Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Hingga sore hari, juragan masih terlelap di ranjang. Ia meraba ruang kosong di sampingnya, tempat Wulan berbaring. Hampa, tak ada siapapun di sana. Juragan membuka mata sempurna, bangkit dari tidur sembari menyibak selimut yang entah siapa yang memasangkannya.
"Wulan!" Juragan beranjak turun, bergegas memakai sandalnya dan berlari keluar.
"Wulan! Wulan!" Ia berteriak begitu lantang hingga suaranya memenuhi seisi bangunan tersebut.
"Juragan!" Panji muncul di hadapannya, menyadarkan juragan dari kegilaan karena sosok Wulan yang tak ia temukan.
"Panji! Kamu lihat Wulan? Dia tidak ada di kamar," tanya juragan padanya.
"Nyai di halaman belakang, Juragan," jawab Panji menunjuk bagian belakang villa yang berbatasan dengan hutan bambu.
Juragan Nata lekas pergi ke halaman belakang, satu yang dia takutkan adalah Wulan pergi meninggalkannya. Laju larinya terhenti saat melihat sosok yang ia cari berdiri di dekat hutan bambu.
Entah apa yang sedang dilihat Wulan di sana, ia tidak terusik sama sekali. Bergerak pun tidak, hanya rambutnya saja yang digerai berkibar tertiup angin sore. Juragan berjalan cepat dengan perasaan yang tak terkendali. Memeluk tubuh itu dari belakang, rasa takut dan gelisah pun raib begitu saja.
"Wulan! Kenapa kamu pergi dari kamar?" tanya juragan dengan perasaan yang membuncah.
Wulan terentak, tercenung dalam diam.
Tidak! Untuk saat ini saya tidak bisa bersentuhan dengan Juragan dulu. Tubuh ini masih lemah tidak bisa melawan sesuatu di dalam tubuh juragan.
Wulan melepaskan lingkaran tangan juragan, kemudian berbalik dan tersenyum. Ada rasa tak enak hati melihat riak sendu di wajah sang juragan.
"Saya tidak bisa bersentuhan dengan Juragan," katanya terus terang.
Juragan diam seribu bahasa. "Baiklah. Saya mengerti," ucap Juragan kemudian tersenyum manis.
"Kenapa berdiri di sini? Ada sesuatu yang menarik?" tanya juragan menatap hutan bambu yang rindang.
Wulan berpaling kembali pada dahan-dahan bambu yang menjuntai menyentuh tanah.
"Seingat saya di dekat bangunan ini ada telaga biru, tapi kenapa tidak ada?" ujar Wulan dengan kebingungan.
Dari puncak gunung Munding dia bisa melihat dengan jelas jika bangunan itu berdekatan dengan telaga biru yang indah.
"Wulan tahu tempat ini?" Juragan balik bertanya seraya mendekat dan berdiri di sisi Wulan.
Wulan menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak. Hanya saja dari puncak gunung sana saya bisa melihat dengan jelas bangunan ini juga telaga birunya. Apa memang tidak ada telaga biru di sini?"
Wulan berbalik menghadap Juragan, menatap bingung pada laki-laki itu.
"Wulan benar. Di sekitar sini memang ada telaga biru, tapi itu juga di balik hutan bambu ini. Kurang lebih dua jam kita harus berjalan melewati hutan bambu ini barulah akan tiba di telaga biru," jawab juragan membuat Wulan tertegun.
Ternyata sejauh itu.
"Kenapa Wulan melihatnya seperti berdekatan? Karena jarak gunung Munding dan bukit ini juga sangat jauh. Itulah mengapa dari puncak sana terlihat berdekatan," lanjut juragan menjelaskan.
Wulan manggut-manggut mengerti, kemudian menghela napas panjang.
"Kenapa? Wulan ingin pergi ke sana?" tanya juragan setelah mengamati wajah Wulan.
"Salah satu keinginan Wulan saat turun gunung adalah mengunjungi tempat ini juga telaga biru. Makanya saat tiba di sini saya tidak bisa menahan perasaan. Bahagia sekali," katanya dengan senyum lebar mengembang. Lesung di pipinya semakin jelas terlihat dan Juragan terpesona olehnya.
"Saya akan mengajak Wulan ke sana, tapi tidak sekarang. Setiap satu tahun sekali saya akan pergi ke sana," ucap Juragan.
"Benarkah?" Wulan nyaris melompat.
"Iya." Juragan menjawab pasti.
"Apa yang Juragan lakukan di sana?" Bertanya antusias.
"Ibu saya dikubur di sana, hanya nyekar ke makam ibu saja." Juragan tersenyum saat melihat reaksi Wulan yang terdiam.
"Benarkah?"
Juragan menganggukkan kepala.
"Kapan?" Wulan bertanya lagi.
"Bulan suro nanti," jawab juragan.
Mereka terdiam, membiarkan hening menguasai.
"Sebenarnya ada yang salah dengan tubuh Juragan?"
Deg!
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa