[Apakah Tuan Rumah ingin melakukan check-in?]
"Ya, tentu."
[Selamat, Tuan Rumah, telah memperoleh sebuah bangunan Apartemen mewah di kompleks perumahan Luxury Modern, uang tunai sebesar $100.000, serta sebuah Ferarri 458. Anda juga menerima....]
[Tuan Rumah, uangnya sudah ditransfer ke rekening Anda. Dokumen apartemen dan kunci mobil telah dimasukkan ke dalam inventaris sistem...]
Pesan inilah yang mengubah hidup Gray selamanya.
Dari seorang yang tak berarti, yang berjuang melewati keras dan suramnya kehidupan, menjadi orang terkaya dan paling berkuasa di dunia. Bahkan di seluruh realitas?
Inilah kisah penuh petualangan Gray Terrens.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VIONA YANG PENASARAN
Dentuman lembut dari elevator perlahan memudar ketika Gray melangkah keluar dari lift penthouse menuju lobi.
Sinar matahari menembus dinding kaca, melukiskan lantai marmer dengan garis-garis emas.
Dia mengabaikan Viona sambil merapikan daftar belanjaan di tangannya dan berjalan menuju pintu keluar—hingga mendengar suara perempuan itu di belakangnya.
"Hai, umm... maaf tentang kemarin."
Gray berhenti sejenak.
Viona berdiri beberapa langkah darinya, sikap tubuhnya terlihat ragu. Matanya sempat melirik ke lantai sebelum kembali menatapnya, lalu dia memberikan senyum tipis penuh permintaan maaf.
"Aku tidak bermaksud buruk dengan apa yang kukatakan kemarin," lanjutnya. "Aku hanya ingin membantu. Aku pikir kau... yah, seseorang yang tersesat atau— Yahh, aku tidak bermaksud terdengar kasar."
Gray mengedipkan mata, sedikit terkejut. Dia menduga Viona akan melontarkan komentar sarkastis atau mungkin terus bertindak seolah-olah dia berhak melakukan seperti yang dia lakukan kemarin. Tapi permintaan maaf? Itu tidak disangka.
Namun, dia juga tidak merasa ada sisa kekesalan.
"Tidak apa-apa," katanya dengan senyum tipis, lalu melanjutkan langkah menuju pintu keluar.
Namun sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, dia mendengar langkah cepat mengejarnya dari belakang.
"Tunggu!"
Gray berbalik, satu alisnya terangkat.
Viona berdiri di sana, ponsel di tangannya, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ekspresi sopan dan santai—tapi Gray bisa melihat jelas rasa ingin tahu yang bergejolak di balik matanya.
"Namaku Viona," katanya sambil menyibakkan sehelai rambut yang lepas di belakang telinganya. "Aku tinggal di lantai tujuh. Kalau tidak keberatan, aku ingin mendapatkan nomormu. Siapa tahu suatu saat aku butuh bantuan atau... kita bertemu lagi. Mungkin kita bisa lebih mengenal satu sama lain?”
Dia menyodorkan ponselnya ke arah Gray.
Gray tidak langsung menjawab. Dia menatap matanya sebentar, cukup lama hingga membuat Viona sedikit gelisah di bawah tekanan tatapan itu—lalu mengambil ponsel dari tangannya.
"Tentu," jawabnya singkat.
Dia mengetikkan nomornya di kontak lalu mengembalikan ponsel itu.
"Ada lagi?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang.
Viona sempat terdiam. "Tidak. Terima kasih."
Dia memberi senyuman kecil—kali ini kurang percaya diri—lalu berjalan kembali ke arah lift, suara ketukan hak sepatunya pelan bergema di lantai yang berkilau.
Gray menatap punggungnya.
Dia tahu persis mengapa Viona menginginkan nomornya. Dia tidak sedang menggoda, bukan juga ketertarikan romantis. Lebih tepatnya, rasa penasaran. Penthouse itu sudah bertahun-tahun kosong—hingga kini. Dan sekarang, seorang pria dengan pakaian lusuh tiba-tiba memiliki akses eksklusif ke lift dan mengendarai Ferarri mewah?
Dia penasaran tentang identitas orang yang tinggal di penthouse.
Dan Gray berniat sedikit menghiburnya.
Gray tersenyum samar sambil melangkah keluar dari Estate.
~ ~ ~
Perjalanan ke toko swalayan mewah terdekat hanya memakan waktu sepuluh menit. Gray memarkir mobil, mengambil troli, dan masuk kedalam.
