JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. KERASUKAN
Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggir perkampungan. Hujan baru saja reda, menyisakan sisa air yang menetes dari atap-atap seng tetangga. Lampu jalan di dekat rumah itu padam, hanya menyisakan cahaya redup dari lampu teras rumah Sadewa yang berkelip-kelip seperti hendak mati.
Sadewa langsung membuka pintu mobil tanpa menunggu, berlari ke arah pintu depan.
"Ibu!" teriak Sadewa parau.
Arsel dan Tama buru-buru menyusul, khawatir sesuatu terjadi.
Namun begitu sampai di depan rumah, langkah Sadewa melambat. Tangannya sudah terulur ke gagang pintu, tapi hatinya mendadak ciut. Dari dalam rumah, seharusnya ada suara, suara televisi, suara ibunya berdehem, atau setidaknya suara ayam yang biasa dibiarkan di dapur belakang. Tapi malam ini ... hening.
Terlalu hening.
Sadewa menelan ludah, lalu memutar gagang pintu. Pintu terbuka dengan bunyi berderit panjang yang mengiris telinga.
"Astaga," Arsel menahan napas.
Ruang tamu tampak kacau. Kursi-kursi terguling, meja kayu kecil pecah di sudut, dan ada noda cairan gelap di lantai yang entah darah atau apa. Aroma anyir menusuk, bercampur bau dupa yang setengah hangus.
Sadewa terdiam di ambang pintu, tubuhnya gemetar hebat. "Ibu?" suaranya serak, hampir tak keluar.
Tama melangkah masuk lebih dulu, matanya tajam mengamati setiap sudut ruangan. "Hati-hati. Ada sesuatu yang salah di sini," katanya.
Arsel menyusul, menarik Sadewa masuk agar tidak berdiri terlalu lama di depan pintu.
Di dinding ruang tamu, tergantung foto keluarga Sadewa yang kini miring, kacanya retak seakan ada yang menghantamnya keras. Tirai jendela terburai, basah oleh hujan yang entah bagaimana bisa menembus celah kaca.
Tiba-tiba terdengar bunyi duk ... duk ... duk dari arah dapur, seperti benda berat jatuh berulang kali. Sadewa tersentak, menoleh ke arah suara itu.
"Ibu! Itu suara dari dapur!" Tanpa pikir panjang, ia berlari ke sana.
"Sadewa! Tunggu!" Arsel mencoba menahan, tapi sudah terlambat.
Sadewa menerobos lorong sempit menuju dapur, dan di sanalah ia membeku di tempat.
Lantai dapur penuh bercak hitam pekat. Dindingnya berlumuran noda seperti arang terbakar. Dan di tengah ruangan, ibunya terbaring kaku. Tubuhnya setengah menekuk, matanya terbuka lebar menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Mulutnya masih berbusakan putih, tangannya mencengkeram kain sarung yang dikenakannya seakan berusaha melawan sesuatu yang tak terlihat.
"Ibuuu?!" teriak Sadewa, suaranya pecah menghantam seisi rumah.
Dewa langsung berlutut, mengguncang tubuh ibunya. "Ibu! Bangun, Bu! Ibu kenapa?" Air matanya jatuh deras membasahi pipi ibunya.
Namun saat itu pula, tubuh sang ibu tiba-tiba kejang sekali lagi. Tubuhnya melenting, dan dari mulutnya keluar suara aneh, bukan suara manusia, melainkan geraman dalam yang bergema seakan berasal dari perut bumi.
Arsel segera menarik Sadewa menjauh. "Dewa! Jangan dekat-dekat!"
Sadewa meronta, "Lepaskan aku! Itu ibuku! Dia butuh aku!"
Tama melangkah maju, mengangkat tangannya, lalu membaca doa lirih yang diajarkan Eyang. Udara di dapur bergetar, lampu gantung berayun-ayun tanpa sebab. Tubuh ibu Sadewa bergetar, lalu menegang, seolah ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalam dirinya.
Dari balik bibir yang berbusa, suara itu berbicara, suara berat bercampur tawa dingin.
"Sadewa ... akhirnya kau pulang ... kau tak bisa lari lagi ...."
Sadewa membeku, wajahnya pucat pasi. Itu bukan suara ibunya. Itu suara yang selama ini menghantui mimpinya.
Tama dan Arsel berdiri di depan Sadewa, melindunginya. Aroma anyir semakin pekat, dan angin dingin menyeruak dari sudut dapur, membuat tirai bergetar meski semua jendela tertutup rapat.
Lalu tiba-tiba, mata ibu Sadewa berputar, putih semua, sebelum tubuhnya terhempas keras ke lantai. Sunyi.
Hanya suara tangisan Sadewa yang tersisa, menggema dalam rumah yang kini terasa bukan lagi rumah, melainkan gerbang menuju kegelapan.
