Kecantikan selalu diartikan sebagai keberuntungan
Apa yang terjadi ketika kecantikan yang diberikan oleh Tuhan berakhir sebagai kutukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Baik-baik saja?
"Sialan!!" ucap sang ibu ketika harus menyeka darah yang ada di ujung bibirnya.
Klien yang dikenalkan pria itu ternyata memiliki kegemaran aneh.
"Uhukk"
Sang ibu kembali batuk dan kali ini mengeluarkan darah menggumpal.
"Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa bertahan?" tanyanya pada diri sendiri.
"Tapi hanya dua hari seminggu. Aku punya lima hari istirahat. Pasti semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa bertahan" pikirnya lalu kembali ke tempat dia harus bekerja.
Beberapa jam kemudian,
"Ibuuu"
"Ibuuuu"
"Ibuuuu"
Sang ibu membuka mata dan ada seorang peri cantik yang sedang menatapnya. Dia mengulurkan tangan dan membelai rambut keriting yang perlahan berubah bentuk itu.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara parau.
"Ibu kenapa?" tanya anak itu.
"Tidak apa-apa"
"Wajah ibu merah-merah. Tangan dan kaki ibu juga"
Sang ibu tersenyum lalu melihat lebam yang mulai membiru di tangannya.
"Ibu jatuh" jawabnya tidak ingin pergi kecil cantiknya khawatir.
"Kirana membuat sarapan untuk ibu. Jangan lupa dimakan. Sekarang Kirana mau sekolah dulu"
"Terima kasih sayangku" jawab ibunya dengan tersenyum, menyembunyikan sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.
Setelah putrinya berangkat, sang ibu melanjutkan tidurnya. Tak menyangka hari berlalu dengan cepat dan malam menyambutnya ketika bangun tidur.
Sang ibu melihat semua luka di tubuhnya. Semuanya mulai membiru dan terasa perih. Untungnya pria penyambung klien itu memberinya salep penghilang lebam. Dia mengoleskan salep ke semua lukanya dan menutupi dengan pakaian serba panjang. Agar putrinya tidak melihat luka-lukanya.
"Kenapa tidak membangunkan ibu?" tanya sang ibu pada anak perempuannya yang sedang membaca buku.
"Ibu butuh tidur. Kirana tidak mau mengganggu"
Sungguh putri yang pengertian. Padahal masih berusia enam tahun tapi bisa berpikir seperti itu. Sang ibu sungguh kagum pada putrinya sendiri.
"Terima kasih. Apa yang ingin kau makan malam ini?" tanya sang ibu ingin menghilangkan rasa bersalah karena tertidur hampir seharian.
"Nasi goreng" jawab putrinya.
Sang ibu kembali tersenyum dan pergi ke dapur untuk memasak.
Tiga bulan kemudian, sang ibu dan putrinya mulai terbiasa dengan pekerjaan baru itu. Meski di hari Senin dan Selasa, sang ibu harus berisitirahat penuh. Tapi di tiga hari berikutnya, ketika luka-luka itu mulai sembuh, sang ibu bisa melakukan tugas seperti biasanya.
Dan uang yang dihasilkan dari pekerjaan baru ini mulai membuahkan hasil. Tabungan sang ibu menggemuk. Dia merasa tenang ketika memiliki kemampuan untuk bisa membayar sewa rumah selama dua tahun ke depan. Setidaknya dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan tempat tinggal dan biaya sekolah putrinya.
Namun, perlahan kondisi tubuhnya melemah. Pukulan, cambukan dan tendangan yang diberikan oleh kliennya menyebabkan tubuhnya tak bisa lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Pulang bekerja, dia hanya bisa melihat dan mencium putrinya yang sudah tidur lalu jatuh tergeletak di atas lantai.
Kirana mendengar suara pintu terbuka. Dia tersenyum karena tahu kalau itu ibunya yang pulang dari bekerja.
Perlahan rasa kantuk menyerang dan dia tertidur pulas ketika ibunya memberikan ciuman tanda sayang di dahi.
Tak pernah tahu kalau setelah dia tidur, ibunya tidak keluar dari kamarnya. Tapi tertidur di lantai kamarnya.
"Ibu!" panggilnya untuk yang kesekian kali tapi tidak mendapatkan jawaban. Perlahan Kirana mengulurkan jari ke hidung ibunya. Dia merasakan ada hembusan angin hangat disana dan merasa sedikit tenang.