Interiornya bersih sempurna, dengan alunan musik yang lembut dan aroma roti segar serta kopi panggang yang masih tercium di udara. Tempat ini sama sekali berbeda dengan toko-toko murah yang biasa dia kunjungi. Tidak ada antrian panjang, tidak ada udara pengap, tidak ada lampu neon yang menyilaukan mata.
Dia berjalan diantara lorong-lorong, memilih barang-barang dengan santai. Mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, produk susu, rempah, hingga minyak impor, daging, dan sebotol anggur vintage yang dia ambil hanya karena dia bisa.
Dia membayar semuanya tanpa ragu, meski tagihan melewati angka $2.000. Kasir tetap tersenyum profesional, namun dia bisa melihat jelas ada rasa terkejut di wajahnya. Penampilan Gray yang sederhana tidak terlihat seperti seseorang yang rela mengeluarkan uang sebanyak itu untuk berbelanja.
Dia memasukkan sebagian kantong-kantong belanjaan ke frunk kecil di depan, sementara sisanya dia letakkan rapi di kursi penumpang
Setelah itu, dia mengemudi pulang dengan tenang. Setibanya di penthouse, dia kembali dengan kedua tangan penuh, membawa banyak kantong berisi makanan dan bahan masakan.
Rasanya seperti mimpi.
Beberapa hari yang lalu, dia bahkan tidak sanggup membeli mie instan.
Kini, dia bahkan memiliki dapur mewah, meja makan marmer, dan cukup bahan untuk memasak seperti koki pribadi.
Dia menyimpan semua bahan lalu menyiapkan sarapan sederhana—telur, roti panggang, jamur panggang, dan jus buah. Tidak mewah. Hanya makanan sungguhan. Makanan yang tidak perlu dia hemat atau bagi-bagi. Makanan yang bisa dia nikmati.
Dia menyajikannya dengan rapi lalu duduk di dekat jendela besar ruang tamu, pemandangan kota membentang di hadapannya.
Setiap suapan terasa lebih nikmat dari sebelumnya.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Gray makan bukan untuk bertahan hidup.
Dia makan karena dia menginginkannya.
~ ~ ~
Sisanya hari berlalu seperti angin sepoi-sepoi.
Dia menonton film. Tidur siang. Berbelanja online untuk mencari tambahan furnitur—mungkin sistem audio, mungkin kursi pijat. Dia bahkan mencoba membaca buku tapi ketiduran di tengah jalan.
Hari itu terasa damai.
Tidak ada tekanan, tidak ada bos yang membentaknya, tidak ada tagihan yang menakutkan.
Inilah hidup santai yang sering disepelekan orang kaya.
Jadi, begini rasanya hidup, pikir Gray sambil bersandar di sofa.
Malam pun tiba.
Langit menggelap, lampu kota berkilau seperti lautan bintang. Dia menuang segelas jus dingin dan menatap langit-langit sambil bersandar.
Hanya ada satu hal yang mengganggunya.
Menu Check-In.
Seharian penuh dia tidak melihat opsi itu muncul.
Apakah ada penundaan?
Masa tunggu?
Dia hampir panik memikirkan kemungkinan sistem itu hanya sekali pakai, dan hidupnya mungkin akan kembali seperti sebelumnya.
Atau mungkin menu itu tidak akan muncul malam ini, dan saat dia tidur lalu bangun besok, dia akan menyadari semua ini hanyalah sebuah mimpi.
Itu benar-benar menyakitkan. Hanya pikiran itu saja sudah membuat dadanya terasa sesak.
Ia hampir memanggil sistem untuk bertanya tentang opsi Check In ketika suara pemberitahuan yang sangat ditunggu akhirnya terdengar di kepalanya.
【Ding!】
【Tuan Rumah, apakah Anda ingin melakukan Check-in?】
Gray langsung bangkit dengan senyum lebar. "Ya."
【Selamat, Tuan Rumah. Anda telah menerima $300.000, +5 poin atribut】
【Tuan Rumah kini dapat melihat layar informasi status. Ucapkan "status" untuk melihat.】
Ponselnya langsung bergetar.
Gray mengambilnya, membuka aplikasi bank, dan tertawa kecil saat melihat saldo:
$309.018,69.
Tambahan uang lagi—dan sekarang ada poin atribut juga?
Senyumnya semakin melebar. Jadi sistem ini tidak hanya memberi uang.
Kini ada fitur baru.
Layar status, ya?
"Status," Gray berkata dengan lantang.
kamu lupa kasih koma nanti orang yang baca jadi aneh