Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Tidak mungkin
“Virginia, katanya kamu mencintaiku. Tapi kenapa benar-benar ingin bercerai dariku?” Armando bergumam sendu.
Akan tetapi sedetik kemudian wajahnya mengeras. “Tidak. Aku tidak akan mengizinkan kamu benar-benar pergi dariku.”
Armando membuka ponselnya. “Dia sangat akrab dengan Cecilia. Pasti Cecilia tahu,” gumamnya.
Armando segera menekan nomor kontak Cecilia. "Cecilia, Virginia beberapa hari ini ada di tempatmu, kan? Bilang padanya, di rumah masih ada beberapa barangnya yang tertinggal. Suruh dia ambil sendiri barangnya!”
“Armando! Kamu benar-benar jahat. Aku tidak punya kakak dingin dan kejam sepertimu. Di saat seperti ini, kamu masih memperlakukan kakak ipar seperti itu. Sebenarnya kamu masih punya hati apa tidak?” di seberang sana Cecilia berteriak marah.
“Aku tidak peduli.” Mendengar Cecilia memakinya, amarah Armando menggelegak. “Terserah apa yang ingin ku lakukan padanya. Bukankah Virginia sudah mati? Bahkan jika dia sudah mati, dia tetap harus kembali sendiri. Bersihkan rumah dulu baru boleh mati. Jangan kotori tempatku!”
*
*
*
Keesokan harinya. Armando sudah berdandan rapi. Menatap cermin memastikan penampilannya sempurna. Memperhatikan jam berkali-kali, waktu terasa berjalan sangat lambat. “Virginia pasti akan pulang hari ini,” gumamnya.
“Aku harus bersikap baik. Aku tak boleh membuatnya marah dan sedih.” Berjalan mondar-mandir, Armando terus bicara sendiri.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu depan diketuk. Armando mengambil napas dalam lalu menghembuskan perlahan, bersiap-siap menerima kedatangan Virginia.
“Tenang, Armando, tenang.” Menggerakkan telapak tangan turun naik di depan dada. Seolah akan melakukan tes ujian.
Berjalan cepat ke arah pintu. Berhenti dengan tangan memegang handle. “Kamu harus berbaikan dengannya. Jangan menakutinya, jangan memarahi dia.” Untuk pertama kalinya Armando memasang senyum manis.
Merasa siap, tangan Armando bergerak perlahan untuk membuka pintu.
Ceklek
Pintu dibuka lebar. Akan tetapi…
“Kamu?”
Raut ceria penuh harap di wajah Armando seketika pudar. “Mau apa kamu kesini?”
Pria itu merasa kecewa karena yang datang ternyata adalah Cecilia, bukan Virginia.
"Mana barang-barang kakak ipar? Aku datang untuk mengambilnya.” Cecilia berucap datar.
Armando tidak menanggapi ucapan adiknya, melainkan segera masuk ke dalam rumah. Cecilia mengikutinya dengan rautnya yang dingin.
"Mana Virginia? Suruh dia datang ke sendiri!”
“Dia tidak bisa datang,” jawab Cecilia tegas.
Armando membalikkan badan menghadap ke arah Cecilia. “Apa maksudmu tidak bisa datang? Apa sekarang dia menggunakan cara lain untuk menipu? Atau menipu orang baru lagi untuk menikah dengannya?”
Plakkk
Suara tamparan yang begitu keras bergema. Wajah Armando bahkan sampai tertoleh karenanya. Armando meringis memegangi pipinya yang terasa kebas. Menatap Cecilia tak percaya. Adik kecilnya berani berbuat demikian.
“Kak Armando. Kamu benar-benar brengsek! Kakak ipar sudah mencintaimu selama bertahun-tahun. Apa kamu ingin membuatnya tidak tenang sampai mati?” Air mata seketika membanjiri wajah Cecilia. Ia benar-benar seperti tidak lagi mengenali kakak kandungnya.
“Apa yang sudah diberikan oleh Virginia padamu, yang tidak bisa Kuberikan? Kamu juga mau menipuku untuknya ya?” Armando berteriak emosi. Kenapa semua orang membela Virginia.
