Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saatnya beraksi
Malam terasa lembab. Dari kamar lantai dua, Jagat bisa mencium bau tanah basah yang terbawa angin lewat jendela. Suara jangkrik bersahut-sahutan, kadang dipecah oleh suara motor lewat di jalan depan rumah. Lampu jalan redup, sesekali berkedip seakan enggan bekerja.
Jagat duduk di kursi, punggung bersandar, mata menatap hologram biru pucat yang melayang di atas meja. Nova muncul dengan wajah dingin, Celine di sebelahnya tampak lebih serius.
“Menurut dataku yang aku dapat, Prediksi probabilitas musuh akan bergerak besok … 89%,” suara Nova tenang tapi menusuk.
Jagat mengusap wajahnya kasar. “Sial…” gumamnya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi karena bayangan ibunya dan Nadia.
Celine menyusul, nada bicaranya tajam: “Kamu harus siap. Mereka tidak akan berhenti. Target bukan hanya kamu, tapi keluargamu juga.”
Jagat berdiri, berjalan mondar-mandir. Lantai kayu berderit. “Aku mahasiswa, Celine. Aku bahkan belum siap ujian mata kuliah minggu depan. Dan sekarang aku harus siap perang?”
Nova menatapnya datar. “Kamu tidak bisa memilih. Mereka sudah memilih untukmu.”
Jagat mendesah panjang, lalu meraih segelas air. Air terasa hambar, menuruni tenggorokannya seperti beban.
Sementara itu, di ruang depan, suasana berbeda. Nadia duduk santai di sofa, memainkan ponselnya. Ayunda—yang masih berseragam kasual tapi aura militernya tidak bisa ditutupi—bersandar dengan tangan terlipat. Meiyun duduk di kursi sebelah, wajahnya tenang tapi mata menyimpan sesuatu.
“Jadi, Ayunda,” suara Meiyun lembut. “Boleh kamu tunjukkan aku kos-kosan di sekitar sini? Aku butuh tempat tinggal dekat kampus. Kalau bisa… dekat juga dengan rumah Jagat.” Senyumnya samar, matanya melirik ke arah dapur, seolah membayangkan sarapan bareng keluarga Baskara.
Ayunda langsung mendengus. “Tidak perlu dekat-dekat. Kampus banyak kos. Kamu bisa cari di sekitar ring selatan. Aman, jauh dari keramaian.”
Meiyun tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Tapi… aku merasa lebih nyaman dekat sini. Ada yang menenangkan.”
Nadia, tanpa menoleh dari ponselnya, nyeletuk: “Loh, kalau mau deket rumah ada tuh. Gang sebelah ada kontrakan kosong, baru aja yang nyewa ga perpanjang. Atau di rumah Pak Damar, sebelah warung klontong. Kos murah, aman, deket lagi.” Ia terkikik. “Bahkan bisa nitip jengkol tiap hari kalau mau.”
Ayunda menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Nad… jangan asal ngomong.” Suaranya datar, tapi jelas mengandung peringatan.
Meiyun hanya menutup mulut dengan telapak tangan, pura-pura menahan tawa. Matanya, bagai sinar tajam, melirik Ayunda. “Terima kasih, Nadia. Itu info yang sangat membantu.”
Ayunda mendekat, suaranya menurun, hampir berbisik, tapi cukup jelas untuk terdengar: “Aku tahu siapa kamu. Jangan kira aku nggak paham. Jangan coba-coba dekati Jagat lebih dari yang seharusnya.”
Meiyun menegakkan punggung, tersenyum manis seolah tak terusik. “Aku hanya mahasiswa biasa, Ayunda. Jangan terlalu berlebihan.” Namun matanya berbicara lain: penuh tantangan.
Nadia menatap keduanya bergantian. “Astaga, ini kayak sinetron. Dua cewek rebutan abangku. Aku screenshot ah, masukin grup WA.”
