Menghadapi kerasnya kehidupan, membuat Aqilla menjadi seorang wanita yang tegar. Semenjak kedua orangtuanya meninggal dalam suatu kecelakaan, membuatnya menjadi pribadi tertutup. Dengan merintis usaha kecil bersama sang adik, untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Dalam kondisi ekonomi yang dibilang sulit, ia tetap bertahan.
Hingga suatu hari, ia dipertemukan dengan seseorang yang selalu berkaitan dengan darah, bahkan membunuh pun adalah kesehariannya. Namun hal itu tersembunyi dibalik kharismanya sebagai salah satu CEO di suatu perusahaan besar.
Bagaimana kelanjutannya?
Apakah yang akan terjadi jika mereka dipertemukan?
Penasarankan, ikuti terus up dari karyanya ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsabita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hah hah hah...
" Kayaknya gue harus minta bonus lebih sama ni orang gila, seenaknya saja menyruh datang dalam waktu sepuluh menit. Aakhh, sudah sembilan menit tiga puluh detik. Mampus." Evan yang baru tiba didepan rumah Akhtar, langsung masuk saja kedalam rumah dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Braakk...
Suara pintu yang dibuka paksa oleh Evan, dengan nafas yang sudah ngos-ngossan.
" Gila lu, sepuluh menit mana cukup pakai mobil. Aaaiiss, ada apa? " Evan belum menyadari siapa yang harusbia periksa, karena Evan masih sibuk menormalkan nafasnya.
" Kamu cepat periksa Aqilla! ". Akhtar mengucapkannya tanpa menoleh pada Evan.
" WHAT !!! Aqilla??? ." Evan segera mendekat.
Benar adanya, Evan melihat wajah Aqilla yang pucat seperti kapas. Namun ada pandangan yang lainnya, yanv membuat Evan menyatukan alis wajahnya. Sungguh diluar dugaan, Akhtar yang notabennya tidak suka untuk berdekatan dengan seorang wanita. Namun ini, ia menggenggam tangan Aqilla dan memandangi wajahnya dengan sangat fokus.
" Woi!!! Gue kesini buat periksa orang atau cuma disuruh ngeliatin orang yang lagi jatuh cinta hah?." Evan menyindir Akhtar.
Mendengar perkataan Evan, akhirnya Akhtar menyadari kekonyolannya. Segera ia melepaskan genggaman tangannya pada Aqilla, wajahnya berubah menjadi merah merona.
" Aiisss, Evan, Evan. Matamu akan betambah minusnya melihat pemandangan ini. " Evan memutar bola matanya dengan malas.
Ttaakk...
Sebuah sentilan dari jari Akhtar mendarat dengan mulusnya di dahi Evan.
" Aawwww, sakit." Evan meringgis.
" Mulut lu lama-lama gue jahit juga Van, cepat periksa.!." Aura Akhtar sudah seperti tukang jagal, melihat tingkah laku saudaranya itu.
" Iya, bawel." Evan pun mulai memeriksa keadaan Aqilla, dan ia juga bertanya awal mulanya sampai Aqilla pingsan. Akhtar pun menjelaskannya dengan lengkap, tanpa melebihkan ataupun mengurangi informasinya.
" Tar, gue ngomong blak-blakkan nggak sama lu? " Evan mulai lelah.
" Dari kapan lu izin dulu mau ngomong sama gue, heh." Akhtar malas meladeni saudaranya ini.
" Hem, Tar. Lu suka ya sama Aqilla? ". perkataan Evan, membuat Akhtar melotot.
" Udah deh, nggak usah bohong sama gue. Tapi Tar, kayaknya lu harus merelakan Aqilla deh."
" Maksud lu apa, hah?!!!." Akhtar langsung mencengkram kerah baju Evan.
" Eh, tenang dulu coy. Dengerin dulu lah, gue belum selesai ni ngomongnya." Evan sadar akan sikapnya dan Akhtar melepaskan cengkramannya.
" Setelah gue periksa, kayaknya Aqilla menggalami trauma deh. Aqilla menampakkan rasa takutnya saat bertemu dengan lu, emangnya lu pernah ngapain ni cewek?". Evan menjadi penasaran.
" Trauma?." Mulut Akhtar membeo.
" Yap, anda benar. Jangan bohong sama gue Tar, lu taukan sifaf gue? Walaupun lu itu saudara gue, bisa gue suntik mati lu. Jelasin!!." Nada bicara Evan sedikit meninggi.
Akhtar masih dengan diamnya, ia memikirkan perkataan dari Evan. Perlahan, akhirnya Akhtar menjelaskan suatu hal yang belum Evan ketahui, disaat ia dan Aqilla harus menjalani transplantasi ginjal. Setelah menceritakan hal itu, raut muka Evan berubah.
" GILA LU TAR!!! Ternyata itu semua perbuatan lu, gue nggak nyangka banget. Hah, ternyata... Aakkhhh!!!." Evan sungguh emosi setelah mendengar cerita Akhtar.
" Sekarang, apa maksud lu ngedeketin Aqilla? Mau balas budi? atau mau lu siksa lagi sampe mati, hah? " Evan menghempaskan steteskop miliknya.
" Gu gue nggak tau Van, tapi hati gue merasa nyaman saat bersama Aqilla. Pikiran gue, selalu tertuju sama dia Van. Gue harus gimana?" Akhtar mencengkram rambutnya dengan sangat keras.
" Heh, lu nanya gue? Seorang bos mafia, nyalinya ciut oleh wanita seperti Aqilla, sungguh amazing Tar, Tar. Dimana letak jiwa iblis lo, hah? Pikirin baik-baik kalau lu suka sama dia, pertahankan dan perjuangkan. Kalau ini hanya ke-egoisan lu doang, lebih baik lu bunuh aja deh dia. Biar gue nggak disusahin mulu, sepuluh menit dari rumah atau rumah sakit ke rumah lu, heh! Gesrek tu otak." Evan sangat puas mencerca saudaranya ini, biasanya ia selalu kalah bila berdebat.
" Gue, gue bener suka sama dia? Apa ini semua karma gue karena wanita sialan itu, Aaakkhh!!! Gua nggak akan kehilangan untuk kedua kalinya, gue suka dan cinta sama Aqilla. Dan mulai sekarang, dia menjadi milik gue." Akhtar langsung menegaskan bahwa Aqilla adalah miliknya.
" Wah, wah wah. Emang bener-bener mafia gesrek lu Tar, oh Tuhan. Memang benar cinta membuat manusia menjadi terlihat bodoh, seperti saudaraku ini. Tolong jangan buat dia menjadi semakin gila ya Tuhan, tapi buat saja dia menjadi sangat tergila-gila dengan Aqilla, Aamiin." Evan semakin senang menggerjai Akhtar.
Akhtar mendengar doa Evan, tersenyum dengan lepas. Ia yakin, bahwa ia memang benar-benar sedang jatuh cinta.
" Aqilla, saya harap. Kamu dapat menerima semua yang ada dalam kehidupanku, Saya menyukaimu. Jangan buat saya hancur lagi, Aqilla." Akhtar membatin.