Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Balas Dendam
Malam masih pekat ketika fajar belum menunjukkan tanda-tanda datang. Di mansion Leonardo, bau mesiu masih tercium di udara, bercampur dengan anyir darah yang menodai lantai marmer. Para penjaga sibuk membersihkan sisa-sisa penyerangan, mengangkut mayat musuh dengan wajah dingin, seolah sudah terbiasa dengan kematian.
Namun di ruang kerja besar yang dindingnya penuh lukisan klasik, suasana jauh lebih mencekam. Leonardo duduk di kursi kulit hitam, jari-jarinya mengetuk meja kayu dengan ritme pelan namun penuh amarah. Di hadapannya, Marco berdiri dengan perban melilit lengannya, wajahnya pucat karena kehilangan banyak darah.
“Don Vittorio sudah melangkah terlalu jauh,” suara Leonardo rendah, hampir seperti geraman binatang buas. “Dia menyentuh apa yang seharusnya tidak pernah disentuh.”
Marco menunduk. “Bos, kita bisa menunggu waktu yang lebih tepat. Penyerangan langsung ke markasnya berisiko tinggi. Polisi Roma sudah memperketat pengawasan sejak insiden gudang terbakar.”
Leonardo menghentikan ketukan jarinya. Matanya berkilat dingin. “Aku tidak peduli polisi. Aku tidak peduli dunia. Aku hanya peduli satu hal: membuat Vittorio berlutut di hadapanku sebelum fajar ini berakhir.”
---
Sementara itu, Aruna berdiri di balik pintu, mendengar setiap kata. Tubuhnya gemetar. Luka serangan semalam masih membekas di pikirannya—terutama tatapan pria bertopeng yang hampir menyeretnya pergi.
Ia tahu Leonardo akan membalas. Tapi caranya membalas selalu berarti satu hal: darah.
Aruna menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak. Berapa banyak nyawa lagi yang akan melayang hanya karena aku?
---
Dua jam kemudian, konvoi mobil hitam meninggalkan mansion, melaju kencang ke arah distrik tua di pinggiran Roma—wilayah yang sudah lama dikenal sebagai sarang Don Vittorio.
Di dalam mobil terdepan, Leonardo duduk tenang. Namun ketenangan itu bukan kedamaian, melainkan badai yang menunggu meledak. Pistol berlapis perak tergenggam di tangannya, sementara mata hitamnya menatap jalan dengan dingin.
Marco, yang duduk di sampingnya, masih mencoba berbicara. “Bos, Aruna… dia pasti ketakutan. Mungkin sebaiknya Anda kembali dulu—”
Leonardo menoleh, tatapannya menusuk. “Aku melakukan ini justru untuknya. Vittorio sudah berani menyentuh Aruna. Itu artinya dia sudah menandatangani kontrak kematiannya sendiri.”
Tak ada lagi kata setelah itu.
---
Di mansion, Aruna berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia merasa tidak tenang. Bayangan Leonardo yang berangkat dengan tatapan penuh dendam menghantui pikirannya.
Ia mencintai pria itu—Aruna tidak bisa menyangkalnya. Namun, cinta itu seperti pedang bermata dua. Setiap kali Leonardo melindunginya, ia juga menenggelamkannya lebih dalam ke dunia kegelapan yang bukan miliknya.
Jika semua ini terus berlanjut… apakah aku akan tetap menjadi diriku sendiri? Atau aku hanya akan menjadi bayangan dari obsesi Leonardo?
Aruna menutup wajahnya, tubuhnya lunglai di kursi. Air matanya jatuh. “Leo… jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri.”
---
Sementara itu, konvoi Leonardo memasuki wilayah Vittorio. Jalanan gelap, sunyi, hanya sesekali terdengar anjing menggonggong. Namun ketenangan itu hanya topeng—setiap orang di dalam mobil tahu bahwa puluhan mata musuh sedang mengintai dari balik jendela, dari atap, dari lorong sempit.
Mobil berhenti di depan bangunan tua bekas pabrik anggur yang sudah lama dijadikan markas Vittorio.
Leonardo turun tanpa ragu, langkahnya mantap. Sekitar dua puluh orang pasukannya mengikuti, bersenjata lengkap.
“Marco,” katanya dingin, “jangan sisakan satu pun. Bakar tempat ini sampai rata dengan tanah.”
Marco hanya bisa mengangguk.
---
Ledakan pertama mengguncang malam. Granat dilemparkan ke arah pintu utama, memecahkan kaca dan menghanguskan kayu. Suara tembakan menyusul, beradu cepat dengan jeritan para penjaga Vittorio.
Leonardo berjalan di tengah hujan peluru seolah tak gentar. Setiap musuh yang mencoba mendekat jatuh dengan satu tembakan akurat dari pistolnya. Gerakannya tenang, matanya dingin, dan setiap kali pelurunya menembus dada lawan, hanya satu nama yang ada di pikirannya: Aruna.
Semakin banyak darah tertumpah, semakin jelas dalam dirinya bahwa balas dendam ini bukan sekadar urusan geng—ini adalah pembuktian pada dunia, bahwa siapa pun yang berani menyentuh wanita yang dicintainya akan menemui ajal paling brutal.