“NA-DIA!” Jagat tiba-tiba muncul dari tangga, wajah kusut. “Udah malam sana masuk.” Suaranya keras, tapi jelas bercampur lelah. Ia menatap Ayunda dan Meiyun bergantian. “Udah malam. kalian juga butuh istirahat, pulanglah. Besok masih kuliah, kan?”
Akhirnya Ayunda dan Meiyun pamit. Ayunda beralasan ada tugas laporan, Meiyun bilang ingin melihat rumah kontrakan yang di tunjukkan nadia. Jagat hanya bisa mengantar sampai teras. Udara malam menusuk kulit, bau asap rokok tetangga bercampur bau wangi melati dari kebun kecil ibunya.
“Selamat malam, Jagat,” kata Meiyun dengan senyum tipis. “Kamu juga istirahat, sampai ketemu besok.” Ia berjalan dengan langkah ringan, meninggalkan bayangan samar di jalan.
Ayunda menatap Jagat sekilas, dingin. “Kunci pintu baik-baik. Jangan terlalu percaya pada orang yang baru datang.” Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.
Jagat menghela napas panjang, duduk di teras, menatap langit gelap. Nova muncul dalam hologram kecil dari jam tangannya. “Mereka berdua… bukan orang biasa.”
Jagat mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan itu yang bikin aku makin susah tidur.”
Pagi Hari
Matahari baru naik, cahaya keemasan menembus jendela. Aroma kopi hitam dan gorengan buatan ibu memenuhi rumah. Jagat sudah rapi dengan jaket hitam dan tas punggung. Ia membuka pintu, lalu bengong.
Ayunda dan Meiyun berdiri di halaman, jelas sudah menunggu.
“Pagi, Jagat.” Ayunda tersenyum tipis, nada suaranya seolah itu hal paling biasa di dunia.
“Selamat pagi.” Meiyun menambahkan, suaranya hangat, matanya berbinar. “Aku sudah dapat kontrakan baru dekat sini, jadi kita bisa berangkat bareng.”
Jagat menggaruk kepala. “Kalian… serius? Kalian kayak sengaja lomba bangun pagi buat nunggu aku.”
Nadia dari dalam rumah teriak: “Abang ganteng, hati-hati ya! Jangan bawa pulang dua-duanya, cukup satu aja!” Suaranya nyaring bikin Jagat merinding.
Akhirnya mereka bertiga jalan bareng. Tidak ada motor. Jagat memilih naik taksi, lebih aman. Di dalam taksi, keheningan aneh terjadi. Jagat duduk di tengah, diapit Ayunda dan Meiyun. Sopir taksi melirik lewat spion, senyum-senyum sendiri. “Wah, Mas… beruntung banget ya. Sekali jalan dua bidadari.”
Jagat menutup wajah. “Astaga…” gumamnya pelan.
Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk pagi, sebuah gudang tua di pinggiran kota dipenuhi peta digital dan layar monitor. Bendera kecil menandai titik rumah Jagat, kampus, dan kantor ibunya.
Seorang agen CIA dengan jas hitam menepuk meja. “Target akan dipukul hari ini. Tiga tim: Jagat, ibunya, adiknya. Tangkap hidup-hidup. Gunakan unit Bara Hitam untuk eksekusi.”
Pemimpin Bara Hitam, wajahnya penuh bekas luka, mengangguk. “Kami sudah siap. Puluhan armor sudah standby. Jakarta akan jadi saksi.”
Seorang operator menambahkan: “Tim penghadang akan mengulur waktu pasukan pemerintah. Kita hanya punya 20-30 menit makaimal .”
Suasana rapat hening, hanya suara kipas mesin. Layar menampilkan hitungan mundur: T-10 jam.
Di dalam taksi, Jagat menatap keluar jendela. Matahari tampak indah, tapi dadanya terasa berat. Nova berbisik di dalam pikiran:
“Jagat, aku deteksi pergerakan tidak biasa di pinggiran kota.”
Suasana jalan raya menjelang siang itu hiruk-pikuk. Klakson beradu, teriakan pedagang kaki lima bercampur dengan suara rem kendaraan yang berdecit. Panas matahari menyengat aspal, membuat udara bergelombang samar.