Kira a membuka kain yang menutup tubuh ibunya dan merasa takut. Luka-luka di tangan dan punggung ibunya kenapa tampak merah sekali? Seperti ada darah di luka itu. Dia harus memberitahu seseorang. Tapi ... Kalau memberitahu orang lain, mereka akan mengetahui pekerjaan ibunya. Dan semua orang pasti akan bicara tidak baik pada ibunya. Kirana tidak mau hal itu terjadi.
Dia harus membuat ibunya sadar terlebih dahulu dan membawanya ke rumah sakit.
Kirana pergi ke kamar mandi, mengambil air hangat dan meletakkannya di wajah ibunya. Wanita yang melahirkannya itu tersentak dan memegang tangannya dengan erat.
"Putriku!!" kata ibunya membuatnya hampir menangis.
Tidak, dia tidak boleh menangis. Ibunya sadar, itu bagus sekali. Sekarang, dia harus membawa ibunya ke rumah sakit.
"Ibu bisa berdiri?" tanyanya.
"Sebentar. Biarkan ibu disini sebentar lagi"
Suara ibunya terdengar semakin lemah, membuat Kirana takut.
"Ibu berdiri sekarang! Ibu harus ke rumah sakit. Sekarang!!"
Mendengar teriakan penuh khawatir Kirana, ibunya mulai berusaha untuk bangun. Dan mereka akhirnya bisa pergi ke rumah sakit.
Ibunya segera diperiksa oleh dokter. Kirana disuruh menunggu diluar, tapi dia menolak keras. Dia ingin tetap berada di dekat ibunya. Tidak mau meninggalkan ibunya meski satu langkah.
"Kondisi tubuh Anda buruk. Apa Anda tahu penyebabnya?" tanya dokter yang memeriksa ibunya.
"Iya" jawab ibunya.
Kirana melihat ke arah ibunya dan menunduk.
"Tubuh Anda tidak bisa menerima perlakuan seperti ini lagi. Anda harus berhenti sekarang juga. Atau ... Anda bisa meninggal"
Mendengar kata itu, Kirana menatap wajah ibunya. Tidak, dia tidak mau ibunya meninggal. Kalau ibunya meninggal, bagaimana dengannya?
Hanya ibunya, satu-satunya keluarga yang Kirana miliki. Tidak ada yang lainnya.
"Saya akan memikirkannya" jawab ibunya lalu dokter pergi meninggalkan mereka.
Kirana mendekat ke arah ibunya dan menyodorkan minum.
"Ibu minum"
"Terima kasih"
"Ibu mau makan?"
"Tidak. Ibu tidak mau makan"
"Tapi ibu kurus"
"Tidak apa-apa. Bisa tidak Kirana pergi membeli makan sendiri? Ibu ingin tidur sebentar"
Kirana menurut. Dia pergi ke minimarket yang ada di dalam rumah sakit, membeli roti dan memakannya. Lalu dia kembali ke kamar ibunya dengan makanan ringan. Tapi ibunya masih tidur.
Dia menunggu ibunya terbangun di kursi. Tak mau mengganggu istirahat ibunya yang sedang kesakitan.
Setelah ibunya bangun, mereka keluar dari rumah sakit dan pulang. Seperti yang dikatakan dokter, ibu Kirana tidak bekerja Minggu ini. Kirana senang bisa bermain dengan ibunya di hari libur sekolah.
Tapi seminggu kemudian seorang pria ada di depan rumah mereka. Ibu Kirana menyuruhnya pergi ke rumah tetangga. Bersembunyi disana.
"Jangan pulang sebelum ibu menjemputmu! Mengerti?!" kata ibunya yang membungkus Kirana dengan jaket.
"Iya"
Kirana menurut dan pergi ke rumah tetangga. Dia diam disana sampai ibunya datang menjemput. Di wajah ibunya ada tanda kemerahan besar. Tidak tahu kenapa.
Sampai rumah, Kirana melihat dua koper besar telah disiapkan.
"Kita pergi!" kata ibunya.
Kirana hanya bisa mengangguk tanda setuju.
Mereka pergi malam itu, meninggalkan rumah yang telah disewa dan juga sekolah yang membawa kebahagiaan untuk Kirana selama beberapa bulan terakhir.
Tapi ... Semua ini demi dia bisa bersama ibunya. Jadi Kirana tidak akan pernah mengeluh. Dia memeluk tubuh ibunya dan mereka saling menghangatkan di perjalanan menuju tempat yang belum diketahui.