NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Tugas Pariyem

Kereta melaju lagi. Melewati gerbang utama. Tidak ada pemeriksaan. Suara gamelan perlahan memudar, digantikan suara jalanan malam; derak roda kereta, jangkrik, dan ringkikan dari kuda lain yang berpapasan.

"Nyonya bisa keluar sekarang," ucap Marius dengan memeriksa ke luar jendela di mana beberapa kereta kuda tampak di kejauhan.

Pariyem menyingkap selimut, merangkak keluar dengan tubuh kaku. Dia duduk di kursi dengan napas lega, meregangkan tubuh yang pegal.

Marius menatapnya dari kursi seberang. Mata hijaunya melembut melihat wajah Pariyem yang sembab; mata merah, pipi basah oleh air mata, hidung berair.

"Anda berhasil melihatnya?" tanyanya lembut.

Pariyem mengangguk, tidak sanggup bicara. Tenggorokannya tercekat.

Air mata mengalir lagi. Pariyem menutup wajah dengan kedua tangan, menangis tanpa suara. Bahu bergetar hebat.

Marius membiarkannya menangis. Tidak berkomentar. Tidak menghibur dengan kata-kata kosong.

Dia hanya duduk diam, membiarkan perempuan ini meluapkan kesedihan yang sudah ditahan terlalu lama.

Setelah beberapa menit, tangisan Pariyem mereda. Dia mengangkat wajah, mengusap air mata dengan ujung selendang.

"Terima kasih, Tuan," ucapnya dengan suara gemetar. "Terima kasih sebesar-besarnya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Tuan—"

"Tidak perlu berterima kasih," potong Marius. Suaranya kembali dingin, pragmatis. "Ini bukan kebaikan. Ini perdagangan yang adil. Saya membantu Anda masuk kadipaten, Anda membantu saya dengan informasi. Kita sama-sama untung. Tidak ada yang berhutang budi."

Pariyem terdiam. Kata-kata itu terdengar kejam, tapi mungkin memang begitu kenyataannya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua ada harganya.

Marius membuka tas kulit yang tergeletak di sampingnya, mengeluarkan buku catatan bersampul kulit hitam dan pensil. "Sekarang kita bicara soal pekerjaan Anda."

Dia menatap Pariyem dengan tatapan serius. "Saat Tuan Bupati datang lagi ke rumah Anda—dan dia pasti akan datang, pria seperti itu selalu kembali pada selir yang paling mengerti mereka, saya ingin Anda mengorek informasi tentang beberapa hal."

Pariyem mengangguk, mencoba fokus meski kepalanya agak pusing.

"Pertama," Marius mulai menulis, "ibu mertua Anda. Kanjeng Raden Ayu Kusumawati. Saya ingin tahu lebih banyak tentang perempuan itu. Bagaimana pengaruhnya terhadap keputusan Tuan Bupati. Siapa saja yang dia percaya. Apakah dia punya musuh di kalangan bangsawan lain."

Dia berhenti sejenak, menatap Pariyem. "Kedua, dan ini yang paling penting, kematian Bupati Soenarto."

Pariyem mengangguk pelan. Dia ingat hari itu. Seluruh rumah Prawiratama berkabung. Soedarsono pulang dengan wajah pucat, terguncang.

Tapi ada yang aneh, Kanjeng Raden Ayu tidak menangis sama sekali. Wajahnya datar, dingin, seperti biasa.

"Saya ingin tahu bagaimana dia meninggal dari sudut pandang Tuan Bupati. Apa yang dibicarakan orang-orang dekat. Apakah ada yang mencurigakan. Kami sudah mendapatkan laporan dari dokter, tapi ada yang mengganjal."

Marius melipat kertas, menyimpannya kembali. "Saya tahu ini berbahaya. Tapi saya juga tahu Anda tidak bodoh. Anda bisa melakukannya tanpa membuat Tuan Bupati curiga."

Pariyem terdiam sejenak. Otaknya bekerja cepat. Ini kesempatan. Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

"Tuan," ucapnya pelan tapi tegas. "Jika ini diibaratkan jual beli ... apa saya bisa mendapatkan keuntungan lagi jika saya berhasil?"

Marius mengerutkan dahi, penilaiannya terhadap Pariyem langsung terbukti, perempuan ini mungkin memang tidak bisa baca tulis, tapi dia tidak lugu.

"Keuntungan seperti apa?"

"Melihat putra saya lagi." Mata Pariyem berbinar, campuran harapan dan keputusasaan. "Sekali lagi saja. Kalau saya berhasil mendapatkan informasi yang Tuan butuhkan, bolehkah saya melihat Pramudya lagi?"

