"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak bisa diperbaiki
Anjani memalingkan wajahnya saat sang Ayah datang untuk menjenguk dirinya. Pria tua itu datang dengan sekeranjang buah dan juga satu buket bunga mawar putih.
Dengan langkah sedikit canggung, dia mendekati Anjani yang tidak mau menoleh ke arahnya. Berdehem sebentar, sebelum meletakkan barang bawaannya diatas nakas lalu duduk di kursi yang terletak di bagian kanan brankar, tempat Anjani duduk sekarang.
Tangannya yang masih terlihat agak kekar terangkat, hendak menyentuh tangan putrinya. Namun, Anjani dengan cepat malah menjauhkan tangannya.
Mendapatkan perlakuan seperti itu dari putrinya, Anton semakin merasa bersalah. Hatinya sakit. Namun, dia tahu jika hati Anjani pasti jauh lebih sakit.
"Bagaimana keadaan kamu?"
Akhirnya, Anton memberanikan diri untuk mengeluarkan suara.
"Seperti yang Tuan Anton lihat. Aku masih hidup," jawab Anjani.
Tuan Anton. Panggilan itu sangat melukai hati pria itu. Dadanya terasa sesak. Perlahan, dia mulai menyesali keputusannya sendiri.
Kenapa dia harus menandatangani surat pemutusan hubungan keluarga itu? Kenapa dia harus membuang putrinya sendiri?
"Maafkan Papa. Papa tahu, Papa sudah melakukan kesalahan yang fatal."
Tes!
Air mata Anjani perlahan keluar tanpa diminta. Namun, dengan cepat dia mengusapnya dengan punggung tangan.
"Papa tidak tahu jika Mama-mu akan memukulmu dengan vas bunga. Kalau saja Papa tahu, Papa pasti akan menyelamatkan kamu tepat waktu."
Mendengar itu, Anjani seketika jadi tersenyum miring.
"Anjani... kenapa saat kamu dipukuli, kamu nggak berteriak meminta tolong pada Papa?" tanya Anton kemudian.
Andai saja, Anjani berteriak memanggilnya 'Papa', mustahil dia mendiamkan Anjani begitu saja.
Andai saja, Anjani mau mengalahkan egonya dan memohon bantuan padanya, mustahil dia hanya berdiri di kejauhan dan melihat putrinya itu kesakitan luar biasa.
Namun, Anjani tidak melakukan semua itu. Anjani hanya diam. Dia seperti seseorang yang tidak takut mati asal egonya tetap menang.
"Untuk apa aku meminta tolong pada orang asing?" tanya Anjani. "Bukankah, Anda sendiri yang mengatakan agar saya tidak menganggu Anda lagi di masa depan? Sekarang, saya sudah melakukannya. Tapi, kenapa Anda terlihat tidak puas? Dan, kenapa Anda harus menganggu Mama saya? Kenapa Anda harus membuat depresi Mama saya jadi kambuh?"
Anjani bertanya panjang lebar dengan suara yang terdengar gemetar. Emosinya sudah berada di tingkat tertinggi. Apa yang sang Ayah dan keluarga barunya lakukan, benar-benar membuat Anjani hampir kehabisan akal sehatnya.
"Maaf!" ucap Anton tertunduk. "Papa tidak bermaksud seperti itu. Mama Sandra yang mengatakan soal perceraianmu dan Aryan. Papa sama sekali tidak tahu jika dia akan membeberkan masalah itu pada Mama-mu."
"Lagi-lagi perempuan ular itu," desis Anjani sembari mencengkram ujung baju pasien yang dikenakannya.
"Anjani," tegur Anton.
"Apa?" balas Anjani. "Anda keberatan jika saya mengatai istri Anda sebagai perempuan ular? Lalu, apa yang ingin Anda lakukan terhadap saya? Membunuh saya?"
Mata Anton perlahan memerah. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Anjani sepertinya menilai dia terlalu kejam. Padahal, tidak mungkin Anton tega melenyapkan darah dagingnya sendiri.
"Sudahlah!" ucap Anton kemudian. "Papa minta maaf. Papa yang salah. Apa kamu sudah puas sekarang?"
"Belum," jawab Anjani.
"Lalu, kamu mau apa lagi, Anjani?"
"Pergi dari sini! Tinggalkan Mama saya sendirian. Jangan ganggu dia lagi!" pinta Anjani.
Anton menganggukkan kepalanya tanda paham. "Baiklah! Papa akan bawa Luna dan Mama Sandra pulang ke..."
"Perempuan ular itu bukan Mama-ku!!" potong Anjani dengan suara keras. Matanya tajam, menatap sang Ayah penuh amarah.
"Oke. Terserah kamu, Anjani. Kamu memang anak yang keras kepala."
Anton pun berdiri. Dengan emosi yang perlahan tertanam, dia memutuskan untuk pergi dari sana sebelum tangannya melayang ke pipi Anjani.
Sementara, tangis Anjani kembali pecah. Kedatangan sang Ayah hanya menambah luka di hatinya. Dia tak mau bertemu dengan pria tua itu lagi. Dia tak mau bertemu dengan siapapun yang hanya bisa menyakiti hatinya dan juga hati sang Ibu.
***
Anton pulang ke penginapan dengan suasana hati yang kacau. Tujuannya menjenguk Anjani adalah untuk meminta maaf dan memperbaiki segalanya. Namun, ternyata Anjani terlalu keras kepala.
Hubungan mereka bukannya semakin membaik, malah semakin berantakan.
"Papa, ada apa? Kenapa Papa kelihatan marah?" tanya Luna saat melihat ekspresi wajah sang Ayah yang terlihat kesal.
"Papa habis menjenguk Anjani. Papa berniat untuk meminta maaf padanya. Tapi, bukannya menerima permintaan maaf Papa, dia malah semakin memperparah keadaan dengan kemarahannya yang tidak berdasar."
Luna menghela napas. "Kenapa Kak Anjani seperti itu? Padahal, Papa sebagai orangtua sudah merendahkan diri untuk meminta maaf terlebih dulu. Tapi, kenapa dia malah bertindak seperti itu? Kenapa dia harus membuat Papa kesal? Kalau itu Luna, nggak mungkin Luna nggak memaafkan Papa. Papa kan segalanya bagiku."
Anton menepuk pelan punggung tangan Luna. Dia tersenyum. "Kamu memang anak Papa yang paling baik. Andai saja, Anjani memiliki sifat baik seperti dirimu, tidak mungkin Papa tega memutuskan hubungan keluarga dengannya."
Luna pun memeluk lengan sang Ayah. "Papa tenang saja! Kalau Kak Anjani nggak mau jadi anak Papa lagi, ada Luna yang selamanya akan selalu jadi anak Papa."
"Terimakasih, Sayang."
Luna mengangguk. Diam-diam, dia menyeringai senang karena hubungan sang Ayah dan Anjani semakin rusak.
"Baguslah! Dengan begini, warisan yang ditinggalkan Papa nantinya hanya akan jadi milikku."
😄👍👍👍