“Virginia sudah meninggal. Kakak iparku sudah meninggal. Istrimu, Virginia, wanita yang paling mencintaimu di dunia ini, sepuluh hari yang lalu ada yang melihatnya menenggelamkan diri di laut karena kamu. Apa sekarang kamu sudah puas melihatnya tak mengganggumu lagi?” Cecilia berteriak lebih keras.
“Aku tidak mengerti, kenapa kalian semua harus berdiri di sisi berlawanan denganku hanya untuk membela dia? Menenggelamkan diri, apa menurutmu mungkin? Dia tipe orang yang tidak segan-segan melakukan apa saja demi orang lain. Apa mungkin dia menyakiti diri sendiri?” Armando masih bersikeras membantah apa pun yang dia dengar. Entahlah. Atau mungkinkah sebenarnya dia yang tak sanggup mendengar kenyataan?
Cecilia menatap kakaknya lelah. “Kak, apa kamu tahu sebesar apa Virginia mencintaimu? Apa kamu tahu betapa bahagianya dia saat tahu dirinya mengandung anakmu? Tapi apa yang kau lakukan padanya? Kamu melihat sendiri Veronica Fernandez membunuh anak kalian. Sebagai suami kamu diam saja. Kamu jahat!” Cecilia berteriak di depan muka Armando.
“Apa menurutmu dia pantas mengandung anakku? Pertama dia menipu untuk menikah, lalu manfaatkan kesempatan saat aku mabuk untuk naik ke atas tempat tidurku. Wanita seperti itu apakah layak?”
"Kamu yang memaksa dia!” Cecilia berteriak kencang. Armando terhenyak mendengar itu. Dia? Dia yang memaksa Virginia?
“Aku ada di sini malam itu. Kami sedang nonton TV bersama. Kamu yang sedang mabuk lalu menelepon dia untuk menjemputmu.” Cecilia berteriak lebih keras di depan wajah Armando.
“Kakak ipar pergi dengan terburu-buru, tak peduli meskipun malam sudah larut. Aku di sini menunggu dengan cemas, merapikan tempat tidur menunggu kalian. Satu jam kemudian kakak ipar pulang membawamu yang dalam keadaan setengah tidak sadar.”
“Virginia terlihat kesusahan tapi tidak menyerah. Aku melihat itu semua dengan mataku. Aku yang membantu Kak Virginia membaringkan kamu di atas tempat tidur. Aku melihat semuanya dengan mataku ini.” Cecilia mengarahkan ujung telunjuk ke arah matanya sendiri.
“Dua mataku melihat dia melepas kacamata kakak.melihat dia membersihkan muntahan kakak tanpa jijik. Aku melihat dia menyelimuti kakak. Aku juga melihat kakak menahan tangannya saat kami hendak keluar kamar. Dua telingaku sendiri yang mendengar kakak mengucapkan kata cinta. Apa menurut kakak aku juga penipu?”
“Saat itu aku benar-benar bahagia. Tak Kusangka kakakku yang dingin ini punya sisi seperti itu. Aku pikir kakak hanya pura-pura tak cinta. Ternyata kakak bisa bicara manis oadanya. Lalu aku meninggalkan kalian berdua karena kakak ipar bahkan tak bisa melepaskan cengkeraman tangan kakak. Kamu yang sama sekali tak mau melepasnya.”
“Malam itu, melihat kakak ipar begitu bahagia aku juga ikut bahagia. Tak Kusangka ternyata kamu menganggapnya seperti itu. Kamu yang mengambil keuntungan darinya tapi kamu juga yang selalu merendahkannya.”
"Apa...?" Armando tertegun. Semua yang diucapkan Cecilia seperti pisau tajam mengoyak ingatannya. Pria itu benar-benar Syok, tak tahu ingin berkata apa. Tidak menyangka ada hal seperti itu. Selama ini dia selalu berpikir Virginia yang mengambil kesempatan. Separah apa mabuknya saat itu hingga tak mengingat apa pun?
