir samar menyelinap di setiap hembusan napas. Tim SAR bergerak perlahan, berbaris membentuk formasi rapi di belakang dua personel militer bersenjata.
Senapan mereka terangkat, matanya tajam memindai setiap sudut semak yang bergerak.
Letnan Adi, pemimpin regu pengamanan, memberi isyarat tangan.
"Formasi ketat. Lembah ini bisa menelan kita kapan saja!"
ujarnya dengan nada rendah namun tegas.
Pak Rahmat, yang masih lemah secara fisik dan mental, berada di tengah formasi, didampingi dua anggota SAR yang siap menopangnya jika ia kehilangan keseimbangan.
Tatapannya kosong, sesekali bergerak liar seperti melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain.
"Dia seperti terus melihat bayangan di pepohonan"
bisik seorang anggota SAR bernama Tegar kepada rekannya, Widi.
Widi hanya mengangguk.
"Entah halusinasi atau memang ada sesuatu di sini"
Mereka terus maju.
Tanah di bawah kaki berubah dari tanah padat menjadi lumpur lengket, memaksa langkah menjadi lambat.
Pohon-pohon besar berlumut berdiri bagai tiang penjara yang memagari jalan.
Suara air menetes dari dahan, dan kadang terdengar suara ranting patah di kejauhan,terlalu berat untuk seekor burung, terlalu ringan untuk seekor binatang besar.
Letnan Adi mengangkat tangannya lagi, memberi tanda berhenti.
Drone pengintai yang dikendalikan dari kapal utama mengirimkan citra panas ke tablet yang dibawanya.
Ada sebuah titik panas di arah tenggara, sekitar 500 meter dari posisi mereka.
"Itu bukan api...bentuknya memanjang,"
gumam Letnan Adi sambil memperbesar gambar.
"Seperti tubuh manusia."
Seketika semua anggota tim menatap satu sama lain.
Tubuh manusia? Apakah itu korban yang masih hidup... atau sesuatu yang lain?
Tim kembali bergerak, kali ini lebih cepat namun tetap senyap.
Udara semakin pengap, dan suara serangga perlahan menghilang. Keheningan yang tidak wajar menyelimuti mereka. Bahkan angin pun terasa menahan napas.
Pak Rahmat mulai gemetar.
"Kalian...tidak mendengarnya?"
katanya pelan.
Letnan Adi menatapnya.
"Mendengar apa?"
"Suara orang....memanggil namaku,"
jawabnya, wajahnya pucat.
Beberapa anggota menegakkan tubuh, berusaha mendengar.
Tidak ada apa-apa...kecuali detak jantung mereka sendiri yang memacu.
"Kita lanjut. Jangan terpengaruh"
perintah Letnan Adi, walau matanya sendiri menyapu ke segala arah dengan gelisah.
Perjalanan semakin sulit. Lembah itu bukan sekadar hutan.
ia seperti ruang hidup yang menyembunyikan sesuatu.
Akar-akar besar menjuntai seperti tali perangkap, dan di beberapa titik, ada bekas api unggun kecil yang sudah padam lama, namun di tengahnya tertinggal tulang-tulang kecil yang tak wajar bentuknya.
Ketika mereka hampir mencapai titik panas yang terdeteksi drone, udara berubah drastis. Bau busuk menusuk hidung, membuat beberapa anggota terbatuk dan menutup hidung dengan kain.
Bau itu bukan sekadar bau bangkai hewan,ini lebih pekat, lebih manusiawi.
"Berhenti!"
seru Letnan Adi.
Semua membeku.
Dari balik kabut tipis, siluet sebuah gundukan terlihat.
Mereka belum bisa memastikan, tapi bentuknya terlalu aneh untuk tumpukan tanah biasa.
Widi berbisik
"Kalau ini manusia, berarti sudah lama...tapi kenapa drone masih menangkap panas?"
Tak ada yang menjawab. Semua diam, merasakan detak jantung masing-masing yang berpacu liar.
Letnan Adi memberi tanda ke dua prajurit untuk maju lebih dulu.
Senapan terarah, langkah perlahan. Tim SAR mengikuti dari belakang.
Kabut seolah semakin menebal, menyelimuti pandangan mereka.
Dan ketika jarak tinggal beberapa meter...suara retakan terdengar.
Bukan dari langkah mereka. Dari dalam kabut, seolah ada yang bergerak perlahan, mengitari mereka.
"Kontak sayap kiri...kontak sayap kanan...!"
prajurit depan berbisik keras. Formasi langsung menghadap dua arah berlawanan, jari di pelatuk. Namun tak ada wujud jelas, hanya bayangan bergerak cepat lalu menghilang.