Jagat duduk di kursi belakang taksi, bersama Ayunda dan Meiyun. Sesekali ia melirik ke kaca spion, merasa ada mobil hitam yang sejak tadi mengikuti.
Nova berbisik di telinga batinnya, datar namun jelas:
“Jagat, pola pergerakan tidak wajar. Kendaraan di belakangmu mengikuti sejak dua lampu merah.”
Jagat menggertakkan gigi. Sial… apa mereka mulai bergerak?
Brakkk!
Sebuah truk trailer besar tiba-tiba melintang di tengah jalan. Sopir taksi menginjak rem dalam-dalam. Ban berdecit panjang. Orang-orang berteriak, sebagian pedagang lari terbirit-birit.
“Apa-apaan ini?!” sopir panik.
Jagat langsung menendang pintu. “Cepat keluar!”
Ayunda segera menarik Jagat dan Meiyun keluar dari mobil. “Berlindung!” teriaknya.
Suasana jalan yang tadinya ramai mendadak berubah mencekam. Dari atas trailer, terpal ditarik ke samping. Brakkk—
Deretan kontainer terbuka, menampakkan bayangan baja tinggi menjulang. Robo 1.0 versi hitam dengan cat loreng muncul, senjata otomatis menempel di pundaknya. Matanya menyala merah.
Warga sipil berteriak histeris. Ada yang jatuh, ada yang lari terbirit-birit meninggalkan kios. Anak kecil menangis di pangkuan ibunya. Jalan berubah jadi neraka.
Dua mobil SUV hitam meluncur cepat, rem mendecit keras di depan Jagat. Dari dalam, lima agen bersenjata lengkap keluar, formasi teratur. Logo kecil bergambar angsa di bahu mereka.
Komandan tim mengangkat tangan.
“Target aman di belakang kami! Warga sipil segera menjauh!”
Ayunda ikut menodongkan pistol kecil dari balik jaket. “Jagat, berlindung di belakangku!”
Jagat hanya bisa menggertakkan gigi. Sial, ini sudah terlalu jauh…
Dari pengeras suara Robo 1.0, terdengar suara berat:
“Serahkan pemuda itu. Jangan campur tangan, ini urusan internasional.”
Komandan Angsa Emas maju selangkah. “Kalian sudah melanggar kedaulatan negara. Turunkan senjata dan tunduk, atau kami tembak di tempat.”
Hening beberapa detik.
Lalu—
“Tembak"
Ratatatatatata!
Senapan otomatis menyembur. Peluru beterbangan, menghantam dinding pertokoan. Kaca-kaca pecah. Warga menjerit.
Agen Angsa Emas langsung membalas. Brak-brak-brak! Suara tembakan bercampur jeritan, bau mesiu memenuhi udara.
Jagat, Ayunda, dan Meiyun meringkuk di balik kios yang roboh. Debu berjatuhan dari atap seng.
“Jagat!” Nova bicara cepat.
“Peringatan. Serangan tidak hanya di sini. Rumah keluargamu juga diserang. Tim Induk Angsa terdesak. Probabilitas 87% penculikan berhasil jika kau tidak turun tangan.”
Jagat mendongak, wajahnya pucat. “Apa?! Ibu… Nadia?!”
Celine menimpali, tajam:
“Protokol darurat: panggil Robohero. Hanya itu satu-satunya cara mengimbangi kekuatan mereka.”
Tangannya gemetar. Jika aku transformasi di sini… semua orang akan tahu. Tapi kalau tidak—ibu, Nadia, mereka…
Peluru terus menghantam kios, menimbulkan dentuman berulang. Brak-brak-brak! Seng terbelah, serpihan beterbangan.
Jagat menatap Ayunda dan Meiyun.
Kedua gadis itu sama-sama panik, tubuh mereka gemetar. Meiyun menatapnya dengan mata besar penuh ketakutan. Ayunda menggertakkan gigi, tetap melindungi dengan pistol kecilnya yang jelas tak sebanding dengan robo raksasa.
