Dijodohkan secara mendadak oleh sang paman, membuat Iswa Putri Sakinah harus menerima kenyataan menikah di usia yang sangat muda, yakni 19 tahun, terpaksa ia menerima perjodohan ini karena sang paman tak tega melihat Iswa hidup sendiri, sedangkan istri sang paman tak mau merawat Iswa setelah kedua orang tua gadis itu meninggal karena kecelakaan.
Aku gak mau menikah dengan gadis itu, Pa. Aku sudah punya pacar, tolak Sakti anak sulung Pak Yasha, teman paman Iswa.
Aku mau menikah dengan gadis itu asalkan siri, si bungsu terpaksa menerima perjodohan ini.
Apakah perjodohan ini berakhir bahagia bagi Iswa?
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MORNING VIBES
Iswa tak berani menyentuh air, udara di rumah Elin sangat dingin. Maklum dataran tinggi, bahkan saat sholat shubuh, Iswa harus buru-buru saat wudhu, dinginnya sampai menusuk tulang. Sedangkan Elin sudah biasa, pantas saja saat di kos, Elin selalu on kipas angin.
Keluarga Elin ini memiliki ladang kebun sayur, Kakak Elin adalah sarjana pertanian, sehingga dia mengolah kebun sayur. Info dari Elin, sang kakak juga menjadi ytb tentang pertaniannya. "Tapi gue gak mau jadi petani, gue mau jadi wanita karir di kantor," ucap Elin yang sepertinya bosan hidup di pedesaan begini. Padahal Iswa senang banget, jalanan aspal dengan view pegunungan, di sebelah kanan dan kiri jalan aspal ada kebun sayur yang tumbuh subur. Iswa dan Elin sekarang jalan kaki siap melihat sunrise juga. Kamera Iswa sudah siap mendokumentasi suasana pagi di desa ini.
Elin menyapa para tetangga yang mulai berangkat ke ladang, tampak sekali kerukunan warga desa. "Foto-foto," girang Iswa saat melihat siluet keemasan muncul di ufuk timur.
"Gue udah biasa, Wa. Lihat ginian."
"Ya kan lo, gue gak pernah!" ucap Iswa menyerahkan ponselnya agar Elin segera memotret dirinya dengan latar belakang sunrise.
Iswa berpose sangat manis dengan sweater tebalnya, dan rambut panjang yang terurai dia memejamkan mata. "Pantas si BangKai kesemsem sama lo, cantik banget!" puji Elin menyadari bahwa Iswa dengan wajah polosnya begini tampak natural.
"Apaan sih, percuma cantik kalau diselingkuhi," ujar Iswa jengkel kalau teringat dengan Kaisar.
"Heleh, cinta aja!"
"Dih, enggak ya!"
"Ngeles mulu! Kemudian Elin lari, sembari berteriak, "BangKai Iswa kangen!"
"Heh, mulut!" ujar Iswa kemudian mengejar Elin, gadis kota menikmati pemandangan alam gratis begini, auto bahagia.
Puas jalan-jalan menyusuri desa sayur, keduanya kembali dan menuju ladang Kakak Elin. Katanya sedang panen daun bawang, kol, dan wortel. "Kang Aksa," panggil Elin pada kakaknya yang sudah berada di ladang dan sedang panen wortel. Elin mengajak Iswa turun ke ladang, dan diajari cara panen wortel, dua tripod sudah terpasang dengan ponsel yang merekam kegiatan panen Aksara. Elin dengan jahilnya menatap kamera tersebut, sembari mengucap
Siap panen dengan gadis kota. Kemudian Elin mundur dan mengajak Iswa menghadap kamera sembari melambaikan tangan. Mungkin bukan areanya, Iswa tak terlalu heboh. Tapi dia cukup girang saat diajari Kang Aksa cara mencabut wortel. Elin mengabadikan moment kedekatan sang sahabat dengan kakaknya itu.
"Bisa?" tanya Aksara saat melihat Iswa mulai menarik tangkai daun wortel dengan sangat mudah sesuai arahan Aksa, dan benar saja Iswa langsung berteriak ye aku bisa! tampak bahagia, bahkan ia meminta Elin memotret dirinya sembari membawa wortel yang besar-besar begini.
"Kalau liburan aku mau deh jadi pegawainya, Kang Aksa," ujar Iswa melamar pekerjaan. "Lumaya gajinya juga."
"Gak takut hitam kaya' dia?" sindir Aksa sembari menunjuk dengan dagu sang adik yang sibuk berfoto saja.
"Perawatan nanti, juragan sayur classy, pagi masuk ladang sore nyalon, aku mau cabut wortel lagi!" Iswa semangat dan tak peduli matahari yang mulai naik, pengalaman baru baginya sangat menyenangkan.
Setelah puas di ladang wortel, ia dan Elin menuju ke ladang kol . Meski sudah banyak yang dipanen, tapi ada beberapa kol yang belum dipanen. Iswa dan Elin langsung berfoto, tak lupa Kang Aksa juga diajak berfoto sembari membawa kol yang besar banget.
