Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Alvaro dan Arumi sedang berada di kamarnya, malam ini mereka akan tidur berdua karena kedua bocah menggemaskan itu sudah tidur di kamarnya masing-masing.
"Kamu masih mencintai mbak Clara?" tanya Arumi memberanikan diri.
Alvaro menghela nafas, menoleh melihat ke arah istrinya, "Maaf, sampai saat ini aku belum bisa melupakan mendiang istriku, tapi aku janji akan berusaha membuka hati untukmu" ucapnya
Arumi merasa hatinya teriris saat mendengar pengakuan Alvaro. Malam yang seharusnya penuh kehangatan, kini terasa hampa dan dingin. Dia menatap Alvaro yang duduk di tepi ranjang, punggungnya yang tegap terlihat sedikit membungkuk, seolah memikul beban berat di hatinya.
Alvaro memejamkan mata, kedua tangannya menggenggam erat. Arumi bisa melihat bagaimana Alvaro berjuang dengan perasaannya, mencoba untuk setia pada kenangan akan mendiang istrinya sekaligus berusaha membuka hati untuknya.
Arumi mendekati suaminya, dan duduk di sampingnya. Dengan dengan lembut meletakkan tangannya di atas tangan Alvaro yang tergenggam.
"Aku mengerti, mas" bisik Arumi perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. "Aku di sini untukmu, tak peduli berapa lama kamu membutuhkan waktu."
Alvaro membuka matanya, memandang Arumi dengan pandangan yang penuh rasa terima kasih. Dia mencoba tersenyum, meski senyumnya lebih terasa pahit.
"Terima kasih, Rum. Aku sungguh beruntung memilikimu," ujarnya dengan suara yang serak.
Mereka berdua duduk dalam diam, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara hening malam. Meski hati Arumi diliputi kekecewaan, dia tetap setia di sisi Alvaro, berharap suatu hari nanti cinta yang tulus ini bisa menyembuhkan luka di hati suaminya.
"Bagaimana hubungan mu dengan mantan suami mu?" tanya Alvaro ingin tahu.
Arumi menatap kosong ke arah sudut kamar, sesekali matanya berkilat menahan kesedihan yang mendalam. Alvaro yang duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan bibir istrinya saat dia mengungkapkan hubungan purna dengan mantan suaminya.
"Kami sudah asing semenjak perceraian itu, tidak pernah sekalipun kita berkomunikasi, atau hanya sekedar bertanya kabar," ucap Arumi dengan suara bergetar, seakan setiap kata membawa bobot kenangan yang berat.
Tangan Alvaro terulur, mencoba memberikan kehangatan melalui sentuhan di tangan Arumi. "Mungkin dia juga sudah menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya," sambung Arumi, suaranya semakin lirih, seolah-olah udara di sekitarnya berubah menjadi lebih dingin dengan pengakuan tersebut.
Alvaro menggenggam tangan Arumi, mencari celah untuk memberikan kenyamanan. "Apa kamu masih mencintainya?" tanya Alvaro dengan hati-hati, matanya menelusuri setiap detail wajah Arumi yang kini tampak semakin murung.
Arumi menghela napas panjang, matanya yang semula terpaku kini menatap dalam wajah suaminya. "Aku sudah tidak mencintainya lagi, rasa sakit yang dia torehkan jauh lebih besar daripada rasa cinta yang aku miliki," jawabnya, suara berat penuh kekecewaan. Ada getaran nyata di kata-katanya, seolah setiap silabel adalah paku yang menancap di hatinya, mengingatkannya pada luka yang pernah ada.
"Baguslah jika begitu, tidak ada gunanya juga kamu terus mencintai pria brengs*k itu" ucap Alvaro.
"Ayo tidur, sudah malam" ajak Alvaro seraya merebahkan tubuhnya di atas ranjang, di susul Arumi di sampingnya.
Tidak butuh waktu lama keduanya langsung memejamkan matanya, rasa lelah yang mereka rasakan memudahkan keduanya untuk terlelap.
Tengah malam, suasana hening hanya terdengar suara nafas Arumi dan Alvaro yang teratur. Namun, keheningan itu tiba-tiba terputus oleh desahan kecil dari Arumi.
Alvaro, yang awalnya terlelap, terbangun mendengar suara itu. Dia melirik ke arah istrinya yang tampaknya sedang bermimpi buruk. Arumi menggeliat dalam tidurnya, wajahnya meringis seakan-akan sedang menahan sakit atau ketakutan. Dalam tidur yang tidak nyenyak itu, air mata mulai mengalir perlahan dari sudut matanya.
Alvaro, yang merasa khawatir, segera mengulurkan tangan untuk menenangkan Arumi, mengusap lembut punggungnya.
"Aku di sini, tenanglah," bisik Alvaro lembut.
Arumi perlahan membuka matanya, tatapannya menerawang tidak menentu, masih terjebak dalam jejak mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Raut wajahnya yang semula tegang, perlahan memudar ketika sadar Reynald ada di sampingnya. "Maaf, aku mimpi buruk," gumamnya lirih, suaranya bergetar.
