Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 21 — Rahasia di Antara Kita
Pesawat dari Boston mendarat di New York tepat pukul sembilan malam.
Lampu-lampu kota berkilau di bawah langit yang basah oleh gerimis.
Emma dan Ryan berjalan berdampingan melewati terminal kedatangan, masing-masing memegang koper kecil dan… senyum yang terlalu sering mereka sembunyikan sejak semalam.
“Jadi…” Ryan menatap Emma dengan nada ringan, “senyummu masih berlaku sampai New York?”
Emma mengangkat alis. “Maksudmu?”
“Ya, waktu di hotel kamu bilang sudah senyum sekarang. Tapi itu di Boston. Ini New York. Hukum geografis bisa membatalkan kontrak romantis.”
Emma nyaris tertawa tapi menahan diri, mengayunkan koper ke arah Ryan. “Kamu tuh… suka banget ngacauin momen manis, ya?”
Ryan menatapnya nakal. “Justru itu seni-nya, Miss Office Perfect.”
---
Di parkiran bandara, Ryan menawarkan diri mengantar Emma pulang.
“Naik Uber aja,” tolak Emma. “Nanti kalau Liam tahu kamu yang nganter…”
Ryan menatapnya serius. “Liam bukan pemilik hidupmu, Em.”
“Tapi dia bosku.”
Ryan mendesah. “Dan dia juga orang yang—”
Kalimat itu menggantung. Keduanya tahu ujungnya ke mana.
Emma menarik napas. “Justru karena itu aku nggak mau bikin masalah di kantor. Kita bisa… pelan-pelan.”
Ryan menatapnya dalam diam, lalu tersenyum kecil. “Baiklah. Pelan-pelan.”
Tapi saat Emma masuk ke mobilnya, Ryan mencondongkan diri sedikit.
“Boleh aku tahu satu hal?”
“Apa?”
“Kalau aku pelan, kamu bakal nunggu?”
Emma menatapnya sebentar, lalu tersenyum lembut. “Kalau kamu beneran datang kali ini, aku nggak akan ke mana-mana.”
Mobil melaju, meninggalkan Ryan di bawah lampu parkiran yang redup. Tapi senyum di wajahnya tidak redup sama sekali.
---
Keesokan paginya, Vibe Media kembali ramai.
Emma masuk kantor dengan secangkir kopi dan hati yang agak terlalu ringan untuk ukuran Senin pagi.
Samantha langsung menghampiri dengan ekspresi menggoda.
“Wah, wajah bersinar banget nih. Lembur di Boston ternyata bikin bahagia, ya?”
Emma menatapnya pura-pura bingung. “Aku kerja, Sam.”
“Oh, aku yakin kamu kerja,” jawab Samantha, senyum menggoda tak hilang. “Tapi di antara kerjaan, siapa tahu ada… istirahat manis?”
“Sam!” seru Emma, menahan tawa.
“Ya ampun, aku cuma bercanda. Tapi jujur, Em — kamu beda. Senyum kamu tuh, gimana ya…”
Samantha pura-pura berpikir. “Kayak orang yang baru dapat kabar baik.”
Emma pura-pura sibuk membuka laptop. “Aku dapat kabar bagus: proyek Boston sukses.”
“Hmm,” gumam Samantha penuh arti. “Proyek Boston atau… cowok Boston?”
Emma menatapnya tajam. “Sam!”
Samantha tertawa terbahak. “Oke, oke, aku diam. Tapi hati-hati, Em. Mata-mata kantor tuh tajam, lho.”
---
Siang harinya, saat makan siang di pantry, Emma sedang membuka saladnya ketika ponselnya bergetar.
Ryan: “Kangen.”
Emma menahan senyum. Lalu mengetik cepat:
Emma: “Kita satu gedung, Ryan.”
Ryan: “Tahu. Tapi beda lantai itu jarak emosional.”
Emma: “Kau serius kerja, nggak sih?”
Ryan: “Serius banget. Cuma motivasiku lagi duduk di pantry lantai 10.”
Emma menutup ponselnya, menahan senyum yang terlalu sulit disembunyikan.
Dan tentu saja, pada saat itulah Liam lewat.
“Emma,” panggilnya datar.
Emma langsung tegak. “Ya, Pak?”
Liam menatap layar laptopnya di tangannya. “Aku butuh revisi final laporan Boston sore ini. Dan… bagus kerja samanya.”
“Terima kasih, Pak.”
Tapi sebelum pergi, Liam menambahkan, “Oh ya. Pastikan Ryan tidak terlalu sering keluar jalur. Aku tahu gaya kerjanya agak… bebas.”
Nada di kata “bebas” terdengar seperti peringatan terselubung.
