Ardan Kael tumbuh di Akademi Aetherion — sekolah elit bagi para pengguna kekuatan elemental.
Tapi di usia 16 tahun, hasil ujiannya menunjukkan “nol energi.” Ia dicap Reject, dibuang dari akademi, dan diusir dari keluarganya sendiri.
Namun, pada malam ia hendak bunuh diri di tebing Aetherion, ia mendengar suara aneh dari bayangannya sendiri:
“Kau gagal bukan karena lemah... tapi karena kekuatanmu terlalu kuat untuk dunia ini.”
Suara itu membangkitkan sesuatu yang telah lama tersegel dalam dirinya — Void Energy, kekuatan kegelapan yang bisa menelan seluruh elemen.
Dari situ, Ardan bersumpah untuk kembali ke akademi, bukan sebagai murid...
Tapi sebagai mimpi buruk bagi semua orang yang pernah merendahkannya.
“Kalian menyebutku gagal? Baiklah. Aku akan menunjukkan arti kegagalan yang sebenarnya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 – Desa Tersisih
Desa Tersisih, atau yang biasa disebut Outcast Village, bukanlah sebuah desa dalam arti sebenarnya. Itu adalah kumpulan puing-puing, gubuk-gubuk reyot, dan bangunan setengah hancur yang sengaja didirikan di lembah tandus di luar dinding Valenforge—sebagai tempat sampah visual bagi mata para elit Aetherion.
Ketika Ardan melangkahkan kaki pertamanya melewati gerbang kayu yang sudah lapuk, ia disambut oleh aroma apak, basah, dan keputusasaan.
Di Valenforge, bahkan udara pun terasa mahal dan bersih, disaring oleh rune sihir. Di sini, udaranya berat, penuh dengan bau asap kayu bakar yang basah dan napas orang-orang yang hanya menunggu kematian.
Penerangan magis tidak ada. Hanya ada obor-obor minyak yang berkedip lemah, menyorot wajah-wajah yang keras, mata yang kosong, dan punggung-punggung yang membungkuk. Ini adalah sisa-sisa dari Akademi Aetherion: para mantan murid yang gagal melewati ujian elemen, para penyihir yang terluka dan kehilangan kemampuan, dan orang-orang tak berbakat yang dibuang oleh tatanan sihir.
Mereka semua adalah Reject.
Ardan mencari perlindungan. Ia menemukan gubuk kosong di tepi tebing curam. Gubuk itu hanya terdiri dari empat dinding kayu yang hampir rubuh, dan atap yang berlubang, membiarkan gerimis dingin menyentuh wajah Ardan.
Ia duduk di lantai tanah yang lembap, bersandar pada dinding. Ia mencoba memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang panjang. Tetapi ketika ia membukanya, ia melihat sepasang mata mengintip dari sudut ruangan yang gelap.
Itu adalah seorang wanita tua, mungkin berusia lima puluhan, dengan jubah akademi yang robek dan kotor. Matanya merah dan bengkak.
"Kau baru?" tanya wanita itu, suaranya parau.
"Ya," jawab Ardan singkat.
"Klan apa?"
"Kaelum. Angin."
Wanita itu tertawa, tawa kering yang terdengar seperti gesekan pasir. "Angin? Kaelum selalu sombong. Sekarang kau di sini. Kau... nol juga?"
Ardan mengangguk. Wanita itu merangkak mendekat, wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam.
"Namaku Elara," katanya. "Aku adalah Reject dari Elemen Tanah. Dulu mereka bilang aku bisa menggerakkan gunung. Tapi saat ujian terakhir, aku hanya bisa menggerakkan kerikil. Mereka membuangku. Klan-ku meludahiku."
Wanita itu tiba-tiba mencengkeram lengan Ardan. "Kau tahu apa yang paling menyakitkan, Nak? Bukan diusir. Tapi melihat mereka yang kau cintai—teman-temanmu—berpura-pura kau tidak pernah ada. Mereka berjalan melewati gerbang ini, menatap ke arah ini, tapi mereka tidak pernah melihat kita."
