Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~Gelombang Ketiga~
Fajar belum sepenuhnya muncul, namun ladang utara dan timur sudah mulai dipenuhi bayangan pasukan Garrick. Gelombang ketiga ini jauh lebih besar dan terorganisir dibanding sebelumnya. Edrick berdiri di tembok barat, Ashenlight tergenggam erat, matanya menelusuri setiap gerakan musuh.
Darius mencondongkan tubuh ke tepi tembok. “Mereka membawa pasukan cadangan, dan beberapa prajurit tampak membawa peralatan pengepungan. Ini bukan hanya serangan frontal, ini pengepungan penuh.”
Edrick menatap rombongan inti. “Setiap posisi harus diperkuat. Setiap jebakan, setiap pengintai, setiap pasukan cadangan harus siap menghadapi apapun. Kita tidak boleh lengah.”
Selene memeriksa busurnya dan anak panah. “Sisi timur harus sepenuhnya tertutup. Mereka tidak boleh melewati jebakan kita.”
Mira menambahkan, “Aku akan patroli sisi barat dan selatan. Setiap gerakan yang mencurigakan harus segera kita hadapi. Tidak ada celah.”
Rolf memberi aba-aba kepada pengungsi. “Tetap di posisi! Jangan keluar dari menara atau gerbang! Fokus dan ikuti instruksi!”
Darius menunjuk ke ladang utara. “Lihat! Mereka menyiapkan alat pengepungan. Jika mereka berhasil menembus jebakan awal, mereka bisa menyerang tembok langsung. Kita harus menghentikan mereka sebelum itu terjadi.”
Edrick mencondongkan tubuh, menatap Ashenlight. “Pedang ini bukan hanya senjata. Ini simbol pertahanan kita. Kita akan menahan mereka sampai titik terakhir.”
Beberapa pasukan musuh mulai bergerak maju, sementara yang lain tetap berada di belakang, menyiapkan alat pengepungan. Selene dan Mira mulai menembakkan anak panah untuk menghentikan kemajuan mereka.
Darius menambahkan, “Kita harus tetap terkoordinasi. Setiap gerakan mereka harus dicatat dan setiap celah harus ditutup segera. Besok atau lusa, mereka akan mencoba segala cara untuk menembus Ironford.”
Edrick menegaskan, “Ini adalah gelombang ketiga. Kita harus fokus, cepat, dan tepat. Ironford akan bertahan. Kita tidak punya pilihan lain.”
Gelombang ketiga pasukan Garrick bergerak lebih cepat dan terorganisir. Pasukan utama maju dengan perisai besar, pedang panjang, dan beberapa membawa alat pengepungan. Ladang utara dan timur menjadi medan pertempuran yang panas.
Edrick berdiri di tembok barat, Ashenlight tetap tergenggam erat. “Kita harus menahan serangan awal. Setiap anak panah, setiap jebakan, setiap detik penting,” katanya pada Darius.
Darius mencondongkan tubuh ke depan, memeriksa pasukan musuh. “Mereka membawa pemimpin lapangan baru. Strategi mereka berubah. Kita harus lebih waspada daripada gelombang sebelumnya.”
Selene dan Mira menembakkan anak panah bertubi-tubi. Beberapa pasukan musuh jatuh, beberapa mundur sejenak, tapi sebagian tetap maju, menembus jebakan dan parit.
Rolf memberi aba-aba kepada para pengungsi. “Jangan keluar dari menara! Tetap di tempat dan ikuti instruksi! Kita tidak boleh kehilangan kendali!”
Edrick mencondongkan tubuh, mengayunkan Ashenlight ke arah pasukan yang mencoba mendekat. Kilatan pedang membuat beberapa prajurit musuh mundur, sementara yang lain ragu untuk menyerang langsung.
Darius mengangkat pedangnya, melawan pasukan yang menembus parit. “Kita harus menahan mereka di garis depan sampai bantuan dari jebakan dan pengintai bekerja efektif.”
Selene menembakkan anak panah ke pemimpin lapangan musuh. “Jika kita bisa menyingkirkan mereka, moral pasukan mereka akan runtuh.”
Mira berlari ke sisi barat, menghadapi musuh yang mencoba menyusup. “Setiap prajurit yang berhasil masuk akan kuhadang. Kita tidak boleh lengah, bahkan satu detik.”
Gelombang ketiga semakin menekan Ironford. Pasukan musuh mencoba segala cara—serangan frontal, penyusupan, dan alat pengepungan. Namun koordinasi Edrick, Darius, Selene, Mira, dan pengintai berhasil menahan mereka.
Edrick menatap horizon utara, sadar bahwa pertempuran belum berakhir. “Kita telah menahan gelombang ini. Besok, mereka mungkin akan datang lebih besar lagi. Ironford harus siap.”
Matahari mulai condong ke barat, namun pertempuran di ladang utara dan timur masih berlangsung sengit. Gelombang ketiga pasukan Garrick berhasil ditekan, tapi beberapa prajurit yang tersisa mencoba mencari celah untuk masuk ke benteng.
Edrick berdiri di tembok barat, Ashenlight tergenggam erat. “Kita telah menahan mereka hampir sepanjang hari. Tapi ini baru gelombang ketiga. Besok, mereka akan datang dengan strategi lebih kuat, mungkin lebih banyak alat pengepungan,” katanya kepada Darius.
Darius mengangguk, menatap ladang yang kini penuh mayat dan reruntuhan alat pengepungan. “Kita harus memanfaatkan malam ini untuk memperkuat posisi, menambah jebakan, dan mempersiapkan pengintai tambahan. Gelombang berikutnya akan menentukan nasib Ironford.”
Selene menurunkan busurnya, napasnya berat. “Kita sudah melakukan semua yang bisa kita lakukan hari ini. Besok adalah hari penentuan. Jika mereka mencoba menyerang frontal, kita harus siap menghadapi setiap detik.”
Mira menatap sisi barat. “Kita tidak hanya melindungi benteng. Kita melindungi semua yang tersisa dari Averland. Besok, setiap langkah kita menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati.”
Rolf menegaskan instruksi terakhir kepada para pengungsi. “Besok akan lebih berat. Tetap di posisi, jangan panik, dan ikuti semua instruksi. Ironford adalah satu-satunya perlindungan kita sekarang.”
Edrick menatap Ashenlight, matanya fokus. “Besok, kita menghadapi gelombang keempat. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Ironford harus bertahan, atau Averland akan jatuh.”