Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban papa
Hari ini Amelia menolak ajakan teman-teman nya untuk pergi. Dia masih syok saat wali kelas memberitahu bahwa Gunawan pindah sekolah. Dia bahkan tidak berpamitan pada Amelia.
Beberapa kali Amelia mencoba menelpon Gunawan, tapi tidak berhasil. Wa pun ceklis satu.
Amelia diblokir.
Saat malam habis isya, pintu kamar Ameli diketuk oleh Rehan. Dia masuk setelah Amelia memberikan ijin.
“Sibuk?” Tanya Rehan.
Amelia menggelengkan kepala. Dia duduk di kasur, sementara Rehan di kursi belajar.
“Ada apa? Apa ada hal yang serius? Kok abang kayak yang pusing banget.”
“Pusing sama kamu.”
“Aku? Adek kenapa memangnya?”
“Dek, kamu tahu kan bagaimana Gunawan cinta banget sama basket.”
“He-em, dia udah kayak sehidup semati ya sama basket. Kenapa memangnya?”
“Harusnya minggu depan dia ada turnamen. Katanya skaliagus seleksi untuk atlet kejuaraan daerah Jawa Barat dan untuk O2SN.”
“Iya, tapi sayang dia pindah”
“Kamu tahu kenapa dia pindah?”
“Enggak.”
“Karena kamu.”
Amelia terdiam. Dia tidak mengerti dan sedikit kaget mendengar alasan Gunawan pindah karena dirinya.
“Aku gak ngerti, kok bisa? Kenapa Gunawan pindah karena aku.”
“Belajar kelompok yang sering kamu jadikan alasan itu, semuanya bohong kan? Kamu pulang sampai sore itu karena kamu main. Ayahnya Gunawan tau dan dia mengalahkan kamu.”
“Tapi kan, aku gak minta. Dia yang maksa.”
“Karena dia sayang sama kamu.”
Amelia tertohok dengan jawab yang disampaikan Rehan.
“Dia tidak ingin kamu terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Makanya dia selalu ikut kamu untuk menjaga kamu, Dek.”
“Abang, adek—“
“Maaf ya, kami sudah lalai menjaga kamu sampai kamu berbuat sejauh ini.”
Amelia merasa sangat malu dan bersalah pada Rehan. Dia pikir Rehan akan marah, tapi sebaliknya.
“Papa sibuk sama ras sedihnya. Mama juga sibuk mengurus papa agar papa tidak larut dan menjadi gila. Abang juga sibuk berusaha mengembalikan keadaan toko, dan akhirnya … akhirnya ….”
Mungkin Rehan tidak berteriak dan marah, tapi jelas sekali intonasi suaranya menyiratkan rasa kecewa yang amat dalam.
“Sudah malam, lebih baik kamu tidur. Memulihkan kondisi untuk besok bermain lagi.”
Sindiran Rehan membuat hati Amelia terasa seperti diiris.
Remaja seusianya memang sedang masanya untuk mengenal dunia luar. Bermain bersama teman, menikmati masa bermain, mulai memperhatikan penampilan dan skin care.
Pergaulan dengan teman yang salah maka akan membawa mereka ke jalan yang salah pula, pun sebaliknya.
Tidak ada hal membuat Amelia disalahkan atas apa yang dia perbuat. Amelia masih melakukan solat lima waktu memaki dia sedang bermain, dia menyempatkan diri untuk beribadah.. Dia hanya sekedar jalan-jalan dan jajan. Menghabiskan waktu bersama teman nya untuk sekedar bercerita. Hanya saja, cara dia melakukan itu membuat orang di sekitarnya kecewa dan berdampak.
Hatinya tidak karuan. Ada rasa marah, benci dan juga kecewa pada keadaan. Marah pada dirinya sendiri, kecewa pada orang-orang yang menganggap dirinya salah dan seolah tidak memberikan hak meski hanya sekedar bermain.
Dia mengambil ponsel, lalu kembali melakukan rutinitas seperti hari sebelumnya.
Kak, hari ini aku ketahuan berbohong. Heheh. Padahal aku hanya ingin pergi bersama teman-teman, aku bahkan menyempatkan diri mencari mushola untuk solat. Tapi Bang Rehan marah.
