"Angelica, seorang wanita tegar berusia 40 tahun, berani dalam menghadapi kesulitan. Namun, ketika dia secara bertahap kehilangan motivasinya untuk berjuang, pertemuan tak terduga dengan seorang pria tampan mengubah nasibnya sepenuhnya.
Axel yang berusia 25 tahun masih muda tetapi sombong dan berkuasa, cintanya yang penuh gairah dan kebaikannya menghidupkan kembali Angelica.
Bisakah dia menyembuhkan bekas lukanya dan percaya pada cinta lagi?
Kisah dua sejoli yang bersemangat dan berjuang ini akan membuktikan bahwa usia tidak pernah menjadi penghalang dalam mengejar kebahagiaan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angie de Suaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Axel sudah mulai panik. Ia telah mengutus Marisolio untuk menjemput sumber inspirasinya sejak sebelum tengah hari, dan kini jam sudah menunjukkan pukul delapan malam—masih belum ada tanda-tanda kehadiran mereka.
Dari Teatro alla Scala, Axel bersama timnya langsung menuju hotel. Dari sana ia terus mencoba menghubungi ponsel Marisolio, namun panggilannya hanya dijawab oleh pesan suara:
📱"Selamat datang di kotak suara Marisolio, yang paling keren dari Emporio! Tinggalkan pesanmu dan aku akan membalasnya ketika tidak sedang menyelamatkan dunia… atau setidaknya, membalas panggilanmu."
—“Bahkan pesan suaranya saja konyol,” gumam Axel frustrasi, berbicara pada dirinya sendiri di kamar.
Ia juga mencoba menelepon Angélica, namun seperti biasa, ponselnya mati.
Putus asa, Axel menuang segelas wiski dan duduk di balkon suite hotel, memandangi indahnya kota Milan di malam hari. Dalam hatinya, rasa gusar bercampur lelah. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menunggu.
Sementara itu, Marisolio akhirnya tiba di Hotel Four Seasons sambil menggandeng Angélica yang terpesona oleh kemewahan hotel. Ia menatap kagum tiap lampu gantung, lukisan, dan furnitur seperti anak kecil di toko mainan.
Berharap tak seorang pun melihatnya bersama Angélica, Marisolio membawa gadis itu ke kamar yang telah ia pesan jauh-jauh hari—dan memastikan kamar itu berada di lantai yang berbeda dari tim Axel.
Setibanya di kamar 317, si petugas hotel meletakkan tas belanja Marisolio dan menerima tip, lalu meninggalkan mereka.
—“Selamat datang, Si Mata Cantik. Mandi dan bersiaplah dengan pakaian yang kubelikan tadi,” ujar Marisolio, lalu memberikan instruksi untuk meneleponnya setelah selesai bersiap.
Angélica mengeluarkan ponselnya, namun kehabisan baterai dan tak membawa charger. Melihat ponsel tuanya, Marisolio hampir pingsan.
—“Astaga, benda apa itu? Sudah rusak, baterainya ditahan pakai karet rambut pula!”
Mereka tertawa bersama. Angélica akhirnya membuang ponselnya ke tempat sampah dan mencatat nomor kamar Marisolio untuk bisa menghubunginya lewat telepon hotel.
Setelah mandi dan memanjakan diri, Angélica memakai jubah sutra dan menelepon Marisolio.
—“Sudah siap, bersih dan wangi,” ujarnya ringan.
Marisolio pun langsung menghubungi Axel dan hanya mengatakan satu hal:
**“Kamar 317.”**
Tak menunggu lama, Axel segera menuju kamar tersebut. Ia merasa gugup, namun rasa itu lenyap begitu melihat Angélica menunggunya di balik pintu yang setengah terbuka.
—“Halo,” sapa Angélica lembut dengan senyuman menggoda.
Axel menutup pintu dan menempelkan tanda "Jangan Diganggu". Ia menghampirinya dalam dua langkah lebar, lalu duduk di sampingnya.
—“Aku merindukanmu,” bisiknya seraya memeluknya lembut.
Angélica membalas kehangatan itu. Keakraban dan kerinduan mereka terlukis dalam bisikan dan sentuhan. Tak perlu kata-kata, hanya momen diam yang menyatukan dua hati yang telah lama saling mencari.
Malam itu menjadi malam yang dipenuhi rasa, kehangatan, dan pengakuan—bukan sekadar hasrat, tapi tentang seseorang yang kembali menemukan inspirasi dan rumahnya dalam diri seorang wanita yang begitu sederhana namun memesona.
---