"Ajak foto tapi lagi pakai baju dinas, Kakang mana cakep, Dek!" protes Aksara pada Elin, namun gadis itu tertawa saja, dan masih memuji sang kakak terlihat cakep.
Elin dan Iswa pun duduk di gazebo ladang, sudah ada ibu yang menata makan siang untuk pegawai. Sayur asam, ikan asin, tahu tempe dan sambal tomat, tak lupa singkong rebus. "Sumpah teman gue kayak orang baru keluar goa, singkong rebus aja difoto, ya Allah!" cicit Elin saat Iswa sibuk memotret kudapan khas petani.
Ibu Elin pun bilang kalau nanti para pekerja ladang akan makan di tegalan ladang, duduk beralaskan tanah dan mengobrol random. "Aku nanti mau ikut."
"Padahal gak mau mandi tuh, Bu. Malah ikut lesehan di tanah."
"Orang sini pasti gak stres ya, Bu. Pemandangannya secantik ini, dan udaranya sangat segar. Aku mau punya rumah di sini," ceplos Iswa yang masih mengagumi suasana desa Elin ini.
"Jadi menantu, Ibu, gimana?" tawar Ibu yang membuat Elin ngakak, sedangkan Iswa hanya meringis.
"Jangan, Bu. Dia sudah ditunggu sama cowoknya," lapor Elin yang langsung dicubit oleh Iswa.
"Ouh sudah punya pacar!"
"Enggak, Bu. Elin bercanda," ucap Iswa yang tak mau orang lain tahu tentang kehidupan asmaranya.
Para pekerja ladang mulai mengambil piring dan segera makan, Elin sih pengen pulang, gak betah panas katanya. Padahal Iswa nyaman saja, panasnya dibanding di kota ini mah belum seberapa, angin juga terasa masih dingin, Iswa tak mau balik, dan dia ikut makan siang bersama Kang Aksa dan pekerja ladang lainnya. Terpaksa Elin pun ikut. Diam-diam Elin memotret keramahan Iswa dengan para pekerja ladang, mengobrol sekedar pertanian, apalagi melihat tangan dan kaki Iswa yang putih sekali.
"Air kota beda ya dengan air di sini, ibu ini hitam terus," ujar salah satu pekerja ladang saat memuji kulit Iswa.
"Ah ibu bisa saja. Malah kulit seperti ibu begini eksotik," ucap Iswa yang membuat Aksara tertawa ngakak. Iswa menoleh dan heran saja dengan apa yang ditertawakan Aksara.
"Itu bukan eksotik, Wa. Tapi terlalu matang," semua tertawa. Elin senang sekali melihat Iswa yang bisa tersenyum lepas. Ia pun memotret sang sahabat.
"Tadi gue sudah ambil foto lo banyak, post gih, obat kangen untuk si BangKai."
"Dih, ngapain. Dia aja gak mau tahu kabar gue, ngapain gue repot kasih kabar tiap hari."
"Heleh, jaim lo."
Nyatanya Iswa post hanya dua foto, saat dia menikmati sunrise dan saat dia berhasil memanen wortel.
Beautiful sunrise like me. Caption untuk foto sunrise.
Iswa si panen wortel. Caption untuk foto panen wortel.
Dua foto itu menunjukkan sisi Iswa yang terlihat tanpa beban hidup, sejenak melepas masalah yang terjadi di kota, menyatu dengan alam untuk menyegarkan hati dan pikiran.
"Jangan kecantol warga sana dong," gumam Kaisar yang sedang menatap foto Iswa, dan terdengar oleh Sakti.
"Cie stalker sejati."
"Emang Abang enggak? Gak yakin, jiwa-jiwa perebut perhatian Iswa terlihat sekali begitu."
"Apaan! Main tuduh aja."
"Coba lihat terakhir abang chat Iswa kapan?"
"Kemarin saat dia di stasiun."
"Chat apa?" selidik Kaisar tak suka.
"Cuma bilang hati-hati doang," jawab Sakti.
"Benar?"
Sakti main tonyor kening sang adik, "Terus dibalas?"
"Cuma dikasih jempol."
"Bang, apa dia gak nyaman ya kalau abang atau bahkan aku chat?" tanya Kaisar yang sempat berpikir Iswa akan risih bila Kaisar terus menghubunginya.
"Mungkin, intinya gini Kai, sesekali saja chat ya cuma tanya kabar saja, cuma jangan keseringan. Dia pasti ada rasa jengkel sama lo, jangan menambah ketidak sukaan lo dengan chat secara intens. Selagi lo gak diblok, mending pantengin statusnya saja."
"Gitu ya, Bang!"
hemmmm wa kamu jg terlalu gampang memberi kesempatan fokus dulu ke diri sendiri dulu biar mapan segala hadehhh
bang sat ( satya ) , bang kai ( kaisar )