"Tidak apa-apa, aku di sini," balas Alvaro, memberikan kepastian. Dia terus menggenggam tangan istrinya, memberikan kehangatan yang dibutuhkan. Dalam keheningan malam itu, keduanya kembali mencoba untuk pejamkan mata, namun kali ini, Alvaro tidak melepaskan genggaman tangan Arumi, sebagai jaminan akan kehadirannya, sebagai pelindung dalam ketidakpastian malam.
*****
Mata Shaka tertuju pada jam dinding yang menunjukkan waktu mendekati pukul enam pagi. Dengan seragam sekolahnya yang rapi dan tas yang sudah tergantung di bahu, dia siap untuk meninggalkan rumah. Langkahnya terhenti saat adiknya, Bella, yang masih mengenakan piyama bergambar unicorn sambil berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah memelas.
"Kak Chaka mau belangkat cekolah ya?" tanya Bella dengan lisannya yang khas. Matanya yang besar memandang Shaka dengan harapan.
"Iya," jawab Shaka, suaranya singkat namun lembut. Dia tahu betapa Bella tidak suka ditinggal sendirian.
"Nda ucah belangkat cih, temani Bella main. Males kali Bella main cama Naka" bujuk Bella sambil tangannya menarik ujung baju Shaka, seolah menahan kakaknya untuk tidak pergi.
Shaka menghela napas, hatinya terasa berat.
"Tidak bisa Bella, kakak harus berangkat. Nanti setelah pulang sekolah baru kakak temani Bella main," ucapnya, mencoba menenangkan adiknya dengan janji.
Bella mengerucutkan bibirnya, tampak kecewa namun akhirnya mengangguk perlahan. "Oke deh," katanya lirih, langkahnya gontai kembali ke arah kamarnya.
Shaka memperhatikan adiknya berjalan pergi, rasa bersalah menggelayuti hatinya. Dia berharap hari sekolahnya berjalan cepat agar bisa kembali dan memenuhi janji pada Bella.
"Kamu sudah mau berangkat?" tanya Arumi yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Sudah tante, dimana om Al?" tanya Shaka.
"Om Al sedang bersiap-siap, kamu tunggu d ruang makan saja dulu, tante sudah memasak makanan kesukaan mu" kata Arumi.
"Baiklah" ucap Shaka yang masih merasa canggung dengan Arumi.
"Sini tante rapihkan dulu dasimu" ucap Arumi, sambil merapihkan dasi Shaka yang masih terlihat berantakan.
"Sudah" ucap Arumi, sambil menepuk dada Shaka pelan.
"Terima kasih" ucap Shaka dengan mata berkaca-kaca. Semenjak ada Arumi, dia merasa ada yang memperhatikannya.
Arumi tersenyum lembut, mengusap dasi Shaka hingga rapi. "Jangan canggung, kamu sudah seperti anak tante sendiri," ujar Arumi dengan nada menghangat.
Shaka hanya mengangguk kecil, senyumnya masih kaku. Dia memang belum terbiasa dengan kelembutan Arumi yang mendadak hadir dalam hidupnya sejak ayahnya memutuskan untuk menikahi wanita itu.
Mereka berjalan bersama menuju ruang makan. Natasha mengambil inisiatif untuk memecah kebekuan, "Akhir pekan ini, om Al berencana mengajak kita berkemah, kamu pasti akan menyukainya."
Shaka hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang berkecamuk dalam dada.
Arumi menarik kursi untuk Shaka, sebelum duduk berhadapan dengan anak tirinya itu. "Cobalah sup ayam ini, aku buat khusus untukmu," pinta Arumi sambil menyendokkan sup ke dalam mangkuk Shaka.
Aroma hangat sup ayam memenuhi ruangan, memberikan sedikit kenyamanan bagi Shaka. Dia menyeruput sup itu perlahan, rasa hangatnya perlahan mencairkan kebekuan di hatinya.
Arumi memperhatikan dengan senyum penuh harap, mencoba menjalin ikatan dengan anak tirinya itu. "Enak?" tanya Arumi lembut. Shaka mengangguk, memberikan senyum tipis.
"Enak, terima kasih tante," ucapnya, mulai merasa sedikit lebih nyaman.
Arumi membalas dengan senyum lebih lebar, lega karena setidaknya, mereka telah melakukan satu langkah maju.
Tak lama Alvaro datang bersama dengan kedua anaknya yang berada di gendongannya. Setibanya di ruang makan, dia menurunkan Bella dan Naka dari gendongannya, lalu mendudukkannya di samping Shaka.
"Mama, Bella mau cekolah boleh nda?" tanya Bella yang merasa bosan di rumah.
"Bella masih kecil sayang, sekolahnya tahun depan saja kalau Bella sudah umur empat tahun" ucap Arumi.
"Lama kali, Bella bocan di lumah telus. Bella mau puna teman juga mama" rengeknya.
Membuat Arumi menghela nafas pelan.
"Baiklah, nanti papa carikan sekolah yang bagus untuk mu dan Naka" ucap Alvaro yang tidak tega melihat anaknya merengek.
Arumi menoleh memandang suaminya.
"Tidak apa, kita masukkan saja mereka ke paud dulu" ucap Alvaro yang mengerti tatapan istrinya.
seharusnya ganti tanya Arumi
bagaimana servisku jg lbh enakan mana sm clara wkwkwk
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al