NovelToon NovelToon
Lucid Dream

Lucid Dream

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Nikah Kontrak / Beda Usia / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:426
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kutukan milik Tuan Sean

Akan ada saatnya kalian mengerti tentang diriku, tentang Sean, dan tentang seluruh keluargaku...

Kalimat itu terus berputar di kepala Zia, seolah menjadi mantra yang menenangkan hatinya yang kalut.

Zia mengerucutkan bibir dengan kesal. Sebelum akhirnya ia ikut dengan Sean, ia sempat mampir ke tempat Dara untuk mengambil pakaiannya. Dara menatapnya dengan bingung saat Zia bilang,

“Aku akan bekerja sebagai pembantu di rumah Sean. Katanya, di sana kekurangan pembantu dan gajinya besar.”

Dara bahkan hampir menjatuhkan sendoknya, tapi Zia hanya tersenyum pahit pura-pura santai.

Sebelum berangkat, Zia sempat menatap Sean dengan tatapan tajam.

“Ingat, Sean. Jangan pernah menyentuhku atau berbicara denganku nanti saat aku kerja di rumahmu!”

“Hmmm.”

Sean hanya menjawab singkat, pandangannya tetap fokus ke jalan.

Zia mendengus, “Sialan. Bahkan mengangguk pun tidak.”

Beberapa jam yang lalu,, saat Zia sudah kembali ke apartemen Dara untuk bersiap, tiba-tiba Sean muncul lagi tanpa diundang.

“Ikutlah denganku, Zia,” ajak Sean dengan suara datar tapi penuh tekanan.

“Untuk apa aku ke sana, Sean?!” Zia membalas dengan nada jengkel.

“Untuk jadi istriku.”

“Aku tidak mau!” Zia duduk di tepi ranjang, bersedekap.

Sean mengangkat alis, tersenyum miring.

“Kenapa tidak mau, Zia? Aku tampan, bahkan—”

“Jadikan aku pembantumu saja!” potong Zia cepat.

Sean ternganga.

“Apa?!”

“Tutup mulutmu, Sean!”

Zia menghampirinya dan mencomot dagunya supaya mulut lelaki itu menutup.

“Aku tidak bisa menjadikanmu pembantu, Zia. Kamu itu—”

“Kalau begitu aku tidak akan ikut!” katanya sambil membelakangi Sean.

Sean mendesah pasrah.

“Baiklah!”

“Dan ingat, Sean,” Zia menatapnya tajam. “Jangan panggil aku Zia. Namaku Ziva di rumah itu. Orang rumah pasti tidak akan mengenaliku.”

“Cepatlah ikut! Jangan membuat kapasitas memori otakku penuh dengan ocehanmu yang tidak masuk akal,” gerutu Sean sambil menarik tangan Zia dan kopernya.

Zia hanya mengembuskan napas.

Seperti inilah nasibku sekarang... tinggal serumah dengan manusia paling menyebalkan di dunia.

Mobil Sean berhenti di depan rumah besar bergaya klasik.

Rumah itu tak banyak berubah sejak dulu — hanya terlihat sedikit renovasi di beberapa sisi.

“Turunlah, sayang,” ucap Sean sambil membukakan pintu mobil.

Zia menatapnya dengan jengkel.

“Ingin rasanya kutendang mulutmu, Sean. Berhentilah sok romantis!”

“Berhentilah judes, Zia!” balas Sean, tapi belum sempat ia menghindar ,Bukk! tas Zia mendarat di lengannya.

“Aww! Zia, apa kamu ingin aku mencium bibirmu itu, hah?”

Zia membalik badan dan—Plakk! tasnya kembali mendarat, kali ini di dada Sean.

“Tutup mulutmu yang menyebalkan itu!”

“Sean, ada apa?” suara seorang wanita terdengar dari arah teras. Cindy ibu Sean keluar dengan wajah penasaran.

“Tidak ada, Ma,” jawab Sean cepat, wajahnya tiba-tiba berubah kalem seolah tak terjadi apa-apa.

Zia menatapnya tak percaya. Lelaki itu bisa berubah ekspresi secepat kedipan mata.

“Kamu siapa?” tanya Cindy, mendekat.

“Saya Zi— Ziva, Nyonya.” Zia cepat-cepat menunduk dan menyalami tangan Cindy.

Cindy sempat ingin bertanya lebih lanjut, tapi Zia langsung menimpali cepat,

“Saya ingin melamar kerja sebagai pembantu, Nyonya. Kata Tuan Sean, di rumah ini sedang kekurangan pembantu.”

Cindy menatapnya, lalu melirik koper yang dibawa Zia.

“Kamu baru keluar dari pekerjaanmu sebelumnya?”

“Iya, Nyonya. Mereka pindah rumah, jadi saya dipulangkan.”

Sean memotong, “Masuklah.”