Kalau kakak sendiri, nyalahin aku juga gak? Nggak kan?
Bodoh ya aku. Harusnya bisa menempatkan diri, setidaknya bersikap baik lah pada orang yang bersedia mungut aku.
Meski sadar chat nya pada Harlan tidak akan dibaca dan tidak akan dibalas. Jangankan dibalas, sampai saja tidak. Tapi Amelia tetap melakukannya.
Cerita demi cerita. Selalu dia utarakan pada Harlan. Bagi Amelia, melalui hal itu akan membuat dia merasa lega karena sudah mencurahkan segalanya. Anggap saja Harlan membacanya. Dia hanya sedang sibuk sama pekerjaannya.
“Dek, uang jajan nya masih ada?” Tanya Ira.
“Tinggal sedikit, Ma. Tapi masih cukup buat seminggu lagi sampai tanggal satu bulan depan.”
“Maaf ya, kalian harus ngirit dulu. Tau kan kenapa. Mama juga sebenarnya gak mau melakukan hal ini, tapi uang simpanan mama dan papa dipakai untuk mencoba membangkitkan kembali toko.”
“Toko yang dikelola Om Herman, gimana?” Tanya Rehan.
“Mama masih belum tahu, kemarin papa sempat cerita kalau ada masalah keuangan di sana. Barang keluar sama uang yang masuk ada selisih.”
“Korupsi paling itu.”
“Hushhh! Jangan gitu, Om Herman itu adik papa.”
“Adek kan gak bilang Om Herman yang korupsinya. Bisa saja anak buahnya atau siapa. Kan Om Herman kata pap dulu gak suka standby di toko. Kerjanya maen mulu.”
Ira dan Rehan saling melirik. Apa yang dikatakan Amelia memang tidak salah.
“Benar, dia korupsi. Dia merusak bisnis Papa ….”
Tiba-tiba Alex datang sambil menangis. Dia berlutu sambil mengusap-usap dadanya. Sontak mereka berhamburan menghampiri Alex, membantunya berdiri dan mengajaknya duduk di sofa.
Pria tegas dan disiplin itu menangis pilu. Sejak kejadian kebakaran itu Alex memang terlihat sangat kusut dan pusing. Kali ini dia mencurahkan semua gundah gulana nya lewat air mata. Dia meraung seperti sedang melupakan emosi yang sudah lama dia tahan.
Ira memberinya segelas air putih, berharap Alex sedikit tenang setelah meneguknya.
“Herman korupsi. Dia sering mengambil uang toko untuk keperluan pribadinya. Sekarang … toko terlilit hutang. Buat bayar pegawai saja subsidi silang dari toko yang di sini. Tapi sekarang …. Toko kita bahkan sudah tidak ada. Dari mana papa bayar karyawan? Bon untuk keramik dan alat-alat lainnya harus lunas minggu depan.”
Begitu berat beban yang dipikul Alex karena ulah adiknya. Dia mengambil uang toko, sampai belanja bahan-bahan bangunan harus kasbon dulu dan Alex yang harus membayar.
Dia membuat perjanjian dengan adiknya bahwa adiknya akan bertanggung jawab. Namun, tetap saja Alex merasa dikhianati.
Kringggg kringgggg
Telpon rumah berbunyi. Bibi berlari kecil untuk mengangkatnya.
“Bu, maaf. Ini dari ibu sepuh.”
Ira menatap suaminya. Lalu dia pergi untuk menerima telpon dari ibu mertuanya tersebut.
Setelah cukup lama berbicara. Ira kembali dengan wajah yang terlihat sangat sedih.
“Ibu bilang apa?” Tanya Alex.
“Ibu bilang Herman kemarin ke rumah Ibu, dan sekarang pergi entah ke mana. Herman membawa sertifikat rumah Ibu dan perhiasan milik Ibu.”
Alex memegang dadanya yang terasa sesak.
“Ibu tanya, sertifikatnya ada di kita apa nggak. Soalnya Herman cerita kalau dia mau bayar hutang sama kita, minjem uang tapi ibu gak kasih.”
“Om Herman udah maling, fitnah orang juga!” Amelia emosi.
Alex bangun dari duduknya. Baru saja dia melangkah 3 kali, tubuhnya ambruk ke lantai.
“Papaaaaa …..” mereka berteriak.