Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PRIA ITU LAGI
Langit sore mulai menghitam saat Maya turun dari ojek online di depan gang kecil menuju kosannya. Angin berembus lembap, aroma tanah dan hujan yang belum turun mengisi udara.
Pikiran Maya masih penuh oleh percakapan dengan Rani. Tentang pengacara, tentang Adrian Lesmana, dan tentang pilihan-pilihan yang… tidak semua orang sanggup lakukan.
Langkahnya pelan saat menyusuri gang sempit itu, menahan kantung plastik berisi makanan ringan kesukaan Nayla.
Tapi begitu sampai di depan pintu kosan, hatinya langsung mencelos.
Pintu tidak terkunci.
Ia buru-buru mendorong daun pintu, dan suara tawa kecil menyambutnya dari dalam.
"Ayah lucu deh!"
"Iya dong, Nayla anak Ayah"
Maya membeku. Suara itu.
Reza.
Dia berdiri mematung di ambang pintu, melihat Reza duduk di lantai kamar kos yang kecil dan sederhana itu, bermain balok warna dengan Nayla.
Tanpa lepas jas mahalnya, Reza tampak begitu nyaman. Terlalu nyaman.
“Nayla, masuk kamar sekarang,” ucap Maya cepat.
Nayla menoleh. “Tapi—”
“Sekarang.”
Nada Maya membuat anak itu menurut, walau dengan langkah kecil yang berat.
Begitu Nayla menutup pintu, Maya langsung menatap Reza tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Reza berdiri perlahan, merapikan dasinya yang longgar. “Mengunjungi anakku. Kosan ini gampang sekali dibuka, tahu nggak?”
“Kamu nggak bisa masuk seenaknya. Ini bukan rumah kamu,” geram Maya.
Reza berjalan pelan ke arahnya, mata penuh penilaian mengamati sekeliling. “Tempat kecil. Sempit. Udara pengap. Ini tempat kamu membesarkan dia?”
Maya mengepalkan tangannya. “Keluar.”
Tapi Reza malah tertawa pelan. “Aku heran kamu masih bisa keras kepala, May. Padahal... kamu tahu kamu nggak akan menang.”
“Ini bukan soal menang atau kalah—”
“Jelas itu soal menang atau kalah,” potong Reza cepat. “Di pengadilan, semua hitam-putih. Siapa yang lebih layak, siapa yang lebih stabil, siapa yang... lebih kuat.”
Ia mendekat, suaranya menurun, nyaris berbisik. “Dan kamu tahu, aku selalu lebih kuat darimu.”
Maya menggertakkan gigi. “Kamu mungkin bisa beli pengacara mahal, tapi kamu nggak akan bisa beli hati Nayla.”
Reza tersenyum sinis. “Tapi kalau Nayla tumbuh besar dan sadar dia hidup di kamar kos sempit, tanpa fasilitas, tanpa mainan, tanpa masa depan yang layak... dia akan tahu siapa yang lebih pantas.”
Dia menyentuh pundak Maya, dan Maya langsung menepisnya.
“Jangan sentuh aku!”
Reza mundur, mengangkat tangan seolah tak bersalah. “Oke. Tapi ingat, May... semakin kamu keras kepala, semakin kamu menyakiti dirimu sendiri. Dan anak-ku.”
"Kamu masih bisa kembali padaku. Kalau kamu mau, dan semua ini selesai."
Maya hanya membalas dengan tatapan dingin.
“Jangan salahkan aku nanti kalau Nayla mulai panggil wanita lain ‘ibu’. Karena kalau aku menang... aku akan pastikan dia tumbuh tanpa kenal kamu.”
Tamparan Maya akhirnya mendarat keras di pipi Reza.
Tapi lelaki itu hanya menoleh, menyentuh pipinya, lalu menatap Maya dengan senyum bengis.
“Sentuhan pertama setelah dua tahun... ternyata masih panas.”
Maya hampir menangis. Tapi dia menahan semuanya.
Reza merapihkan pakaian nya, lalu berjalan ke pintu. Sebelum keluar, dia menatap Maya untuk terakhir kalinya malam itu.
“Kamu tahu, May... aku sebenarnya kasihan. Kamu akan kalah. Dan kamu akan datang... minta tolong. Mungkin bahkan merangkak.”
Klik.
Pintu tertutup. Suasana hening. Tapi di dada Maya, detaknya tidak.
Maya berdiri lama di depan pintu. Matanya merah. Tapi air matanya tak keluar.
Hanya satu suara di kepalanya yang kini bergema:
“Aku butuh seseorang yang bisa melawan dia. Bukan sekadar pengacara. Tapi... senjata.”
Dan nama itu kembali terlintas di pikirannya.
Adrian Lesmana.
kamu harus jujur maya sama adrian.