"Ibu?!!" teriak Sadewa.
Jeritan Sadewa belum sempat reda ketika suara dentuman keras terdengar dari ruang tengah. 'Braaakk!' seakan ada lemari besar yang roboh menghantam lantai.
Arsel dan Tama saling berpandangan, keduanya refleks menegangkan tubuh.
"Suara itu dari ruang tengah!" seru Arsel cepat.
Tama mengangguk singkat. "Sadewa, ikut di belakang kami. Jangan mendahului!"
Namun Sadewa, yang matanya sudah basah oleh air mata, hanya bisa mengangguk tanpa suara. Ia merasa kakinya gemetar, seakan tak lagi sanggup menopang tubuh. Tapi hatinya tergerak, ada sesuatu yang lebih buruk menanti di ruang tengah.
Mereka bertiga berjalan cepat menyusuri lorong yang kini penuh noda hitam dan pecahan kaca. Bau anyir bercampur hangus kian kuat menusuk hidung, membuat napas terasa berat.
Begitu tiba di ruang tengah, pandangan Sadewa langsung membeku.
Di lantai, Naras, kakaknya tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan ada bekas goresan merah memanjang di lengannya, seolah dicakar sesuatu yang tak kasat mata. Tak jauh darinya, Mbok Sukma, perempuan tua yang sejak kecil merawat keluarga mereka, juga terbaring dengan posisi miring, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar seperti baru saja dicekik oleh tangan tak terlihat.
"Bang Naras! Mbok Sukma!" Sadewa berteriak panik, ingin berlari menghampiri, tapi Arsel menahan dadanya.
"Jangan gegabah! Perhatikan dulu sekeliling!" Suara Arsel tegas, tapi nadanya pun mengandung ketakutan.
Mereka semua menoleh, dan saat itulah terdengar suara isakan pelan dari pojok ruangan. Suara yang lirih, namun penuh kepedihan.
Sadewa menoleh cepat. "Mbak Dian?"
Di sudut ruang, di balik lemari yang setengah roboh, terlihat adiknya yang paling kecil, Dian. Gadis itu meringkuk, tubuhnya penuh luka gores di wajah dan lengan, darah menetes dari pelipisnya. Kedua matanya membelalak penuh teror, tangannya gemetar menutupi telinga.
"Mbak?!” Sadewa langsung menerjang, berlutut di samping kakak perempuannya. "Astaga, apa yang terjadi padamu?"
Dian menatap adiknya dengan wajah penuh ketakutan. "Dewa tolong ... hentikan Ibu. Dia ... dia bukan Ibu lagi ... dia menyakiti semua orang."
Suara Dian pecah, lalu tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Sadewa erat-erat, seakan hanya itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari kegelapan.
Namun sebelum Sadewa sempat menjawab, terdengar lagi suara berat, bergetar, dan penuh kebencian dari arah dapur. Suara yang keluar dari mulut ibunya.
"Sadewa ... kau pulang membawa mereka ... hahahaha ... sekarang aku akan mengambil hakku. Datanglah padaku, Sadewa."
Suara itu bergema di seluruh ruangan, membuat kaca jendela bergetar.
Tiba-tiba, lampu ruang tengah berkelip-kelip, lalu padam total. Gelap gulita menelan mereka. Hanya tersisa cahaya kilat sesekali dari luar yang menyingkap bayangan hitam menjulang di ambang pintu dapur.
Dian menjerit, "Dewa! Itu Ibu! Jangan biarkan dia masuk!"
Sadewa merasakan tubuhnya kaku. Ia ingin berdiri, tapi lututnya lemas. Arsel segera bergerak, tubuhnya siap menghadang, sementara Tama merapal doa dengan suara keras, berharap dapat menahan kekuatan yang datang.
Namun bayangan itu terus melangkah maju. Setiap langkahnya disertai bunyi lantai berderit, dan udara ruangan menjadi semakin dingin, menusuk tulang.
"Bu, hentikan! Tolong hentikan! Aku ini Dian, Bu! Jangan sakiti kami lagi!" suara kecil Dian memecah kegelapan. Ia menangis tersedu, darah masih mengalir di pelipisnya, tapi matanya penuh harap meski bercampur teror.
Namun yang datang bukan jawaban lembut seorang ibu. Yang datang adalah tawa panjang yang memekakkan telinga, tawa yang sama sekali bukan berasal dari dunia ini.
"Hahaha ... kalian semua akan menjadi milikku ...."
Tiba-tiba, pintu ruang tengah terbanting menutup sendiri dengan keras, membuat Naras dan Mbok Sukma yang masih pingsan terguncang di lantai. Udara semakin pekat, suara jeritan Dian semakin parau, dan Sadewa merasa dunianya runtuh.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyadari: rumah yang selama ini menjadi tempat teraman baginya malam ini telah berubah menjadi sarang teror.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???