Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Hati
Sabtu sore itu, Bima berdiri di depan cermin, mematut diri. Ia mengenakan kemeja biru muda kesukaannya, yang menurutnya selalu berhasil menonjolkan warna matanya. Celana bahan berwarna krem yang dipadukan dengan sepatu pantofel cokelat memberikan kesan santai namun tetap rapi. Rambutnya ditata dengan sisiran rapi, dan sentuhan terakhir adalah semprotan parfum beraroma woody yang memberikan kesan maskulin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Kencan pertama dengan Riana. Ia ingin semuanya berjalan sempurna.
Tepat pukul tujuh malam, Bima tiba di depan apartemen Riana. Ia mengirim pesan singkat, memberitahukan kedatangannya. Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Riana muncul dengan senyum yang membuat Bima terpana.
Riana mengenakan gaun selutut berwarna merah muda lembut yang tampak begitu serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Gaun itu memiliki potongan sederhana namun elegan, dengan aksen pita di pinggang yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambutnya dibiarkan tergerai indah, bergelombang alami, dan ia mengenakan riasan tipis yang justru semakin menonjolkan kecantikannya.
"Kamu cantik sekali," ucap Bima, tanpa sadar kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Ia benar-benar terpesona.
Riana tersipu, pipinya merona merah muda. "Terima kasih, Bima. Kamu juga terlihat tampan," balasnya, matanya berbinar menatap Bima.
Mereka berjalan menuju mobil Bima yang terparkir di seberang jalan. Bima membukakan pintu untuk Riana, sebuah gestur kecil yang membuat Riana tersenyum manis. Selama perjalanan, mereka bercakap-cakap ringan, membahas tentang film terbaru, buku yang sedang mereka baca, dan rencana akhir pekan.
Sesampainya di galeri seni yang dipilih Bima, mereka disambut oleh seorang petugas galeri yang ramah. Galeri itu terletak di pusat kota, di sebuah bangunan tua yang telah direnovasi dengan gaya modern. Di dalamnya, terpajang berbagai karya seni kontemporer dari seniman lokal maupun internasional.
Bima dan Riana berkeliling galeri dengan antusias. Bima, dengan pengetahuannya tentang teknik melukis, menjelaskan kepada Riana tentang berbagai aliran seni, penggunaan warna, dan komposisi dalam setiap karya. Sementara Riana, dengan kepekaan artistiknya, memberikan interpretasi yang mendalam tentang makna yang terkandung dalam setiap lukisan, patung, dan instalasi seni.
"Aku suka sekali lukisan ini," kata Riana, menunjuk sebuah lukisan abstrak dengan warna-warna cerah yang saling bertabrakan. "Aku merasa lukisan ini menggambarkan emosi yang kompleks, seperti kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."
"Aku setuju," balas Bima, mengangguk-angguk. "Aku juga merasa lukisan ini sangat kuat dan berani. Senimannya tidak takut untuk mengekspresikan dirinya dengan bebas."
Mereka berdua benar-benar menikmati suasana galeri yang tenang dan inspiratif. Mereka saling bertukar pikiran dan pendapat tentang seni, dan mereka merasa semakin dekat satu sama lain. Bima merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya, seseorang yang memiliki minat dan passion yang sama dengannya.
Setelah puas berkeliling galeri, Bima mengajak Riana untuk makan malam di sebuah restoran Italia yang terletak tidak jauh dari sana. Restoran itu memiliki suasana yang romantis, dengan lampu-lampu temaram, lilin di setiap meja, dan alunan musik klasik yang lembut.
Mereka memesan pizza Margherita dan pasta Aglio e Olio, serta sebotol anggur merah Chianti untuk menemani makan malam mereka. Sambil menunggu pesanan datang, mereka terus bercakap-cakap, membahas tentang masa kecil mereka, keluarga mereka, impian mereka di masa depan, dan pengalaman-pengalaman lucu yang pernah mereka alami.
"Dulu, waktu aku kecil, aku sering mencuri mangga dari kebun tetangga," cerita Riana, tertawa kecil. "Aku selalu ketahuan, dan aku selalu dimarahi oleh ibuku."
"Aku juga pernah melakukan hal yang sama," balas Bima, tersenyum. "Tapi aku mencuri rambutan. Aku selalu berhasil lolos dari kejaran pemilik kebun."
Mereka tertawa bersama, merasa seperti sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Bima merasa nyaman berada di dekat Riana. Ia menyukai kejujurannya, kecerdasannya, dan kehangatannya. Ia merasa seperti menemukan seseorang yang bisa ia percayai dan cintai.
Saat mereka sedang asyik menikmati makan malam dan percakapan yang menyenangkan, tiba-tiba seorang wanita menghampiri meja mereka. Wanita itu berambut panjang berwarna pirang yang ditata bergelombang, mengenakan gaun mini berwarna hitam yang ketat, dan sepatu hak tinggi yang membuat tubuhnya terlihat semakin jenjang.
"Bima?" sapa wanita itu dengan nada terkejut, namun terdengar sedikit sinis.
Bima menoleh, dan wajahnya langsung berubah pucat pasi. Jantungnya berdebar kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. "Sinta?" ucapnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
Riana menatap Bima dan wanita itu dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun ia merasakan aura ketegangan yang kuat di antara mereka.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bima, berusaha mengendalikan suaranya.
"Aku sedang makan malam dengan teman-temanku," jawab Sinta, melirik Riana dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Siapa dia? Pacar barumu?"
"Ini Riana," Bima memperkenalkan, berusaha bersikap sopan. "Riana, ini Sinta, mantan pacarku."
Riana mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Sinta, namun Sinta tidak membalas uluran tangan Riana. Ia hanya menatap Riana dengan tatapan dingin dan sinis.