Emma menunduk sopan. “Baik, Pak.”
Begitu Liam berlalu, Emma menghela napas panjang.
“Ya Tuhan, bahkan aku belum sempat salah langkah, udah dituduh duluan,” gumamnya.
---
Sore hari, Emma pergi ke ruang kerja Ryan untuk menyerahkan dokumen.
Ryan sedang berdiri di dekat jendela, menatap kota New York di bawah langit senja.
“Laporan revisi,” kata Emma.
Ryan berbalik, tersenyum. “Kamu datang sendiri?”
“Kalau aku nyuruh Samantha, nanti dia kirim drone.”
Ryan tertawa kecil. “Aku suka kalau kamu sarkas.”
Emma mendesah. “Ryan, jangan bikin aku tertawa di sini. Nanti ada yang lihat.”
“Jadi, kita sekarang main sembunyi-sembunyi?”
Nada Ryan pelan tapi dalam.
Emma menatapnya. “Untuk sekarang, iya. Demi pekerjaan.”
Ryan mendekat satu langkah. “Dan kalau aku bilang aku nggak tahan pura-pura nggak kenal kamu di kantor?”
Emma berbisik, “Maka kamu harus lebih pandai menahan diri.”
Ryan menatapnya lama, menelan kata-kata yang seolah ingin keluar.
“Baik,” katanya akhirnya. “Aku akan tahan. Tapi cuma kalau nanti malam kamu kasih izin aku nelepon.”
Emma nyaris tertawa. “Ryan…”
“Janji?”
Emma mengangkat alis. “Lihat nanti.”
Ryan menatapnya dengan senyum menggoda. “Aku anggap itu janji yang setengah sah.”
---
Malamnya, Emma duduk di apartemennya, laptop terbuka, tapi pikirannya melayang.
Ponselnya bergetar.
Ryan: “Aku di bawah.”
Emma terkejut. Ia melangkah ke jendela — dan benar saja, di trotoar depan apartemennya, Ryan berdiri dengan dua gelas kopi dan senyum bodohnya yang khas.
Ia mengetik cepat:
Emma: “Kamu gila? Ini jam sepuluh malam!”
Ryan: “Gila, tapi tepat waktu.”
Emma: “Ryan…”
Ryan: “Cuma mau kasih kopi. Nggak lebih. Aku janji.”
Beberapa menit kemudian, Emma keluar dengan jaket tipis dan wajah campuran antara marah dan geli.
“Kau tahu ini nekat banget?” katanya.
Ryan menyerahkan kopi. “Aku tahu. Tapi kalau aku nggak nekat, kamu nggak akan keluar.”
Emma menatapnya. “Dan kalau aku nggak keluar?”
Ryan tersenyum. “Aku tetap berdiri di sini sampai kamu muncul.”
Emma mendesah, lalu menyesap kopi itu. Hangat.
“Rasanya lumayan,” katanya pelan.
“Karena niatnya tulus,” jawab Ryan.
Keduanya berdiri diam beberapa detik.
Lalu Emma menatapnya sambil tertawa kecil. “Kamu sadar nggak, kita seperti remaja yang main cinta diam-diam?”
Ryan menatapnya lembut. “Mungkin karena yang kita rasain masih sejujur itu.”
---
Tiba-tiba ponsel Emma bergetar lagi — dari nomor kantor.
Liam Dawson.
Wajah Emma seketika berubah.
Ryan memperhatikan. “Siapa?”
Emma menjawab lirih, “Bos.”
Ryan mengangguk pelan. “Jawab.”
Emma mengangkat telepon.
“Ya, Pak?”
Suara Liam terdengar datar tapi menekan.
“Emma, besok pagi jam delapan datang ke ruanganku. Kita perlu bicara tentang laporan Boston.”
“Baik, Pak.”
Sambungan terputus.
Emma menatap Ryan, matanya cemas.
Ryan tahu tatapan itu.
“Dia curiga?” tanyanya pelan.
Emma menelan ludah. “Entahlah. Tapi aku punya firasat… mulai sekarang, permainan ini nggak akan mudah lagi.”
Ryan menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau permainan ini untukmu, aku siap kalah kapan aja.”
Emma menggeleng, tersenyum getir. “Aku nggak mau kamu kalah, Ryan. Aku cuma mau kita bertahan.”
Mereka berdiri diam di bawah lampu jalan, dua sosok yang tahu bahwa cinta mereka baru saja berubah dari rahasia manis menjadi bahaya yang nyata.
Dan di lantai atas apartemen seberang jalan, di balik kaca gelap mobil hitam, Liam menatap mereka — dengan rahang yang mengeras.