Malam itu, mereka mengubur seorang dukun. Yang bangkit adalah mimpi buruk mereka.
Kematian brutal Ki Anom melahirkan sumpah terkutuk. Kesalahan fatal saat pemakamannya melepaskan arwahnya dalam wujud Pocong pendendam. Desa Sukawaringin nyaris hancur oleh amukannya.
Lima tahun berlalu. Kedamaian yang mereka rebut dengan susah payah kembali terkoyak. Sebuah korporasi ingin mengosongkan desa mereka, dan mereka menyewa seorang ahli teror gaib, Ki Jagaraga, untuk melakukannya.
Ki Jagaraga tidak mengulangi sejarah. Ia menyempurnakannya.
Ia membangkitkan Ki Anom sebagai panglima pasukan orang mati, dan bersamanya... tiga Pocong Wedon. Arwah tiga wanita yang mati tragis, masing-masing membawa metode teror unik: satu dengan isak tangis di tepi sungai, satu dengan obsesi gila di sumur tua, dan satu lagi dengan nyanyian merdu yang menghipnotis.
Desa Sukawaringin kini dikepung. Warganya diteror satu per satu. Ini bukan lagi hantu yang tersesat, ini adalah invasi arwah yang terencana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Habibi Nurpalah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedamaian di Atas Bekas Luka - season 2
Tahun 2012, Lima Tahun Setelah Teror Ki Anom
Lima tahun adalah waktu yang panjang bagi sebuah desa untuk menyembuhkan luka.
Bagi Desa Sukawaringin, lima tahun telah mengubah banyak hal. Jalanan tanah yang dulu becek saat hujan kini telah dilapisi aspal kasar, hasil swadaya warga yang dipimpin oleh kepala desa baru mereka. Tiang-tiang listrik baru berdiri lebih kokoh, menggantikan tiang-tiang bambu yang reyot. Beberapa atap rumah yang tadinya seng kini sudah berganti genteng, dan di satu-dua atap bahkan bertengger sebuah piringan parabola. Desa Sukawaringin sedang bertumbuh.
Sore itu, di pos ronda yang sudah dicat ulang dengan warna hijau cerah, Mang Udin sedang berada di puncak kejayaannya. Dikelilingi oleh sekumpulan remaja tanggung yang menatapnya dengan campuran rasa kagum dan tidak percaya, ia menceritakan kembali kisah legendaris itu untuk yang keseratus kalinya.
Mang Udin:
"Jadi, waktu Ustadz Badrul sudah hampir kehabisan doa, dan si Juna cuma bisa gemetaran di belakang, saya maju! Saya tatap mata pocong Ki Anom itu dalam-dalam!"
Ia berdiri, memperagakan kuda-kuda yang goyah.
Mang Udin:
"Saya keluarkan jurus pamungkas yang saya simpan selama ini... Jurus Halilintar Asin Penyerap Dendam!"
Seorang remaja, sebut saja Deden, memberanikan diri bertanya.
Deden:
"Mang, bukannya kemarin namanya 'Lemparan Garam Suci'?"
Mang Udin:
(Berdecak kesal)
"Itu nama level satunya, Den! Ini sudah di-upgrade! Begitu garam sakti itu saya lempar—WHUUUSSSHH!—pocongnya langsung jerit! 'Ampun, Tuan Hansip Udin!' katanya. Begitulah, dengan satu lemparan, desa ini selamat."
Para remaja itu mengangguk-angguk, sementara di seberang jalan, beberapa bapak-bapak yang mendengar itu hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kisah Mang Udin sudah menjadi bagian dari folklor desa, sebuah bumbu komedi untuk sebuah sejarah yang kelam.
Di kantor Balai Desa yang kini tampak lebih rapi, suasana lebih tenang. Bowo, dengan wajah yang lebih matang dan berwibawa, sedang menelaah proposal kegiatan Karang Taruna untuk acara tujuh belasan. Di seberangnya, Juna duduk di depan sebuah komputer tabung, jarinya dengan lincah mengetik laporan bulanan desa.
Kehidupan telah memberinya jalan yang tak terduga. Alih-alih kembali mengejar mimpi di Jakarta, ia menemukan tempatnya di sini. Menjadi Sekretaris Desa, ia adalah motor penggerak administrasi di balik program-program Kades Bowo.
Bowo:
"Gimana, Jun? Laporan dari kecamatan sudah beres?"
Juna:
"Beres, Mas Kades. Cuma ini ada satu surat aneh dari kantor BPN pusat. Minta data detail soal batas-batas desa dan status kepemilikan tanah warga yang lama. Agak aneh permintaannya, nggak seperti biasanya."
Bowo:
"Oh ya? Mungkin buat pembaruan data nasional saja. Nanti kita siapkan datanya."
Bowo tidak terlalu memikirkannya. Juna pun mengangkat bahu, menyimpan surat itu di dalam map berlabel "Urusan Pertanahan". Dari jendela kantor desa, ia bisa melihat Mang Udin yang masih bersemangat memperagakan jurusnya.
Juna:
(Tersenyum tipis)
"Mang Udin kayaknya sudah sampai babak melawan naga sekarang ceritanya."
Bowo:
(Terkekeh)
"Biarkan saja. Mungkin itu caranya menyembuhkan trauma. Kita semua punya cara masing-masing, kan?"
Juna mengangguk. Ia melirik ke arah pemakaman di kejauhan yang hanya terlihat pucuk-pucuk pohonnya. Ya, semua punya cara masing-masing untuk melupakan. Atau setidaknya, untuk hidup berdamai dengan ingatan itu.
Menjelang Magrib, langit Sukawaringin dihiasi warna jingga yang damai. Di serambi Masjid Jami' Al-Ikhlas yang kini lantainya sudah berkeramik, Ustadz Badrul baru saja selesai mengajar anak-anak mengaji. Satu per satu, anak-anak itu menyalami tangannya dengan takzim sebelum berlari pulang.
Ustadz Badrul duduk sejenak, menatap desanya yang mulai menyalakan lampu. Ia merasakan kedamaian yang mendalam. Doa-doa mereka lima tahun lalu telah dijawab. Allah telah mengangkat wabah ketakutan dari desa mereka. Ia bersyukur.
Saat itulah ia merasakannya.
Wuuussshhh...
Sebuah embusan angin yang datang entah dari mana tiba-tiba menerpa halaman masjid, membuat daun-daun kering berputar-putar dalam pusaran kecil. Angin itu terasa ganjil. Dingin, dan membawa hawa yang asing. Jendela ruang wudhu yang kuncinya longgar berderit tertiup angin.
Suara tonggeret dan jangkrik yang tadinya ramai bersahutan, mendadak senyap. Hening.
Ustadz Badrul menghentikan zikirnya. Ia menajamkan perasaannya. Kedamaian yang baru saja ia rasakan kini terusik oleh sesuatu yang sangat halus, seperti riak kecil di permukaan air yang tenang.
Sebuah energi yang tidak ia kenali. Bukan dendam yang lahir dari dalam desa seperti milik Ki Anom.
Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang datang dari luar.
Keningnya berkerut. Matanya menatap cakrawala yang mulai gelap dengan sorot penuh kewaspadaan. Perasaannya mengatakan, kedamaian di atas bekas luka ini... mungkin tidak akan bertahan lama.
jangan lupa paket lengkapnya juga ya