"kalian bersembunyilah, ayu lindungi mei, aku harus melawan, ibu dan nadia membutuhkanku"
Jagat akhirnya menghela napas panjang.
“Celine, aktifkan protocol”
"Baik tuan, protokol aktip sekarang"
Transformasi Epik
Ia berdiri tegak, menyingkir dari perlindungan. Peluru menghujani. Zzrrt! Brakkk! Dentuman peluru menghantam aspal di sekitarnya.
“Jagat, apa yang kau lakukan?!” Ayunda menjerit.
Jagat menatap langit gelap. Matanya berkilau.
“Celine… kirim Robohero 1.1.”
Lalu ia berlari kencang, menghentak keras. Tubuhnya melompat tinggi ke udara, seolah hendak menembus awan.
“BERGABUNG!!!” teriaknya.
Langit seolah merespons.
Dari awan yang tadinya kelam, cahaya biru keperakan memancar. Wuuuuzzzz! Seperti bintang jatuh, kapsul-kapsul armor meluncur dari langit. Mereka menembus udara dengan suara meraung: whumm! clang! shwoosh!
—Pelat dada menghantam tubuh Jagat, menempel dengan dentuman magnetik.
—Gauntlet baja melilit tangannya, kilatan listrik menyambar.
—Greave kokoh menutup kakinya, menghentak dengan dentuman berat.
—Helm menutup kepala, HUD menyala biru neon.
—Wing pack mini terbuka di punggung, semburan api biru membuat Jagat melayang sebentar.
Clang! Zzzzrt! Shhhwumm!
Simfoni baja dan cahaya mengguncang udara.
Braaak!!!
Jagat mendarat keras di aspal. Tanah retak. Kios di sekitarnya bergetar. Warga menatap ternganga.
Di balik helm, suaranya berubah datar dan tegas:
“Robohero 1.1. Aktif.”
Status Armor – Robohero 1.1
Core Reactor: 100% sinkron
Armor Plating: Full integrity
Gauntlet Repulsor: Online
Wing Pack Mini: Siap dorong
HUD Tactical: Aktif penuh
Energy Output: 87% kapasitas
Robo 1.0 Bara Hitam berhenti menembak. Sensor mereka berbunyi liar.
“Apa itu?! Unit baru?!”
Komandan Angsa Emas menatap terkejut. “Tuhan… jadi memang benar. Putra Profesor Baskara…”
Ayunda menutup mulut, matanya berkaca-kaca. Meiyun menatap Jagat tanpa berkedip, liontin kecil di lehernya bergetar seolah merespons.
Jagat mengangkat tangan. Gauntletnya menyala biru, energi berdesis.
“Aku sudah diam terlalu lama. Sekarang… giliran kalian menghadapi Robohero.”
Asap menutup pandangan. Jalanan kota yang biasanya dipenuhi pedagang kaki lima kini berubah jadi neraka kecil. Warga sipil berlari pontang-panting, berteriak sambil menyeret anak-anak mereka. Aroma aspal terbakar, seng berjatuhan, dan mesiu menusuk hidung.
Jagat berdiri di tengah jalan. Robohero 1.1 sudah aktif penuh, lampu biru di dada berdenyut seperti jantung mekanik. Nafasnya memburu, suara napasnya bergema dalam helm.
Nova dingin di telinga:
“Status armor: aktif. Integritas plating 98%. Senjata utama online. Saran: hindari kontak langsung lebih dari 3 lawan.”
Celine menambahkan lebih cepat:
“Tuan, ingat, ini bukan simulasi. ini peluru betulan.”
Jagat menarik napas panjang. … ini bukan latihan. Ini perang.
“Unit target terdeteksi!” suara mekanis memekik dari pengeras Robo 1.0 musuh.
Tiga unit Robo 1.0 custom keluar dari truk trailer. Lampu merah di helm mereka menyala ganas. Senapan otomatis di bahu langsung menyala:
Ratatatatatata!