Letnan Adi mengangkat tangan.
"Kita bertahan. Siapkan pencahayaan penuh!"
Lampu sorot dinyalakan, menembus kabut. Bayangan itu tak muncul lagi...tapi bau busuknya semakin kuat.
"Jarang aku merasakan udara seberat ini,"
gumam salah satu prajurit.
Langkah terakhir ke arah gundukan itu tinggal beberapa meter... namun tiba-tiba Pak Rahmat berteriak histeris.
"Jangan dekati! Itu bukan...itu bukan untuk kalian!"
Semua menoleh, tapi sebelum mereka bisa bertanya, sesuatu jatuh dari atas pohon, menimbulkan suara keras di lumpur.
Dan aroma busuk itu semakin menusuk penciuman...menandakan mereka baru saja masuk terlalu jauh.
Mereka melangkah lebih hati-hati daripada sebelumnya.
Lumpur yang menempel di sepatu mengisyaratkan setiap langkah seperti dihisap mundur.
Lampu-lampu senter memotong kabut, mencipta pilar cahaya pendek yang langsung ditelan kembali oleh lembah.
Di antara suara napas, gemerisik daun, dan gelegar jauh akibat tangisan alam, rasa tegang menebal seperti kabut itu sendiri.
Letnan Surya tetap di depan, matanya tak lepas dari alat navigasi.
Di pundaknya terlihat bekas hujan, butiran air yang menetes dari tali,dari pelat tubuh, dari pelana senjata.
Di belakangnya, dua personel militer merapat rapat pada formasi, senapan terangkat siap menembak bila ada sinyal ancaman.
“Perhatikan tanda di tanah”
suara Bima, kepala tim SAR, nyaris serak.
“Jangan langkahi sesuatu yang mungkin jebakan.”
Mereka melewati lingkaran pohon yang cabangnya merunduk berat, lalu sebuah cekungan kecil yang dipenuhi batu,batu yang dipasang tidak alami.
Di sela batu itu ada bekas ukiran,garis-garis melintang membentuk pola yang sudah sering mereka lihat sejak masuk kawasan itu, simbol yang sama yang pernah muncul di papan kayu, di kulit korban yang ditemukan tim sebelumnya. Seketika, beberapa anggota menegang. Ini bukan sekadar medan perang ,ini punya pola, maksud.
“Ini bukan sekadar perkelahian antarsuku,” gumam Serka Dani.
“Ini sebuah ritual. terdapat motif.”
Langit menjadi mendung lebih dalam, cahaya siang seolah runtuh menjadi abu. Mereka bergerak menyusuri cekungan, lalu menanjak.
Di salah satu tanjakan, kabut membukakan pemandangan singkat ,sebuah gundukan tanah, dikelilingi lingkaran batu kecil.
seketika vau busuk datang menyergap,tidak lagi samar. Bau manusia yang lama tertahan, bercampur aroma gosong.
Widi, yang berjalan di tengah, menelan ludah.
“Di sana,” bisiknya.
Semua senter diarahkan ke gundukan. Apa yang terbaring di atasnya pada awalnya tampak seperti rumpun kain basah, lalu seperti sebatang kayu, lalu ketika bayangan itu dibersihkan dari dedaunan,rupanya tubuh manusia.
Tubuh itu diletakkan telentang, pakaian sobek memperlihatkan kulit yang menghitam di beberapa bagian, seperti terkena api.
di leher ada bekas robekan, di lengan bekas tusukan.
Namun yang paling membuat napas mereka sakit adalah posisi tubuh disusun rapih. Tangan tersilangkan di dada, jari-jari rapat seperti dipaksa menutup, dan di sekitar kepala ada ranting-ranting kecil yang disusun menyerupai mahkota.
Di dahi, samar terlihat goresan garis-garis tipis menoreh membentuk simbol yang sama.
“Jangan sentuh dulu,”
perintah Bima. Suaranya datar, langkahnya tegap tapi di dalamnya ada gemetar kecil. Ia mendekat, menyisir area dengan senter untuk memastikan tidak ada perangkap atau benda tajam lain. Anggota militer menutup perimeter,dua orang lagi menempatkan kamera dan mulai merekam.
Tegar menunduk, memeriksa wajah orang itu dan membandingkan dengan data pencarian.
“Gilang,” katanya pelan, napasnya tercekat. Suara itu seperti terhenti di tenggorokan beberapa orang lain, lalu memantul di antara pohon. “Gilang..ini Gilang,berdasarkan Hasil pemeriksaan secara visual,korban tersebut adalah Gilang!”