“Apa kamu sudah ingat semuanya sekarang?” tanya Cecilia. Cecilia menggelengkan kepala. “Sudahlah. Bicara lebih banyak tak ada gunanya. Lagi pula kalian sudah bercerai. Tapi asal kakak tahu, bahkan jika Virginia bukan lagi kakak iparku, dia tetap sahabat terbaikku. Mulai sekarang apa pun urusannya tidak ada hubungannya denganmu.”
Cecilia membalikkan badannya kemudian meninggalkan Armando yang masih syok dengan apa yang baru saja ia dengar.
Tubuh pria itu terhuyung mundur hingga bersandar pada tembok. Sedikit demi sedikit ingatan ketika ia mabuk masuk ke dalam kepalanya. Benar dia yang telah memaksa Virginia, bukan Virginia yang menggunakan segala cara untuk naik ke atas tempat tidurnya. Jadi, selama ini Virginia benar-benar tulus?
Ponsel Armando yang berada di atas meja berdering. Pria itu hanya menatapnya sekilas. Pesan masuk dari satu nomor yang tidak dikenal.
“Kami dari kepolisian masih menunggu kedatangan Anda untuk identifikasi jenazah.”
“Tidak mungkin.” Armando menggelengkan kepala. “Tidak mungkin. Dia sangat mencintaiku, bagaimana mungkin rela meninggalkanku. Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin.” terus menggeleng.
Semoga segera bangun Virginia ....
. padahal dah dari bab kemarin yak
siapa kah gerangan pria yg di dalam mimpi itu,,,
bnrn gila tu orng.....
hiiyyy......mna kjam pula....tp ga pa2 lh,kn bls dndm sm mreka krna udh nyktin virginia.....
* Narasi yang Malas: "Cukup sudah. Kesabaran... ambang batasnya." Ini adalah narasi internal yang tidak diekspresikan dengan baik melalui aksi atau dialog. Pembaca tidak melihat proses "batas kesabaran" itu, hanya diberitahu bahwa itu terjadi.
* Keputusan Terlambat: Virginia bertahan lima tahun, kehilangan bayi, diperlakukan buruk, dan baru sekarang ia menyerah? Ini membuat karakternya terasa pasif dan lemah. Drama yang terlalu lama tanpa titik balik yang signifikan membuat cerita terasa berlarut-larut.
* Dramatic Irony Murahan: Vero yang "pura-pura sakit" adalah trik lama untuk memanipulasi. Ini terasa seperti adegan sinetron sore yang diproduksi terburu-buru.
* Kejadian Konyol: Di hari ulang tahun pernikahan, bukannya fokus pada istri, dia malah membawa orang lain ke rumah sakit karena "pura-pura sakit"? Ini bukan drama, ini kebodohan yang sulit dipercaya. Armando terlihat semakin menjengkelkan tanpa alasan yang kuat, dan plotnya terkesan dipaksakan hanya untuk menciptakan penderitaan bagi Virginia.Paragraf 4: "Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli."
* Tragedi yang Dieksploitasi: Kehilangan bayi adalah peristiwa yang sangat menyakitkan, namun di sini terasa seperti sekadar alat untuk menumpuk penderitaan Virginia dan membuat Armando semakin kejam. Ini kehilangan dampak emosionalnya karena tidak ada pengembangan yang layak. Pembaca tidak merasakan kesedihan; mereka hanya melihat satu lagi cobaan yang dilemparkan begitu saja.
* Kedangkalan Karakter: "Armando tetap tak peduli" – Kembali, ini adalah karakterisasi satu dimensi. Mengapa dia begitu kejam? Apa motivasinya? Jika tidak ada, dia hanyalah karikatur, bukan manusia.Paragraf 5: "
Paragraf 2: "Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namun, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk."
* Generalisasi Hambar: "Selalu berusaha menjadi istri yang baik" – Bagaimana caranya? Apa buktinya? Ini adalah deskripsi tanpa isi.
* Karakterisasi Satu Dimensi: Armando adalah gambaran paling klise dari suami antagonis: "dingin dan memperlakukannya dengan buruk." Tidak ada nuansa, tidak ada alasan. Ia hanya berfungsi sebagai alat untuk menyiksa Virginia, bukan sebagai karakter yang kompleks. Lima tahun dan tidak ada yang berubah? Plotnya mandek.