---
Di dalam markas, Don Vittorio sedang duduk dengan segelas anggur, wajahnya tenang meski suara ledakan bergema di luar.
Seorang anak buah masuk dengan panik. “Don! Mereka datang! Itu Leonardo—dia membawa pasukan!”
Vittorio tersenyum tipis. “Akhirnya… raja itu meninggalkan singgasananya. Biarkan dia masuk. Malam ini, kita lihat apakah obsesinya pada wanita itu akan menjadi kekuatannya… atau kehancurannya.”
---
Pertempuran semakin sengit. Api menjalar di dinding, asap mengepul ke udara. Mayat bergelimpangan di lantai pabrik tua itu. Namun Leonardo terus maju, matanya hanya tertuju pada satu pintu besar di ujung lorong—ruang pertemuan utama, tempat Vittorio menunggunya.
Marco menahan bahunya. “Bos! Ini jebakan. Kita harus berhati-hati—”
Leonardo menepis tangannya. “Jebakan atau tidak, aku akan tetap masuk. Karena jika aku mundur sekarang, maka besok Aruna mungkin sudah tidak ada.”
Ia menendang pintu dengan keras, kayu tua itu terbelah, dan matanya langsung bertemu dengan Vittorio yang duduk santai di kursinya.
---
“Leonardo,” sapa Vittorio dengan senyum mengejek. “Kau datang untuk wanita itu, bukan? Betapa lemahnya King Mafia yang terkenal tak terkalahkan, kini digerakkan hanya oleh cinta.”
Leonardo mengangkat pistolnya tanpa basa-basi. “Sebut namanya sekali lagi, dan aku akan meledakkan kepalamu sekarang juga.”
Vittorio tertawa. “Aruna, Aruna… Dia benar-benar racun bagimu, Leo. Kau pikir kau melindunginya, tapi sebenarnya dia yang perlahan menghancurkanmu. Bukankah begitu?”
Urat di leher Leonardo menegang. Ia menembak, tapi Vittorio sudah berguling ke samping, peluru hanya menghantam dinding.
Pertarungan pecah.
---
Di mansion, Aruna terbangun dari tidurnya yang gelisah. Ia bermimpi melihat Leonardo berlumuran darah, berjalan ke arahnya dengan mata penuh api. Ia berteriak, tapi suara itu tak keluar.
Ketika terbangun, napasnya memburu. Ia berlari ke balkon, menatap langit Roma yang kemerahan di kejauhan. Dari arah distrik tua, asap hitam mengepul, menodai malam.
Aruna menutup mulutnya. “Leonardo…” bisiknya.
Perasaan takut dan cinta bercampur jadi satu, membuat dadanya sesak. Ia tahu Leonardo tidak akan berhenti sampai Vittorio jatuh, tapi ia juga tahu setiap langkah yang diambil pria itu semakin menjauhkannya dari kemanusiaan.
---
Kembali ke pabrik tua, duel sengit antara dua raja mafia berlangsung. Leonardo dengan pistol dan belati, Vittorio dengan senapan pendek dan kecerdikan licik.
Darah menetes dari pelipis Leonardo, namun matanya tetap membara. Ia berhasil menjatuhkan senjata Vittorio dan menekan pria itu ke lantai.
“Ini untuk Aruna,” desisnya sambil menodongkan pistol ke dahi musuh bebuyutannya.
Namun sebelum ia menarik pelatuk, Vittorio tertawa meski tersudut. “Kau bisa membunuhku sekarang, Leo. Tapi ingat… dunia ini penuh dengan orang seperti aku. Kau tidak bisa melindunginya selamanya. Dan pada akhirnya, wanita itu akan menjadi kelemahan yang menghancurkanmu.”
Leonardo menarik pelatuk. DOR!
Darah Vittorio muncrat, menodai wajahnya. Namun Leonardo tidak bergeming, hanya berdiri tegak dengan mata merah penuh kebencian.
---
Ketika api mulai melahap seluruh bangunan, Marco datang tergopoh. “Bos, kita harus pergi! Polisi akan segera tiba!”
Leonardo tidak menjawab. Ia hanya menatap tubuh Vittorio yang tak bernyawa, lalu berjalan keluar dengan langkah mantap.
Di dalam hatinya, hanya ada satu pikiran: Aku menang. Aku sudah melindungi Aruna.
Namun di balik kemenangan itu, bayangan kata-kata Vittorio masih membekas: ‘Wanita itu akan menghancurkanmu.’
---
Malam itu, Leonardo kembali ke mansion dengan tubuh penuh luka, namun berdiri tegak. Aruna berlari menghampirinya, menatapnya dengan wajah penuh air mata.
“Leo… kau terluka…”
Leonardo memeluknya erat, darahnya menodai gaun putih Aruna. “Tidak apa-apa. Aku masih hidup… dan dia sudah mati. Vittorio sudah berakhir.”
Aruna membeku. Ia memang lega karena ancaman berkurang, tapi pelukan Leonardo terasa berbeda—lebih berat, lebih gelap, lebih penuh obsesi.
Dalam hatinya, Aruna tahu… meski Vittorio sudah mati, perang sejati baru saja dimulai.