Pernyataan Elara bagaikan pisau yang menembus luka Ardan. Lyra. Lyra yang memilih tetap diam dan berdiri di samping Rion.
"Mereka semua sama," lanjut Elara, suaranya dipenuhi kebencian pahit. "Aetherion hanyalah kandang ternak untuk kekuatan. Jika kau tidak berguna, kau dibuang. Jika kau gagal, kau mati di sini. Mati secara perlahan."
Elara menunjuk ke luar, ke arah sekelompok pria yang hanya duduk diam di api unggun kecil, tanpa berbicara, tanpa semangat. "Lihat mereka. Mereka semua dulunya Rion Valcrest dan Lyra Edevane di klan mereka. Sekarang? Mayat berjalan. Kau akan jadi seperti itu juga."
Ardan menarik napas dalam-dalam. "Tidak," katanya pelan. "Aku tidak akan seperti itu."
"Semua orang bilang begitu," Elara melepaskan genggamannya, kembali ke sudut gubuk. "Tapi keputusasaan itu seperti kabut di sini. Ia merayap masuk ke dalam tulangmu, dan kau akan lupa bagaimana cara bernapas."
Keesokan harinya, Ardan bangun. Ia lapar, kedinginan, dan dikelilingi oleh aura suram. Ia mencoba bertahan hidup seperti yang diajarkan di akademi—dengan berani, dengan kepala tegak. Ia membersihkan gubuknya, mencari air, dan mencoba berbicara dengan beberapa mantan murid.
Namun, yang ia temui hanyalah kepasrahan total. Di Desa Tersisih, tidak ada yang berjuang. Tidak ada harapan. Mereka telah menerima cap 'gagal' itu, dan membiarkan diri mereka membusuk dalam kebencian sunyi.
Ardan menolak untuk menjadi salah satu dari mereka. Ia menolak untuk membiarkan keputusasaan merayap masuk. Ia berjalan ke pinggir tebing Aetherion, tebing yang curam dan tajam yang menjadi batas antara dunia kegagalan dan dunia kesuksesan yang megah di seberangnya.
Ia menatap ke kejauhan. Di atas tebing yang berlawanan, berdiri kokoh Akademi Aetherion. Menara-menara Elemennya menjulang tinggi, bermandikan cahaya kristal yang hangat. Ia bisa membayangkan Lyra sedang tertawa di kantin, Rion sedang berlatih duel dengan Api Nerakanya, dan Ayahnya sedang memimpin rapat klan.
Mereka semua hidup bahagia, seolah Ardan Kael tidak pernah ada.
Rasa sakit itu, yang awalnya terasa seperti tusukan, kini berubah menjadi gelombang panas yang membakar. Panas itu adalah kebencian.
Mereka semua pantas merasakannya. Rasa sakit ini. Mereka pantas tahu bagaimana rasanya dibuang.
Ia mengepalkan tinjunya. Ia mencoba mengeluarkan energi, apa pun itu. Mungkin ia salah. Mungkin ia hanya butuh dorongan. Ia memejamkan mata, memfokuskan pikirannya, menembus lapisan keputusasaan.
"Bangkitlah!" teriaknya dalam hati. "Angin! Api! Air! Apa pun!"
Nol.
Tidak ada. Hanya kekosongan yang menjijikkan. Tangan kanannya terasa mati rasa.
Ardan berlutut. Rasa marah yang membara tadi tiba-tiba berubah menjadi rasa malu yang dingin. Elara benar. Ia adalah sampah. Ia adalah Nol.
Ia mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya—alat sederhana yang selalu ia bawa. Ia memutar pisaunya. Kilatan logam memantul dari kegelapan.
Ia menatap ke bawah jurang. Laut Eter bergemuruh di bawahnya, seperti mulut raksasa yang siap menelan kegagalannya.
Ini akhirnya. Daripada mati perlahan sebagai mayat hidup di Desa Tersisih, lebih baik aku menghilang saja. Menjadi bagian dari Laut Eter.
Ia memegang pisau di pergelangan tangannya. Satu sayatan cepat, dan rasa sakitnya akan selesai.
Tepat saat ujung pisau menyentuh kulitnya, ia mendengar suara.