Hening.

Marius menatap Pariyem dengan tatapan menilai. Mata hijaunya mengamati wajah perempuan itu dengan teliti; wajah yang masih sembab, tapi mata yang penuh tekad.

Dia tahu perempuan ini putus asa. Dan orang yang putus asa bisa melakukan apa saja, bahkan sesuatu yang berbahaya sekalipun.

Orang yang putus asa juga paling bisa dipercaya karena mereka punya motivasi yang sangat kuat.

Pariyem bukan mata-mata profesional. Dia tidak bisa membaca dokumen. Dia tidak mengerti politik.

Tapi dia punya akses ke Soedarsono, akses yang tidak dimiliki siapapun. Dan dia punya alasan yang sangat kuat untuk melakukan apapun demi melihat anaknya lagi.

Akhirnya Marius mengangguk pelan. "Baiklah. Jika Anda berhasil mendapatkan informasi yang berguna, informasi yang benar-benar membantu saya, saya akan mengatur agar Anda bisa melihat putra Anda lagi."

Wajah Pariyem langsung berbinar. Senyum tipis muncul di bibirnya yang pucat.

"Tapi ingat," lanjut Marius dengan nada serius. "Jangan sampai ketahuan. Jangan membuat Tuan Bupati curiga. Lakukan dengan hati-hati. Pelan-pelan. Jangan terburu-buru."

"Saya mengerti, Tuan."

"Dan satu lagi." Marius menatap tajam. "Informasi yang Anda berikan harus akurat. Jangan membuat-buat cerita hanya untuk mendapatkan kesempatan melihat anak Anda. Saya akan tahu kalau Anda berbohong. Dan kalau itu terjadi, kesepakatan kita selesai."

Pariyem mengangguk mantap. "Saya tidak akan berbohong, Tuan. Saya bersumpah."

Kereta terus melaju menembus malam. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara anjing menggonggong dari kampung-kampung yang dilewati.

Setengah jam kemudian, kereta tiba di rumah dinas Asisten Residen. Lampu-lampu di rumah masih menyala, Sutini masih menunggu majikannya pulang.

"Nyonya tunggu di sini sebentar," kata Marius saat kereta berhenti. "Suroso akan mengantarkan Anda pulang dengan kereta lain. Selamat malam."

Dia turun dari kereta, berjalan masuk ke rumah dengan langkah cepat.

Pariyem duduk sendirian di dalam kereta, menatap rumah mewah itu. Dari melihat bayangan Marius muncul di jendela kamar lantai dua, membungkuk di atas ranjang, mungkin mengecup mereka yang sudah tertidur.

Gambaran yang membuat dadanya sesak lagi. Ayah yang bisa tidur dekat anak-anaknya. Sedangkan dia bahkan tidak boleh menyentuh putranya.

Tidak lama, Pak Suroso muncul dengan kereta lain, kereta sederhana tanpa hiasan, kereta yang biasa dipakai babu untuk pergi ke pasar. Kuda yang menariknya juga kuda biasa, tidak sementereng kuda putih tadi.

"Nyai, pindah ke kereta ini," panggilnya. "Saya akan mengantarkan Nyai pulang."

Pariyem pindah ke kereta sederhana itu. Interiornya jauh berbeda; kursi kayu tanpa bantalan, lantai kayu polos, tidak ada tirai sutra. Tapi Pariyem tidak peduli. Dia sudah terbiasa dengan kesederhanaan.

Kereta melaju pelan menyusuri jalan malam. Pariyem menatap keluar jendela, melihat kampung-kampung yang tertidur, rumah-rumah gelap, hanya sesekali ada cahaya lentera dari rumah yang penghuninya belum tidur.

Suroso tidak banyak bicara. Pria tua ini tahu kapan harus diam. Dia hanya fokus mengemudikan kereta, memastikan Pariyem sampai rumah dengan selamat.

Tak lama kereta berhenti di persimpangan dekat gerbang Dalem Prawiratama, Pariyem turun dengan hati-hati.

"Terima kasih, Kang," ucapnya tulus.

Suroso mengangguk. "Hati-hati, Nyai. Dan ingat, jangan sampai ketahuan. Tuan Marius itu orangnya baik, tidak seperti pejabat Belanda kebanyakan. Saya sudah bekeraj puluhan tahun, sejak Tuan ditugaskan di Jawa. Saya tahu betul beliau. Jangan sia-siakan kepercayaannya.”

1
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
🌺 Tati 🐙
sodarsono belajar dari ke gagalan pertama,dia tidak bisa mempertahankan sumi,makanya sekarang sedikit berontak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!