Jagat melompat ke samping, wing pack mini di punggungnya menyala: fwooshhh! Asap terbentuk, tubuhnya melayang rendah. Peluru menghantam kios-kios, kaca pecah, seng beterbangan.
Tek tek tek tek! Suara peluru menghantam armor Jagat. HUD menampilkan garis merah.
“Armor plating 94%. Goresan ringan. Masih aman,” lapor Nova.
Jagat mengangkat tangannya. Repulsor gauntlet menyala biru, lalu—
ZZZZUUUTTTT!
Ledakan cahaya biru menghantam dada Robo musuh. Tubuh baja itu terpental ke belakang, menabrak tembok toko, BRAAANGGG!
“Gila! Apa itu?!” teriak salah satu pilot musuh lewat komunikasi.
“Fokuskan tembakan! Jangan beri celah! Dia bukan target biasa!”
Jagat menggertakkan gigi. Kalau kalian kira aku gampang jatuh… salah besar.
Tiga musuh tersisa bergerak cepat.
Tank unit maju, membawa perisai baja tebal, menahan blast Jagat.
Shooter unit di belakang, mengangkat sniper mechanized: zuuuut! zuuut! peluru energi melesat.
Assaulter unit lompat tinggi, kapak mekanik di tangan, membelah udara: SWIIIINNGGGG!
Jagat menangkis, kedua lengan bersilangan. Dentuman keras: CLANGGG! Tubuhnya terdorong beberapa meter, aspal retak di bawah kakinya.
“Shit…!” Jagat mengumpat, dada terasa bergetar.
Nova memberi peringatan:
“Armor integrity: 87%. Tegangan berlebih di joint kanan.”
Celine cepat:
“Gunakan sayap! Bergerak vertikal, jangan frontal!”
Jagat mengaktifkan wing pack. Fwooooshhh! Tubuhnya melesat ke atas billboard. Dari atas ia melihat semua lawan. Sniper musuh menembak lagi—
ZZZRRR! peluru energi meleset, menghantam gedung. BOOOOMMMM! Api besar melahap ruko tua. Warga menjerit lari.
Jagat menatap bawah. Kalau aku biarin, akan banyak korban. Tidak bisa.
Jagat meluncur turun. Suara mesin meraung.
Tangan kanan... PUKULAN BESI! menghantam shield Tank.
DUUAAAGGHHH! Shield retak, alarm musuh meraung.
“Perisai hampir hancur! Backup! Backup!” pilot panik.
Tangan kiri ... REPULSOR BLAST!
ZZZUUUUTTT! mengenai Shooter di belakang. Armor robo musuh terbakar, separuh tubuhnya hancur, pilot teriak histeris sebelum eject seat keluar.
Kaki Jagat menyala jet ... TENDANGAN KE DADA !
DRAAAKKHH! Assaulter robo jatuh menghantam aspal, tanah bergetar.
Warga sipil dari kejauhan bersorak, walau ketakutan. “Itu… siapa dia?!” “Kayak… Ironman?! Tapi… ini Indonesia!”
Jagat berdiri tegak di tengah asap, armor penuh goresan. Napasnya berat.
Nova tenang:
“Dua unit musuh tersisa. Backup musuh dalam perjalanan. Estimasi 60 detik.”
Celine menambahkan:
“Tuan musuh mengirim unit baru… lebih besar.”
Tiba-tiba, suara raungan mesin berat terdengar dari kejauhan.
WHOOOOMMMM… WHOOOOMMMM…
Aspal bergetar, kaca jendela pecah oleh tekanan suara. Dari ujung jalan, siluet raksasa muncul: Robo 1.0 Hybrid—varian eksperimental milik CIA. Tingginya hampir dua kali unit biasa, dengan dua meriam di bahu.
Jagat menelan ludah. Sial… baru pemanasan, udah dikirim monster beginian.
HUD menampilkan peringatan merah:
WARNING: ENEMY HYBRID DETECTED. POWER LEVEL UNKNOWN.
Jagat menarik napas, suara serak dari balik helm:
“Aku harus segera menyelesaikan disini, ibu dan nadia butuh aku.”