"Senang bertemu denganmu," ucap Riana, berusaha mencairkan suasana.
"Tidak juga," balas Sinta dengan ketus. "Bima, aku tidak menyangka seleramu serendah ini. Kamu berkencan dengan wanita seperti dia?"
"Sinta, jaga bicaramu!" Bima memperingatkan, suaranya meninggi.
"Kenapa? Apa aku salah? Dia tidak selevel denganmu, Bima. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik," Sinta bersikeras, matanya berkilat marah.
"Sinta, cukup!" bentak Bima, tidak tahan lagi dengan sikap Sinta yang merendahkan Riana. "Aku tidak ingin berdebat denganmu di sini. Pergi sekarang!"
Sinta tersenyum sinis, menunjukkan deretan gigi putihnya. "Baiklah, aku pergi. Tapi ingat, Bima, kamu akan menyesalinya," ucapnya, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Bima dan Riana dengan langkah anggun namun tergesa-gesa, meninggalkan aroma parfumnya yang kuat menguar di udara.
Bima menghela napas berat, mengusap wajahnya dengan tangan. Ia merasa malu dan bersalah karena kejadian ini telah merusak kencan mereka.
Riana menatap Bima dengan tatapan lembut dan penuh pengertian. Ia meraih tangan Bima dan menggenggamnya erat. "Tidak apa-apa, Bima," ucapnya, suaranya menenangkan. "Aku mengerti. Kamu tidak perlu merasa bersalah."
"Tapi aku merasa tidak enak," balas Bima, menatap Riana dengan mata penuh penyesalan. "Aku tidak tahu Sinta akan datang ke sini dan bersikap seperti itu. Aku benar-benar minta maaf."
"Aku tahu," kata Riana, tersenyum tipis. "Aku bisa melihat betapa terkejut dan tidak nyamannya kamu. Tapi jangan khawatir, aku tidak marah atau kecewa. Aku mengerti bahwa dia adalah bagian dari masa lalumu, dan kamu tidak bisa menghapus masa lalu itu."
Bima merasa lega mendengar kata-kata Riana. Ia merasa beruntung memiliki Riana di sisinya, seseorang yang begitu pengertian dan penyabar.
"Terima kasih, Riana," ucap Bima, menggenggam tangan Riana semakin erat. "Kamu benar-benar luar biasa."
"Sudah seharusnya," balas Riana, tersenyum. "Sekarang, lupakan saja tentang dia. Mari kita lanjutkan makan malam kita dan menikmati waktu bersama."
Bima mengangguk setuju. Ia berusaha untuk melupakan kejadian yang baru saja terjadi dan fokus pada Riana. Mereka melanjutkan makan malam mereka dengan percakapan yang lebih ringan dan menyenangkan. Mereka membahas tentang film yang ingin mereka tonton, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan bersama.
Setelah selesai makan malam, Bima mengantar Riana pulang ke apartemennya. Selama perjalanan, mereka berpegangan tangan dan saling tersenyum. Bima merasa bahagia dan bersyukur karena Riana tetap bersamanya meskipun ada kejadian yang tidak menyenangkan.
Sesampainya di depan apartemen Riana, Bima memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin. Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap dalam keheningan.
"Aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu hari ini," ucap Bima, memecah keheningan. "Meskipun ada sedikit gangguan, tapi aku tetap merasa ini adalah kencan yang menyenangkan."
"Aku juga," balas Riana, tersenyum manis. "Aku sangat menikmati waktu bersamamu. Aku merasa kita memiliki banyak kesamaan dan kita bisa saling memahami."
Bima mendekatkan wajahnya ke wajah Riana, dan ia merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Ia ingin mencium Riana, tapi ia ragu-ragu. Ia tidak tahu apakah Riana juga menginginkan hal yang sama.
Riana seolah mengerti keraguan Bima. Ia mendekatkan wajahnya dan menatap Bima dengan tatapan yang penuh arti. Bima tidak bisa menahan diri lagi. Ia mendekatkan bibirnya ke bibir Riana dan menciumnya dengan lembut.
Ciuman itu terasa singkat namun penuh dengan kehangatan dan kelembutan. Bima merasakan aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa seperti terbang ke awan.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan ciuman itu dan saling menatap dengan senyum malu-malu.
"Selamat malam, Riana," ucap Bima, suaranya sedikit bergetar.
"Selamat malam, Bima," balas Riana, pipinya merona merah. "Sampai jumpa lagi."
Bima mengangguk dan keluar dari mobil. Ia mengantar Riana sampai ke depan pintu apartemennya, lalu melambaikan tangan sebelum berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
Selama perjalanan pulang, Bima tidak bisa berhenti tersenyum. Ia merasa sangat bahagia dan bersemangat. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Riana lagi dan melanjutkan hubungan mereka yang baru saja dimulai. Ia tahu, ada banyak tantangan dan rintangan di depan mereka, tapi ia yakin, jika mereka saling mencintai dan saling mendukung, mereka bisa menghadapi semuanya bersama dan membangun masa depan yang indah.
Bima menyalakan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan apartemen Riana, hatinya dipenuhi dengan harapan dan kebahagiaan. Ia tahu bahwa pertemuannya dengan Sinta telah menjadi ujian bagi hubungannya dengan Riana, namun ia juga yakin bahwa mereka telah berhasil melewatinya dengan baik. Ciuman lembut Riana di akhir kencan menjadi bukti bahwa Riana menerima dirinya apa adanya, dengan segala masa lalu dan kekurangannya. Bima berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga dan mencintai Riana dengan sepenuh hati, dan untuk tidak membiarkan masa lalunya menghantuinya lagi. Ia siap untuk membuka lembaran baru bersama Riana, dan mewarnai hidupnya dengan warna-warna cinta yang lebih indah.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*