“Tapi—”

“Masuk saja, Ziva,” ucap Cindy akhirnya. “Memang di sini sedang kekurangan pembantu. Kamu diterima.”

“Terima kasih, Nyonya,” jawab Zia sambil menunduk sopan dan tersenyum—senyum yang lebih mirip keputusasaan.

Dalam hati ia berkata lirih, Kenapa aku berharap ditolak, tapi malah diterima? Takdir benar-benar suka mempermainkanku.

Malam Hari

Ada yang berbeda dari keluarga Sean. Entah karena Zia sudah lama tak datang, atau karena memang semua orang di rumah itu berubah.

Sejak sore, Zia sengaja mengurung diri di kamar. Ia belum resmi bekerja, dan itu satu-satunya alasan ia bisa sedikit menjauh dari Sean.

Perutnya keroncongan. Sudah jam sembilan malam. Ia mengganti bajunya, lalu berjalan pelan ke dapur. Dingin lantai marmer menembus telapak kakinya.

Ia membuka lemari dapur, menemukan sebungkus mie instan penyelamat di segala situasi.

Saat air mendidih, ia menyalakan ponsel yang dari tadi di-silent. Tiga pesan masuk:

Papa Kenan: “Tetap jaga kewarasan kamu, Zia.”

Mama: “Pulanglah! Ada seorang lelaki yang ingin melamarmu.”

Sean: “Keluarlah, kalau tidak, aku akan publikasikan.”

Zia menghela napas panjang. Ia taruh ponsel di meja dan menuang mie ke mangkuk.

“Wangi sekali…” gumamnya pelan, mencoba tersenyum kecil.

Namun belum sempat ia makan, suara itu kembali muncul di belakangnya.

“Kapan kamu akan sehat kalau masih makan mie instan?”

Zia hampir menjatuhkan mangkuknya.

“Ishh! Mengganggu saja!” katanya kesal, duduk di meja makan.

“Kenapa kamu suka mie instan?” tanya Sean santai sambil duduk di depan Zia.

“Kenapa kamu terus menggangguku?” Zia membalas, meniup mie panasnya.

“Karena aku suka,” jawab Sean ringan.

Zia langsung keselek.

“Hati-hati, Zia!” Sean refleks mengambil air dan menepuk pundaknya lembut.

Zia menepis tangannya.

“Berhentilah bercanda, Sean!”

“Aku tidak bercanda. Aku serius.”

Zia berhenti makan. Matanya menatap meja, suaranya datar,

“Berhentilah menyukaiku.”

“Aku akan berhenti,” jawab Sean lirih, “kalau aku sudah di bawah tanah.”

Zia menatapnya, antara marah dan iba.

“Pembohong,” gumamnya, lalu melanjutkan makan.

“Ayo kita menikah, Zia.”

Zia langsung mendengus, bibirnya mencibir.

“Berhentilah berekspresi seperti itu!” Sean mencubit pipinya gemas.

“Ishhh, Sean kamu..."

Zia terdiam. Matanya membulat saat melihat seseorang berdiri di pintu ruang makan.

“Sean… Papi-mu,” bisiknya cepat.

Sean menoleh. Devano, ayahnya, melangkah perlahan dengan tatapan dingin.

“Sedang apa kalian?” suaranya tenang tapi mengintimidasi.

Zia langsung menelan ludah.

“Ehh… kami hanya makan, Tuan,” jawabnya gugup.

Devano duduk di hadapan mereka, menatap Zia lama.

“Apa kabar, Zia?”

Zia membeku.

“Emm, saya Ziva, Tuan.”

Devano tersenyum tipis.

“Wajahmu memang sedikit berubah, tapi Om tahu... kamu Zia.”

Zia melirik Sean dengan panik.

“Kamu bilang ke Om Devano?!” bisiknya cepat.

“Sean tidak bilang apa pun,” potong Devano sambil tersenyum. “Tapi sikap Sean-lah yang memberi tahu semuanya.”

Zia menunduk, bingung dan cemas.

“Bagaimana kabar Papamu?”

“Baik, Om. Tapi… tolong jangan bilang pada orang tuaku kalau aku di sini, dan jangan juga bilang ke orang rumah kalau aku ini Zia.”

“Kenapa?” tanya Devano, menatapnya tajam.

Zia menarik napas dalam.

“Ada hal yang... tidak perlu kalian tahu.”

Suasana hening sejenak. Devano menatap Sean, lalu berdiri perlahan.

“Baiklah. Lanjutkan makan kalian. Om ke atas dulu.”

Begitu Devano menghilang di tangga, Zia dan Sean saling berpandangan tanpa kata.

Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

Zia menunduk.

Ada alasan kenapa aku harus menyembunyikan semuanya… dan mungkin lebih baik jika tidak ada yang mengenaliku. Tapi kenapa Om Devano bisa tahu? Dan apa maksudnya, kalau katanya sikap Sean yang membocorkannya?

1
Idatul_munar
Tunggu kelanjutan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!